Cara mengurai kemacetan seperti tidak ada solusinya sampai saat ini. Meskipun para "jonggos" kita sudah berguru keluar negeri bahkan ke benua lain tetap saja tidak dapat mengurai kemacetan di Ibukota Negara kita.
Banyak wacana yang disampaikan tapi tidak satupun yang diterapkan. Mulai dari pengaturan bahan bakar minyak subsidi dan non-subsidi. Proyek berskala nasional ini cuma sebatas wacana. Ancaman popularitas membuat proyek yang ini hanya sebatas wacana. Rakyat yang mayoritas menikmati program subsidi sejak zaman orde baru tetap ingin terus memberati keuangan negara. Subsidi bahan bakar sedikitnya menggerogoti Rp. 95,9 triliun dari pendapatan domestik bruto negara yang (katanya) kita cintai. Dengan dana sebesar itu kita dapat membangun sistem Line Rapit Transit seperti di Kuala Lumpur sepanjang 484 kilometer.
Setelah hilang dari berita, dimunculkan lagi pelaksanakan Electronic Road Pricing (ERP) seperti yang diterapkan Singapura. Sistem yang memanfaatkan kecanggihan teknologi ini. Sistem ini sama halnya dengan jalan tol tapi ini semuanya serba otomatis. Setiap jalan yang ditetapkan sebagai jalan ERP dipasangi dengan sensor yang akan menangkap sinyal yang dipancarkan oleh setiap mobil yang melintas di jalan tersebut. Tapi orang Inonesia itu licik dan gagap teknologi jadi pemancar sinyal yang dipasang di tiap mobil akan pasti akan dilepas dan dianggap membuat mobil tidak optimal. Alhasil alat penangkap sinyal akan sia-sia. Kalaupun dilaksanakan dengan sistem manual (dicatat oleh petugas) tentunya sudah bisa ditebak. "Kebocoran" sana sini.
Lalu yang terbaru digadangkan kembali setelah dirasa sistem ERP ini banyak kelemahannya, yaitu sistem pemberlakukan nomor polisi genap ganjil. Nomor polisi genap atau ganjil diperkenankan melintas pada hari dan waktu tertentu. Program ini diproyeksi dapat mengurai kemacetan sampai 50% dengan catatan benar-benar diterapkan. Jika tidak diterapkan dengan baik maka Jakarta akan tetap menyabet juara dalam ketidakbahagiaan pengguna jalan menurut Journey Experience Index Frost & Sullivan.
Setidaknya tidak perlu mengeluarkan dana besar ke benua Amerika hanya untuk menghadirkan sistem yang tidak dapat mengurai kemacetan. Belajar saja ke Kuala Lumpur dan Singapura yang tingkat pengguna kendaraannya lebih nyaman dibanding Jakarta. Kebanyakan berwacana membuat pengguna kendaraan tambah lama tidak nyamannya. Seharusnya kita sebagai rakyat dibuat nyaman oleh pelayanan "jonggos" kita. Betul?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar