Minggu, 01 Desember 2013

Penerima Wasiat Yang Membunuh Pewasiat

Pada prinsipnya wasiat merupakan kemauan terakhir dari seseorang sebelum meninggal dunia. Kemauan terakhir tersebut hanya dapat ditarik kembali oleh orang yang membuatnya. Wasiat juga dibatasi oleh perintah undang-undang melalui lembaga “legitime portie”. Pemberian wasiat dapat di-inkorting dengan lembaga “legitime portie” apabila pemberian wasiat melanggar kepentingan atau hak dari ahli waris yang memiliki hak legitime portie.
Tidak seperti ahli waris dan penerima hibah yang dapat dibatalkan apabila ahli waris atau penerima hibah membunuh pewaris atau pemberi hibah menurut pasal 838 berhubungan dengan pasal 1688 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam wasiat tidak diatur mengenai hal tersebut, di mana hanya dinyatakan batal untuk menikmati wasiat dari pewasiat kepada penerima wasiat yang memusnahkan atau memalsukan surat wasiat serta orang yang dengan paksaan dan kekerasan menghalangi seseorang mencabut atau mengubah surat wasiat yang telah dibuat (pasal 912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Wasiat sering disebut juga sebagai hibah wasiat karena dimungkinkan bagi pewasiat memberikan syarat untuk pelaksanaan wasiat tersebut seperti hibah. Pewasiat dapat menyatakan kemauan terakhirnya dalam syarat-syarat tertentu seperti wasiat yang diberikannya akan batal apabila penerima wasiat melakukan kejahatan terhadap dirinya.

Jadi, penerima wasiat yang membunuh pewasiat tidak serta merta menjadi batal demi hukum untuk menerima wasiat akan tetapi syarat batal tentang batalnya surat wasiat karena penerima wasiat membunuh pewasiat tersebut hendaknya dinyatakan dalam surat wasiat yang pelaksanaanya mengikat penerima wasiat dan pihak lain setelah pewasiat meninggal dunia. 

Kedudukan Isteri Yang Mewaris Tanpa Keturunan Dalam Hukum Perdata

Pada prinsipnya, hubungan pewaris dan ahli waris dilihat dari sudut pandang persamaan darah (bloedverwantchap). Hal ini termaktub dalam pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dimana kedudukan isteri yang tidak memiliki kesamaan darah dengan pewaris tidak memiliki hak mewaris dari pewaris. Orang tua, kakek-nenek dan keluarga sedarah garis lurus ke atas dengan pewaris merupakan ahli waris dari pewaris. Kedudukan ahli waris dalam pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah atas dasar kesamaan darah dengan pewaris. Pertalian atau kesamaan darah antara suami dan isteri tidak ada sehingga tidak mungkin menjadi ahli waris dari suaminya.
Secara de facto, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara suami dan isteri yang erat bahkan melebihi hubungan antara pewaris dengan keluarga sedarahnya. Setelah menikah, seorang isteri bahkan akan memiliki ikatan batin yang lebih erat ketimbang sesama darah dari suaminya. Fakta ini menimbulkan suatu rasa keadilan bahwa isteri adalah pantas diberikan warisan dari pewaris (suaminya). Atas dasar asas keadilan, pembentuk undang-undang melalui Staatblad 1935-486, menambahkan pasal 852a pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (saat itu Burgelijk Wetboek) yang memberikan isteri kedudukan sebagai ahli waris bersama keturunan pewaris.
Prinsip awal kewarisan adalah menggunakan kesamaan darah. Dalam pasal 852a Kitab Undang-undang Hukum Perdata pun menggunakan prinsip kesamaan darah (keturunan) dengan mengikutsertakan ikatan perkawinan (isteri) sebagai ahli waris. Kedudukan ahli waris atas dasar pertalian darah tidak hanya tampil mewaris sendirian akan tetapi berdampingan dengan ahli waris atas dasar ikatan perkawinan. Apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan, seharusnya isteri mewaris dengan pertalian darah lainnya dengan suaminya yaitu kesamaan darah dalam garis lurus ke atas.

Jadi seorang janda yang tidak memiliki kesamaan darah dan ditinggal mati oleh suaminya tanpa meninggalkan keturunan pada prinsipnya secara historical, tidak dapat tampil sebagai ahli waris tunggal akan tetapi mewaris bersama keluarga sedarah garis lurus ke atas dari pewaris. 

Perbuatan Hukum Suami Pada Saat Pisah Ranjang Dengan Isteri

Pada prinsipnya dengan menikahnya seorang laki-laki dan perempuan maka tercampur harta mereka selama perkawinan mereka berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kawin yang dibuat oleh mereka sesaat sebelum terjadinya perkawinan mereka. Dalam hal pisah ranjang, secara formil, perkawinan tidak menjadi bubar sebelum mendapatkan putusan pengadilan.   
Sebelum melakukan perbuatan hukum untuk menjual harta perkawinan, suami yang telah pisah ranjang dengan isterinya dapat meminta persetujuan dari isterinya bentuk akta otentik. Persetujuan isteri secara notariil akta dapat dilakukan dengan locus dan tempos (tempat dan waktu)  yang tidak bersamaan dengan perbuatan hukum yang dilakukan suami. Akan tetapi tempos, dilakukan sebelum perbuatan hukum suaminya dinyatakan dalam akta notaris.
Apabila persetujuan isteri tidak dapat dimintakan (secara terpisah dan notariil akta), maka berdasarkan undang-undang dilakukan dengan persetujuan yang dipaksakan melalui putusan pengadilan.
Akan tetapi notaris dapat melakukan rechtvinding dengan kewenangan yang dimilikinya yaitu untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Dalam hal ini, notaris dapat membuat suatu akta pernyataan dari suami yang pada prinsipnya melakukan perbuatan penjualan atas harta kekayaannya tanpa disetujui oleh isterinya karena dalam keadaan pisah ranjang yang akan dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan talak atau perceraian dengan isterinya serta menyatakan bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan hukum yang dilakukannya tersebut. Dalam melakukan akta penyataan, dihadirkan juga 2 (dua) saksi pengenal yang dapat diambil sumpahnya untuk menyatakan bahwa isterinya tidak dapat dihadirkan untuk menyetujui oleh karena dalam keadaan pisah ranjang dan akta tersebut dapat dijadikan bukti dalam sidang perceraian yang mungkin dilakukan oleh suami isteri tersebut.

Jadi, apabila terdapat seorang suami yang hendak menjual harta perkawinannya (tanpa perjanjian kawin) dengan tidak menghadirkan isterinya karena telah pisah ranjang dan meja tetapi belum diputus perkawinannya karena cerai, seorang notaris dapat memintakan akta persetujuan isterinya terlebih dahulu atau menggunakan kewenangannya membuat akta pernyataan yang dihadiri oleh 2 (dua) saksi pengenal untuk melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan isterinya. Selama tidak disangkal, maka akta pernyataan tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Minggu, 24 November 2013

PELAKSANAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DALAM JUAL BELI HAK ATAS TANAH OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI PALEMBANG


A.      Pendahuluan
Pada zaman pemerintahan Belanda terdapat pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta Tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria[1], terdapat hak-hak kebendaan yang tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA. Dengan demikian, sejak diundangkannya UUPA, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lag
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan[2].
Secara khusus pembentuk undang-undang, memberikan kekuatan mengikat kepada seluruh rakyat Indonesia tentang BPHTB dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) dan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988).
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), pengaturan mengenai BPHTB tidak secara khusus diatur dalam satu undang-undang. Melalui undang-undang ini juga, pengaturan mengenai BPHTB dialihkan pemungutannya kepada pemerintah kabupaten atau kota per 01 Januari 2010. Kota Palembang sendiri baru memiliki peraturan khusus mengenai BPHTB sejak 01 Januari 2011 melalui Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011[3].
Pejabat pembuat akta tanah[4] selaku pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta mengenai perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah juga wajib melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut khususnya peraturan daerah kota Palembang tersebut bagi PPAT yang memiliki wilayah kerja di kota Palembang.

B.       Permasalahan
            Berdasarkan uraian pendahuluan tersebut di atas, terdapat suatu permasalahan, bagaimana pelaksanaan BPHTB dalam jual beli hak atas tanah oleh PPAT di Palembang?

C.      Tinjauan Pustaka
            Pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik dengan tidak ada kontraprestasinya, yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu sasaran pemajakan yang karena undang-undang menimbulkan utang pajak[5].
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontrapretasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum[6].
Dari pengertian pajak tersebut, tersurat 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu[7]:
1.    Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang (jika tidak maka lebih tetap disebut perampokan [taxation without representation is a robbery]);
2.    Sifatnya dapat dipaksakan (oleh negara);
3.    Tidak ada kontraprestasi  (imbalan) langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar pajak;
4.     Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah (bukan swasta) baik di pusat maupun di daerah;
5.    Penggunaan pajak untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan oleh pemerintah bagi kepentingan masyarakat umum
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan, yaitu:
1.  pemindahan hak karena jual beli; tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; atau hadiah.
2.  pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak; atau di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah:
1.  hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak milik atas satuan rumah susun; dan
6.  hak pengelolaan.
            Subjek hukum dalam BPHTB adalah waji pajak orang perorangan dan/atau badan yang memperoleh hak atas tanah melalui perbuatan hukum dan peristiwa hukum.
Dalam BPHTB, tarif pajak yang dikenakan adalah paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Kota Palembang dalam Perda 2011, ditetapkan tarif BPHTB sebesar 5% (lima persen).  
            Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun.
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
1.  Jual beli;
2.  Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7. Pemberian Hak Tanggungan;
8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

D.      Pembahasan
            Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak yaitu berupa harga transaksi dan nilai pasar. Perbuatan hukum jual beli dan pembelian melalui lelang menggunakan nilai perolehan objek pajak berupa harga transaksi. Selain jual beli dan pembelian melalui lelang digunakan nilai perolehan objek pajak berupa nilai pasar.
            Nilai pasar diartikan sebagai suatu estimasi jumlah uang pada tanggal penilaian yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui, bertindak hati-hati dan tanpa paksaan. Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang disetujui pembeli untuk dibayarkan dan disetujui penjual untuk diterima di saat tertentu dan melalui mekanisme pasar yang wajar[8].
            Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak Daerah[9]. Seorang PPAT tidak dapat meligitimasi perbuatan hukum pemindahan hak tanpa diselesaikannya BPHTB. Harga transaksi yang merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang tunduk pada pasal 1320 dan pasal 1338 Kitb Undang-undang Hukum Perdata. Oleh karena kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli maka sistem perpajakan yang digunakan dalam pemungutan BPHTB adalah sistem self assessment. Wajib pajak yaitu pembeli pada prinsipnya diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya dalam rangka BPHTB.
            Dalam sistem self assessment, wajib pajak hanya boleh menghitung pajak terutang dan melaporkannya kepada aparatur pajak yang diperkenankan untuk menentukan kebenaran dari perhitungan pajak wajib pajak. Apabila harga transaksi tidak diketahui maka dasar pengenaan pajak yang digunakan dalam BPHTB adalah Nilai Jual Objek Pajak[10] dalam Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini juga tersurat dalam halaman www.dispenda.palembang.go.id, yang mensyaratkan dokumen pendukung dalam pembayaran BPHTB yaitu berupa:
1.    Fotocopy identitas wajib pajak
2.    Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun berjalan
3.    Fotocopy sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional
4.    Surat Kuasa dan fotocopy identitas penerima kuasa (apabila dikuasakan)
5.    Dokumen pendukung lainnya
            Sebelum dilakukan transaksi, PPAT melakukan pelaporan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang[11] melalui sistem on-line. Dalam proses ini, PPAT mengunduh data mengenai objek BPHTB yang akan dilakukan proses jual beli melalui kantornya. Pihak Dispenda selaku aparatur pajak dalam hal verifikasi tersebut secara de facto dapat menganulir kesepakatan penjual dan pembeli dalam menentukan harga transaksi. Harga transaksi yang disepakati oleh penjual dan beli dapat dikoreksi oleh Dispenda selaku apartur pajak. Akan tetapi proses proses koreksi tidak mengunakan Surat Ketetapan Pajak[12] sebagai bentuk representasinya. Kedudukan Dispenda dalam hal ini dianggap sebagai pihak yang turut memiliki kepentingan dalam suatu jual beli. Kesepakatan harga transaksi tidak hanya ditentukan oleh pihak penjual dan pembeli akan tetapi juga oleh aparatur pajak dalam hal ini Dispenda.
Pada prinsipnya aparatur pajak dapat menerbitkan SKP sebagai bentuk koreksi atas perhitungan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak merupakan alat paksa untuk wajib pajak agar melakukan kewajiban pajak sesuai data yang akurat dan terkini, karena wajib pajak pada umumnya menginginkan jumlah pajak yang terutang dalam BPHTB sekecil mungkin bahkan nihil.
Apabila Dispenda telah menerbitkan SSPD maka PPAT akan turut menandatangani surat tersebut. Kedudukan PPAT dalam surat tersebut tidak begitu jelas seperti Dispenda sebagai pihak yang berwenang melakukan verifikasi. Kedudukan PPAT bukanlah sebagai pihak yang mengetahui atau menyetujui harga transaksi tersebut.
Setelah dilakukan dilakukan pembayaran BPHTB yang telah diverifikasi oleh Dispenda dan ditandatangani oleh PPAT, pembeli akan membayar sejumlah uang yang tersebut dalam SSPD melalui Bank Sumselbabel. Setelah dilakukan pembayaran, akan diterbitkan Bukti Bayar BPHTB yang menjadi dasar bagi PPAT untuk mengunduh harga transaksi sebagaimana tertera dalam SSPD dalam Akta PPAT.
Apabila PPAT menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tanpa menyerahkan bukti pembayaran wajib pajak berupa SSPD akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap pelanggaran.

E.       Penutup
Keterlibatan PPAT pada pelaksanaan BPHBT dalam jual beli dimulai sejak kesepakatan harga transaksi. Verifikasi BPHTB dilakukan oleh penjual dan pembeli melalui PPAT yang memiliki akses on-line kepada Dispenda. Seorang PPAT juga turut menandatangani SSPD sebagai dasar PPAT untuk membuat Akta PPAT.
Dalam menentukan harga transaksi, Dispenda tidak melakukannya berdasarkan NJOP dalam Pajak Bumi dan Bangunan, akan tetapi harga transaksi ditentukan oleh Dispenda selaku aparatur pajak tanpa menggunakan suatu representasi tertulis yang dapat menjadi alat paksa kepada wajib pajak. Jika memang tidak menggunakan mekanisme sesuai dalam Perda, maka seharusnya PPAT diberikan suatu insentif atas bantuannya memunggut pajak daerah yang melebihi apa yang tertulis dalam NJOP pada Pajak Bumi dan Bangunan. Jika dilakukan dengan SKP yang tertulis maka kedudukan PPAT bukan sebagai agen pembayaran aparatur pajak, akan tetapi hanya melakukan proses agen administrasi aparatur pajak.

F.       Daftar Pustaka
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama, 1998

Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2001

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;

Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,


http://www.dispenda.palembang.go.id, tanggal akses 23 November 2013




[1]Selanjutnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditulis “UUPA”
[2]Selanjutnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditulis “BPHTB”
[3]Selanjutnya Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditulis “Perda 2011”
[4]Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya ditulis “PPAT”
[5]R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama, 1998, halaman 3
[6]Ibid. halaman 5-6
[7]Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2001, halaman 5
[9]Surat Setoran Pajak Daerah selanjutnya ditulis “SSPD" adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota
[10]Nilai Jual Objek Pajak selanjutnya ditulis “NJOP”
[11]Selanjutnya Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang ditulis “Dispenda”
[12]Selanjutnya Surat Ketetapan Pajak ditulis “SKP”

Selasa, 29 Oktober 2013

TANGGUNG JAWAB, HUBUNGAN HUKUM, DAN MEKANISME DALAM LEASING


Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English karya A. S. Hornby, “lease” diartikan sebagai “contract by which the owner of land or building (the lessor) agrees to let another (the lessee) have to use of it for certain time for a fixed money payment (called rent)”. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1196/KMK.01/1991, leasing atau sewa guna usaha diartikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. 
Dari pengertian tersebut, tersurat bahwa subjek hukum dari lembaga leasing, pada prinsipnya hanya terdapat 2 (dua) pihak yaitu pemilik benda (lessor) dan pihak yang menyewa yang memiliki opsi untuk membeli/memiliki benda yang disewanya (lessee). Lessor dalam memenuhi kebutuhan lessee tidak sepenuhnya berdiri sendiri akan tetapi juga dibantu oleh Supplier selaku penjual barang yang hendak disewa oleh lessee dan kreditur selaku pihak yang memberikan bantuan pendanaan lessor dalam membeli barang yang hendak disewakan kepada lessee.
Tanggung jawab dari lessor, pada prinsipnya menyerahkan barang yang akan disewa guna usahakan oleh lesse sesuai dengan permintaan dan perjanjian antara lessor dan lesse. Apabila yang disewa guna usahakan adalah benda tidak bergerak maka bukti pemilikannya juga menjadi tanggung jawab lessor untuk menyimpannya dengan sebaik-baiknya, agar pada saat sejumlah uang lunas dibayar atas sewa objek dan lessee memilih untuk menjadikan hak miliknya, maka bukti pemilikan itu dapat dialihkan. Secara hak kebendaan, lessor juga bertanggung jawab bahwa benda yang disewa guna usahakan juga bebas dari sengketa atau pembebanan hak preferen guna melindungi kepentingan lessee yang mungkin akan menjadi hak miliknya jika semua kewajiban dan jangka waktunya perjanjiannya dengan lessor berakhir. Lessor memiliki kewajiban untuk menatausahakan segala administrasi sehubungan perjanjian dengan lessee  untuk kepentingan kreditur dalam hal pengawasan pinjamannya kepada lessor. Lessor dan tidak memiliki kewajiban membuat perjanjian leasing dengan lessee. Akan tetapi secara de facto, perjanjian sewa guna usaha menjadi kewajiban lessor untuk membuat perjanjian secara baku (standar contract) untuk kepentingan lessor dan lessee. Oleh karena kepemilikan atas nama lessor, pada umumnya, lessor juga bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran pajak atas objek leasing termasuk pajak penghasilan apabila lessee memilih opsi untuk membeli objek leasing.
Lessee memiliki tanggung jawab yang lebih banyak daripada lessor dalam leasing. Lessee dalam leasing memiliki bertanggung jawab sebagai berikut:
1.    Menjaga dan memelihara objek leasing bahkan memperbaikinya apabila terjadi kerusakan;
2.    Membayar sejumlah uang, tapi tidak terbatas, atas:
a.       Biaya sewa selama masa sewa (angsuran), dan biaya pembelian jika memilih opsi untuk membeli, kepada lessor;
b.      Biaya premi asuransi kepada perusahaan asuransi untuk mengalihkan resiko;
c.       Biaya notaris, bea meterai, biaya pembebaan hak preferan atas objek leasing pada saat terjadinya perikatan antara lessor dan lesse, dan biaya penagihan, biaya pengacara, serta biaya sehubungan dengan penyitaan apabila terjadinya wanprestasi;
d.      Biaya balik nama ke atas lessee apabila lessee memilih opsi untuk memiliki/membeli objek leasing sebelumnya.
Tanggung jawab supplier dalam leasing adalah menyediakan barang yang hendak dibeli oleh lessor atau disewa oleh lessee sesuai permintaan dari lessor dan lessee. Selain itu juga, supplier berkewajiban menyerahkan objek leasing seketika setelah dilunasi oleh lessor. Sedangkan tanggung jawab kreditur, menyediakan sejumlah uang sesuai permintaan dan kesepakatan dengan lessor.
Hubungan hukum yang terjadi antara supplier dengan lessor adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Supplier bertindak selaku penjual yang menjual objek yang akan dijadikan objek leasing dan lessor bertindak selaku pembeli dari objek yang dijual oleh supplier. Setelah kegiatan jual beli terlaksana antara supplier dengan lessor, maka hubungan hukum selanjutnya terjadi adalah antara lessor dan lesse. Kedudukan lessor dalam leasing sebagai pihak yang menyewakan barang miliknya sekaligus sebagai lembaga intermediasi yang antara lessee dan supplier dalam hal terdapatnya hak opsi. Objek leasing merupakan jaminan pelaksanaan prestasi yang diperjanjikan oleh lessor dan lessee.
Dalam hal pembelian objek leasing dari supplier tidak sepenuhnya dilakukan oleh lessor, dimana uang pembelian lessor dari supplier dari pihak III dalam hal ini kreditur, maka kedudukan lessor dengan kreditur sebagai hubungan pinjam meminjam. Kreditur memiliki hak tagih kepada lessor dengan jaminan berupa piutang yang dimiliki lessor terhadap lessee.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pengaturan Pembelian Kembali (Buyback) Saham Dalam Pasar Modal di Indonesia

A.    Pendahuluan
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan[1] Nomor 1/SEOJK.04/2013 tertanggal 27 Agustus 2013, dinyatakan bahwa kondisi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013 mengalami tekanan yang tercermin dari harga Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia yang mengalami penurunan cukup signifikan. Penuruan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia sejak tanggal 20 Mei 2013 sampai dengan tanggal 27 Agustus 2013 sebesar 1.247,134 (seribu dua ratus empat puluh tujuh seratus tiga puluh empat perseribu) pon atau sebesar 23,91% (dua puluh tiga sembilan puluh satu perseratus persen).
            Dalam IDX Monthly Statistics Bulan Mei 2013 yang diumumkan oleh Bursa Efek Indonesia[2], tercatat bahwa pada tanggal 20 Mei 2013, Indeks Harga Saham Gabungan mencapai nilai tertinggi ditutup pada posisi 5.214,976 (lima ribu dua ratus empat belas sembilan ratus tujuh puluh enam perseribu) poin. Dalam IDX Monthly Statistics Bulan Agustus 2013[3], tercatat posisi Indeks Harga Saham Gabungan turun ke posisi 3.967,842 (tiga ribu sembilan ratus enam puluh tujuh delapan ratus empat puluh dua perseribu) poin.
            Tekanan perekonomian yang cukup kuat terhadap pasar modal ini, direspon oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menerbitkan suatu peraturan untuk mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan. Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 23 Agustus 2013 menerbitkan Peraturan Nomor 2/POJK.04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan. Peraturan ini diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan mempermudah sekitar 459 (empat ratus lima puluh sembilan) emiten atau perusahaan publik dalam melakukan aksi korporasi dalam pembelian kembali saham (buyback) tanpa melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perusahaan yang berlaku.

B.     Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan pembelian kembali saham dalam pasar modal di Indonesia?
  
C.    Pembahasan
Weston, Mitchel, dan Mulherin mendefinisikan buyback saham atau share repuchase sebagai suatu tindakan perusahaan publik yang membeli sahamnya sendiri baik melalui proses tender offer, open market atau melakukan negosiasi pembelian kembali dari blockholder[4].
            Secara tersurat, pengaturan mengenai buyback, diintepretasikan dalam Bagian Kedua tentang Perlindungan Permodalan dan Kekayaan Perseroan pasal 37 sampai dengan pasal 40 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas[5].
            Perseroan terbatas dapat membeli kembali saham yang dikeluarkannya dengan ketentuan sebagai berikut[6]:
1.  pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih[7] suatu perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan, dan
2.  jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan tidak melebihi dari 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan dalam perseroan.
            Pembelian kembali saham perseroan tidak akan mengakibatkan pengurangan modal kecuali jika saham tersebut ditarik kembali. Perseroan harus terlebih dahulu mengusahakan agar penjualan saham kepada pihak ketiga sebelum dibeli kembali oleh perseroan agar kekayaan bersih tetap lebih besar dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan, dan jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan tidak melebihi dari 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan dalam perseroan.
Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar saham yang dibeli perseroan dibeli dengan harga yang wajar jika pemegang saham tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham dan perseroan berupa tindakan[8]:
1.    Perubahan anggaran dasar
2.    Pengalihan atau penjaminan sebagian besar (lebih dari 50% [lima puluh persen]) kekayaan perseroan
3.    Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
            Pembelian kembali saham oleh perseroan memiliki jangka waktu keberlakuan yaitu hanya selama 3 (tiga) tahun. Dalam jangka waktu tersebut, perseroan diberikan kesempatan untuk mencari pihak yang akan membeli saham yang dimilikinya. Jika dalam jangka waktu tersebut perseroan tidak memiliki pembeli atas saham yang dimilikinya maka saham tersebut akan ditarik kembali dengan cara pengurangan modal.
            Pada prinsipnya pembelian kembali saham oleh perseroan hanya boleh dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham. Akan tetapi Rapat Umum Pemegang Saham dapat menyerahkan kewenangannya kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Jangka waktu ini tidak mutlak karena dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau bahkan ditarik kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham sewaktu-waktu dari Dewan Komisaris.
            Saham yang dibeli kembali oleh perseroan tidak memiliki hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham sehingga tidak dapat diperhitungkan dalam jumlah kuorum. Selain itu, perseroan selaku pemegang saham yang dibeli kembali tidak berhak menerima deviden atas saham yang dimilikinya.
Pembelian kembali saham secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan kekayaan bersih suatu perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan, atau jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan melebihi dari 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan dalam perseroan, adalah batal demi hukum.
Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar saham yang dibeli perseroan dibeli dengan harga yang wajar jika pemegang saham tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham dan perseroan berupa tindakan:
4.    Perubahan anggaran dasar
5.    Pengalihan atau penjaminan sebagian besar (lebih dari 50% [lima puluh persen]) kekayaan perseroan
6.    Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
            Secara umum, ketentuan pembelian saham kembali yang diatur dalam UUPT tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak diatur lain oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal[9]. Khusus untuk perseroan publik berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yaitu UUPM (sebagai lex generalis) berikut segala peraturan yang berada di bawahnya (sebagai lex specialis). Pada prinsipnya hanya perseroan publik yang dapat melakukan kegiatan di pasar modal. Kekhususan kegiatan permodalan perseroan publik membuatnya berbeda dengan perseroan sehingga perlu diadakan pengaturan khusus mengenai perseroan publik.
            Pembentuk undang-undang menjelaskan bahwa pengaturan khusus yang diperkenankan tunduk pada ketentuan di luar Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah ketentuan tentang[10]:
1.    sistem penyetoran modal,
2.    pembelian kembali saham perseroan,
3.    hak suara dan
4.    penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Selain ketentuan tersebut di atas, perseroan publik tetap tunduk pada atau bertentangan dengan UUPT.
Dalam UUPM sebagai lex generalis, tidak dinyatakan mengenai pembelian kembali saham oleh perseroan publik. Dalam pasal 28 ayat (3) UUPM hanya mengatur ketentuan pembelian kembali saham reksa dana berbentuk perseroan, dimana pembelian kembali saham reksa dana berbentuk perseroan dan pengalihannya dapat dilakukan tanpa mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham tidak diperlukan karena pembelian kembali saham-saham yang telah dikeluarkan oleh reksa dana dan pengalihan lebih lanjut saham dapat terjadi setiap saat sehingga akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
Secara lex specialis, pengaturan mengenai pembelian kembali saham telah diterbitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal melalui Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-105/BL/2010 tertanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Lampiran Keputusan tersebut khususnya Nomor XI.B.2 merupakan peraturan khusus tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik.
Pada prinsipnya, perusahaan publik diperkenankan untuk membeli kembali saham yang telah dikeluarkannya setelah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali saham perusahaan publik tidak diperkenankan apabila:
1.    dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek. Masyarakat pemodal sangat memerlukan informasi mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek yang tercermin dari kekuatan penawaran jual dan penawaran beli Efek sebagai dasar untuk mengambil keputusan investasi dalam Efek. Sehubungan dengan itu, ketentuan ini melarang adanya tindakan yang dapat menciptakan gambaran semu mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek, antara lain melakukan transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan pemilikan; atau melakukan penawaran jual atau penawaran beli Efek pada harga tertentu, di mana Pihak tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak lain yang melakukan penawaran beli atau penawaran jual Efek yang sama pada harga yang kurang lebih sama[11].
2.    dilakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek. Ketentuan ini melarang dilakukannya serangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa Pihak yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek yang semu di  Bursa Efek karena tidak didasarkan pada kekuatan permintaan jual atau beli Efek yang sebenarnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain[12].
3.    orang dalam[13] dari Emiten atau Perusahaan Publik yang mempunyai informasi:
a.       melakukan pembelian atau penjualan atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan. Larangan bagi orang dalam untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan didasarkan atas pertimbangan bahwa kedudukan orang dalam seharusnya mendahulukan kepentingan Emiten, Perusahaan Publik, atau pemegang saham secara keseluruhan termasuk di dalamnya untuk tidak menggunakan informasi orang dalam untuk kepentingan diri sendiri atau Pihak lain[14];
b.      mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek dimaksud. Orang dalam dari suatu Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan transaksi dengan perusahaan lain juga dikenakan larangan untuk melakukan transaksi atas Efek dari perusahaan lain tersebut, meskipun yang bersangkutan bukan orang dalam dari perusahaan lain tersebut. Hal ini karena informasi mengenai perusahaan lain tersebut lazimnya diperoleh karena kedudukannya pada Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan transaksi dengan perusahaan lain tersebut[15];
c.       memberi informasi kepada Pihak mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek. Orang dalam dilarang mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian dan atau penjualan atas Efek dari Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan, walaupun orang dalam dimaksud tidak memberikan informasi orang dalam kepada Pihak lain, karena hal ini dapat mendorong Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan Efek berdasarkan informasi orang dalam. Selain itu, orang dalam dilarang memberikan informasi orang dalam kepada Pihak lain yang diduga akan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan pembelian dan atau penjualan Efek. Dengan demikian, orang dalam mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi agar informasi tersebut tidak disalahgunakan oleh Pihak yang menerima informasi tersebut untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek[16].
Apabila terdapat pihak yang melakukan perbuatan seperti yang dinyatakan dalam angka 1,2, dan 3 tersebut di atas, maka sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar Rupiah) dapat diterapkan[17].
Pelaksanaan pembelian kembali saham wajib diselesaikan paling lama 18 (delapan belas) bulan setelah tanggal persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali saham oleh perusahaan publik dapat dilakukan melalui Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek. Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa Efek, maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.  transaksi beli dilakukan melalui satu Anggota Bursa Efek; dan
2.  harga penawaran untuk membeli kembali saham harus lebih rendah atau sama dengan harga transaksi yang terjadi sebelumnya.
            Dalam hal pembelian kembali saham, Perusahaan wajib mengumumkan kepada masyarakat dan menyampaikan kepada Badan Pengawan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan mengenai:
1.  penjelasan dilakukannya pembelian kembali saham Perusahaan;
2.  nama pemegang saham yang sahamnya dapat dibeli kembali oleh Perusahaan;
3.  harga saham serta tata cara penentuan harga tersebut; dan
4.  jangka waktu pelaksanaan pembelian kembali saham tersebut.
Perusahaan wajib melaporkan hasil pembelian kembali saham kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan secara berkala setiap 6 (enam) bulan, yaitu pada bulan Juni dan Desember tiap tahunnya. Penyampaian laporan tersebut paling lambat disampaikan
Emiten atau Perusahaan Publik yang sahamnya dicatatkan pada Bursa Efek dilarang membeli kembali sahamnya, jika akan mengakibatkan berkurangnya jumlah saham pada suatu tingkat tertentu yang mungkin mengurangi secara signifikan likuiditas saham di Bursa Efek.
Saham hasil pembelian kembali oleh perusahaan publik dapat dialihkan kembali dengan cara, antara lain:
1.    dijual baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek;
2.    ditarik kembali dengan cara pengurangan modal;
3.    pelaksanaan Employee Stock Option Plan atau Employee Stock Purchase Plan; dan/atau;
4.    pelaksanaan konversi Efek Bersifat Ekuitas.
5.    Pelaksanaan waran
Orang dalam dilarang melakukan transaksi atas saham Perusahaan tersebut pada hari yang sama dengan pembelian kembali saham atau penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan oleh Perusahaan melalui Bursa Efek.
            Perusahaan publik diperkenankan juga untuk melakukan pembelian kembali saham tanpa mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Alasan pembenar dari tindakan tersebut adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.04/2013 tertanggal 23 Agustus 2013 tentang  Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan.
            Perusahaan publik tidak dapat serta merta melakukan pembelian kembali sahamnya tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham dapat dilakukan apabila kondisi pasar modal berfluktuasi secara signifikan. Kondisi pasar modal yang signifikan adalah kondisi dimana indeks harga saham gabungan di bursa efek selama 3 (tiga) hari berturut-turut secara kumulatif turun sebanyak 15% (lima belas persen) atau lebih; atau kondisi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Permulaan dan berakhirnya kondisi lainnya akan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
            Pembelian kembali saham oleh perusahaan publik oleh karena kondisi pasar modal yang fluktuatif secara signifikan, paling banyak 20% (dua puluh persen) dari modal yang disetor perusahaan publik tersebut. Peruahaan publik dapat melakukan pembelian kembali saham setelah menyampaikan keterbukaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari bursa setelah terjadinya kondisi pasar modal yang berfluktuasi secara signifikan. Jangka waktu pembelian kembali saham oleh perusahaan publik hanya dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah keterbukaan informasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
            Keterbukaan informasi yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan  dalam rangka pembelian kembali saham dalam kondisi ini, paling tidak memuat informasi sebagai berikut:
1.    Perkiraan jadwal, biaya pembelian kembali saham, dan perkiraan jumlah nilai nominal seluruh saham yang akan dibeli kembali;
2.    Perkiraan menurunnya pendapatan perusahaan sebagai akibat pelaksanaan pembelian kembali saham dan dampak atas biaya pembiayaan perusahaan;
3.    Proforma laba per saham perusahaan setelah rencana pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan mempertimbangkan menurunnya pendapatan;
4.    Pembatasan harga saham untuk pembelian kembali saham;
5.    Pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham;
6.    Metode yang akan digunakan untuk membeli kembali saham; dan
7.    Pembahasan dan analisa manajemen mengenai pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan usaha dan pertumbuhan perusahaan di masa mendatang.
Keterbukaan informasi tidak hanya disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan tetapi juga kepada masyarakat paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum dilaksanakannya pembelian kembali saham.
Perusahaan publik yang melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan adanya perubahan nilai nominal saham hasil pembelian kembali, maka perhitungan harga pembelian kembali saham disesuaikan dengan mengikuti perbandingan antara nilai nominal saham pada saat pembelian kembali dengan nilai nominal saham hasil aksi korporasi.
Saham hasil pembelian kembali yang dikuasai perusahaan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak selesainya pembelian kembali saham wajib mengalihkan kembali dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan menyelesaikan pengalihan kembali saham dalam waktu 1 (satu) tahun.

D.    Kesimpulan
Perseroan secara umum diatur dalam UUPT dan Perusahaan publik didelegasikan dalam UUPM. Kewenangan pembelian kembali saham perseroan diatur dalam UUPT. Pembelian kembali saham perusahaan publik dikesampingkan dari UUPT untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pasar modal.
Pembelian kembali saham perusahaan publik dilakukan dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali saham publik hanya dapat dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham apabila telah terjadi kondisi pasar modal yang berfluktuasi secara signifikan.

E.     Daftar Pustaka



Undang-undang Nomor  8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-105/BL/2010 tertanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik, Nomor XI.B.2

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.04/2013 tertanggal 23 Agustus 2013 tentang  Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan



[1]Berdasarkan pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak 31 Desember 2012 , fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
[5]Selanjutnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas cukup ditulis “UUPT
[6]Lihat pasal 37 ayat (1) UUPT
[7]Kekayaan bersih adalah seluruh jumlah harta kekayaan perseroan dikurangi dengan seluruh jumlah kewajiban perseroan sesuai dengan laporan keuangan terbaru yang disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir (penjelasan pasal 37 ayat [1] huruf a UUPT)
[8]Lihat Pasal 62 ayat (1) UUPT
[9]Selanjutnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal cukup ditulis “UUPM
[10]Lihat penjelasan pasal 154 ayat (1) UUPT.
[11]Penjelasan Pasal 91 UUPM
[12]Penjelasan Pasal 92 UUPM
[13]Dalam penjelasan Pasal 95 UUPM dinyatakan bahwa “Orang Dalam” adalah (i) komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik; (ii) pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik; (iii) orang perseorangan yang karena kedudukan (atau jabatannya dalam lembaga, intitusi dan badan pemerintahan) atau profesinya atau karena hubungan usahanya (atau hubungan kemitraan seperti hubungan nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan dan kreditur) dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi yng materinya dimiliki oleh orang dalam yang belum tersedia untuk umum; atau Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf (i), huruf (ii), atau huruf (iii) di atas.
[14]Penjelasan Pasal 95 huruf a UUPM
[15]Penjelasan Pasal 95 huruf b UUPM
[16]Penjelasan Pasal 96 UUPM
[17]Lihat Pasal 104 UUPM