Selasa, 27 November 2012

Komentar atas “Austrian Thought On Economic Planning, The Business Firm, and The Law”



            Orang Austria dalam berusaha secara ekonomi selalu menggunakan sumber daya produktif yang bertujuan untuk mencapai kekayaan individu sebesar-besarnya. Masing-masing orang Austria sebagai komunitas masyarakat yang terlibat dalam dunia perdagangan berjuang mencapai kekayaan individual demi peningkatan status sosial mereka masing-masing dalam hidup bermasyarakat. Perekonomian Austria secara spontan dibentuk oleh mereka sendiri dari cara-cara yang tumbuh dan berkembang dan dianggap baik dan benar dalam masyarakat pelaku usaha.
            Pemerintah sebagai pemegang otoritas, memiliki kekuasaan dari negara untuk memaksakan ideologi ekonomi yang selalu dianggap sebagai faktor yang menghambat bertumbuhkembangnya perekonomian secara luas. Perusahaan sebagai pembentuk perekonomian negara tidak menerapkan kekuasaan seperti yang dimiliki oleh pemerintah. Penciptaan kondisi perekonomian yang kondusif dilakukan antarpelaku usaha dengan memberikan kebebasan berkontrak yang luas kepada masing-masing pelaku usaha. Kebebasan berkontrak yang luas digunakan tetap memperhatikan dan mengedepankan prinsip-prinsip tentang efisiensi biaya.
            Jika terjadi sengketa dalam dunia bisnis, penyelesaian tidak dilakukan secara bebas seperti awal mula mereka membentuk tatanan perkenomian. Harapan-harapan yang ingin dicapai oleh pelaku usaha yang berkepentingan secara bisnis diselesaikan dengan aturan pemerintah yang sifatnya memaksa. Peraturan perundang-undangan Austria yang sering disebut “nomos” dianggap para pelaku usaha sebagai aturan yang memberikan kepastian hukum. Kebebasan berkontrak yang luas harus dibatasi oleh “nomos” yang memaksa untuk dipatuhi dan dilaksanakan.
            Pola perekonomian Austria seperti terjadi paradoksial, dimana keinginan untuk bebas berkontrak yang secara spontan terjadi tumbuh dan berkembang secara luas bahkan membentuk tatanan ekonomi Austria justru diselesaikan atau bermuara pada doktrin hukum yang memaksa. “Nomos” yang awalnya dianggap sebagai penghambat laju pertumbuhan perekonomian ternyata dijadikan pedoman atau “hakim” yang paling konsisten dalam menyelesaikan sengketa dan pertentangan bisnis di Austria.

Kamis, 01 November 2012

Resume oleh Mario Anthony Tedja (02122502042) atas “Win-Win Solution Sebagai Prinsip Pemanfaatan Tanah Dalam Investasi Bidang Perkebunan Yang Mensejahterakan Rakyat” Oleh: Firman Muntaqo



Pancasila sebagai jiwa bangsa (volkgeist) yang melandasi secara idiil pembangunan hukum di Indonesia, termasuk juga pembangunan hukum investasi bidang perkebunan, sebagaimana tertuang dalam  sila tentang ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hukum digunakan sebagai sarana mencapai cita-cita bangsa yang termaktub dalam sila-sila tersebut di atas. Oleh karena Indonesia merupakan negara hukum maka dalam upaya mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus dibentuk peraturan yang lebih konkret. Penjabaran landasan idiil dalam sila-sila tersebut dicantumkan secara umum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Tugas negara dalam mewujudkan negara yang sejahtera (welfare state) diupayakan tanpa deharmonisasi jiwa bangsa yaitu dilakukan permusyawaratan atau dilakukan secara bersama (dari semua oleh semua dan untuk semua).
Indonesia sebagai negara agraria yang bercita-cita menjadi negeri yang makmur maka sistem perekonomian mestilah disusun sedemikian rupa untuk memperkuat kedudukan tanah sebagai faktor utama produksi. Peraturan pemilikan tanah harus memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat secara umum. Tugas negara juga membentuk peraturan yang berasaskan pemerataan pemilikan tanah (landreform) sebagai faktor produksi dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat.
Landasan konsep politik hukum agraria (politico legal concept) dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang dirumuskan lebih konkret oleh lembaga politik dalam pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria, di mana negara melalui lembaga pemerintah diberikan hak menguasai agraria sebagai bentuk dari hak tertinggi di bawah hak bangsa. Kenyataannya, pemerintah sarat dengan kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kesejahteraan dan kemakmuran berbeda orientasinya dengan jiwa bangsa. Perbedaan orientasi ini sangat signifikan mempengaruhi substansi peraturan investasi bidang perkebunan bahkan bertentangan dengan orientasi rakyat. Pengertian menguasai diartikan secara sempit sebagai pemilik padahal Negara sebagai organisasi seluruh rakyat fungsinya hanya mengatur, dan tidak berkedudukan sebagai pemilik, dan tanah sebenarnya milik rakyat, sehingga seharusnya dikuasai oleh rakyat melalui bentuk negara.
Meskipun legitimasi suatu negara berasal dari proses hukum dan politik, untuk dapat membentuk sistem hukum investasi bidang perkebunan yang harmonis, Indonesia yang rakyatnya sangat plural harus mencerminkan sistem hukum tumbuh (living law) dan berkembang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sistem hukum juga tidak tumbuh dari tawar menawar politik melainkan dari nilai-nilai dan asas-asas keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi cita-cita luhur bangsa. Sistem hukum yang harmonis dalam penerapannya tidak ada ketegangan yang berlebihan dan terdapat kerjasama antarfaktor yang menghasilkan kesatuan yang kuat dalam mencapai cita-cita luhur bangsa.
Sebagai negara berkembang, investasi dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan perekonomian guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penguasaan agaria khususnya tanah perkebunan untuk kepentingan investasi perlu melindungi kepentingan rakyat khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah agar tidak mengancam perwujudan cita-cita bangsa. Perlindungan hukum pada zaman globalisasi ini diidentikan dengan hak asasi manusia, sehingga perlindungan hukum adalah kesadaraan dan kepekaan dalam melindungi atau tidak mengganggu hak asasi manusia. Kewajiban negara melalui pemerintah untuk secara aktif dan berkesinambungan melindungi hak asasi manusia di bidang ekonomi khususnya invetasi perkebunan dituangkan dalam hukum positif. Perlindungan hukum yang berkeadilan, berkepastian bermanfaat, serasi dan seimbang antara masyarakat dan penanam modal sangat bermanfaat dalam menciptakan harmonisasi pengaturan hukum dalam kegiatan investasi bidang perkebunan.
Pemerintah harusnya merespon segala situasi dan kondisi yang terjadi yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi cita-cita bangsa yaitu welfare state. Pelaksanaan konsep kesejahteraan di Indonesia dilaksanakan melalui serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan masyarakat. Segala kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dalam dunia usaha dan civil society untuk mengatasi masalah sosial dan dalam rangka memenuhi rakyat yang sejahtera dan makmur.
            Kenyataannya sistem ekonomi Pancasila yang menjadi landasan idiil dilaksanakan dengan intervensi politik. Hak menguasai menjadi penyebab pengaturan diskriminatif bidang perkebunan, dalam bentuk pemihakan negara/pemerintah pada investor. Pemerintah yang mempunyai hak membentuk peraturan bukanlah lembaga yang kebal terhadap pengaruh sosial, budaya, politik, ekonomi dari berbagai kelompok dan kepentingan, terutama yang bermotif ekonomis. Secara de facto, pelaksanaan Hak Menguasai Negara lebih cenderung didasari tafsir bahwa, semua tanah di Indonesia adalah milik negara.
Pemanfaatan tanah bagi kegiatan penanaman modal bidang perkebunan sebagai pelaksanaan Hak Menguasai Negara, bertentangan dengan nilai keadilan, dan Hak Asasi manusia di bidang ekonomi tujuan pemanfaatan/penggunaan agraria/tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Distorsi mengenai pemaknaan hak menguasai negara mengakibatkan atau berpotensi diterbitkannya peraturan bagi penanaman modal atau investasi bidang perkebunan yang bertentangan dengan jiwa bangsa. Secara nyata dari distorsi ini adalah semakin banyaknya permasalahan tanah bidang perkebunan antara masyarakat dan penanam modal.
Oleh karena tanah memiliki multiple value dan sangat sulit untuk digantikan dengan benda yang lain, maka tanah bagi bagian besar rakyat Indonesia merupakan benda vital dan strategis. Tidak hanya rakyat, pemerintah pun memaknai tanah sebagai komoditas yang signifikan bagi peningkatan melalui pembangunan ekonomi di bidang penanaman modal.
Undang-undang Pokok Agraria tidak mengatur pemanfaatan tanah bagi penanaman modal di bidang perkebunanan sebagai objek landreform, maka pemerintah mempunyai landasan hukum untuk mengambil kebijakan yang memihak penanam modal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Penanaman Modal, seperti pengaturan tentang Hak guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara. Bentuk perlakuan yang berlebihan memihak terhadap penanam modal secara subtansial telah menggangu pencapaian cita-cita luhur bangsa. Mekanisme pengaturan jangka waktu dan perpanjangan di muka bagi hak atas tanah bagi investasi bidang perkebunan seakaan mengokohkan pemilik modal dan mencederai asas fungsi sosial hak atas tanah, dan sifat hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah, serta asas optimalisasi pemanfataatan hak atas tanah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Masyarakat terhalangi hak akses atas tanah perkebunannya dan hanya menjadi kelompok buruh perkebunan di tanah yang seharusnya miliknya sendiri.
Seharusnya, pemberian hak atas tanah kepada badan hukum harus tetap memberikan kesempatan pada generasi mendatang untuk dapat mengakses tanah perkebunan, karena hak untuk mengakses tanah dalam rangka mengambil manfaat tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat Indonesia dan keluarganya adalah hak asasi manusia. Pengaturan penanaman modal perlu dan bahkan harus disempurnakan agar mengutamakan kepentingan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang perkebunan.
 Undang-undang tentang Perkebunan sendiri tidak merumuskan tentang pemerataan pemilikan tanah perkebunan yang seharusnya menjadi bagian dari program landreform yang diamanatkan Undang-undang Pokok Agraria sebagai tujuan pembangunan bidang perkebunan. Pemerintah memihak dan melindungi investor dalam melaksanakan usahanya dari berbagai ancaman yang dapat timbul dari rakyat, dengan menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. Pelaku usaha perkebunan diperkenankan untuk melakukan pengamanan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat sekitarnya. Asas yang ditanamkan Undang-undang Perkebunan ini seringkali memicu berbagai permasalahan dan sengketa hukum baik antara maryarakat dengan investor bahkan antarkelompok dari mayarakat itu sendiri.
Rangkulan terhadap masyarakat hendak ditanamkan pemerintah melalui Undang-undang Perkebunan dalam bentuk yang didasari oleh hubungan inti-plasma, dimana kedudukan petani tersubordinasi oleh investor. Hubungan pertanian kontrak, dalambentuk koperasi yang pada dasarnya hanya bagian dari unit kegiatan yang dikendalikan oleh investor untuk menguasai semua sektor mulai dari pembangunan kebun, proses produksi, pemeliharaan, pemasaran, sampai pada penentuan harga produksi.
Seharusnya politik agraria yang populis menjadi dasar pengaturan pemanfaatan tanah atas dasar usaha secara bersama dan kekeluargaan dalam melakukan kegiatan usaha perkebunan agar lebih menjamin ketersediaan pekerjaan bagi buruh perkebunan secara berkelanjutan dengan tetap membuka kesempatan kepada para masyarakat setempat agar suatu saat dapat memiliki tanah perkebunan yang merupakan usaha turun temurun yang telah lama menempati tanah perkebunan.
Pemanjaan pemerintah terhadap investor pembangunan ekonomi perkebunan yang mengeyampingkan cita-cita luhur bangsa secara praktis menciptakan kemudahan dan kenyamanan dalam berinvestasi. Namun pemerintah tetap menyadari bahwa kepastian hak atas tanah dan jangka waktu suatu hak atas tanah diberikan merupakan pokok persoalan yang harus diselesaikan untuk menarik investasi yang lebih banyak lagi. Pemerintah atas  nama investasi cenderung menempatkan tanah sebagai komoditas perdagangan, sedangkan ketimbang menempatkannya sebagai asset yang vital dan strategis yang mempunyai hubungan langsung dengan rakyat sebagai faktor produksi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Seharusnya pemerintah dapat menserasikan antara kepentingan investor dan rakyat terhadap tanah. Pembentukan peraturan tentang pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan harus secara objektif didasarkan pada fakta nyata. Indonesia membutuhkan investor namun dalam memberikan pelayanan yang berlebihan (over service) dapat mengancam tercapainya tujuan luhur bangsa, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan acuan yang terukur untuk memastikan mengenai strategi pemanfaatan tanah yang akan diterapkan, secara signifikan dapat mengharmonisasikan segala kepentingan, baik itu kepentingan penanam modal, pemerintah maupun rakyat.
Seharusnya berbagai sengketa perkebunan yang timbul karena penguasaan/pemilikan tanah diminimalisir dengan alokasi dan distribusi tanah perkebunan bagi perusahaan dan rakyat dalam sistem usaha yang terintegrasi. Pemerintah hendaknya melakukan penguatan hak atas tanah bagi investor sektor perkebunan maupun bagi rakyat melalui pembentukan peraturan yang secara tegas menetapkan kewajiban pelaksanaan inti plasma secara prorata, sedangkan pemerintah sendiri bertindak selaku pengawas. Dengan demikian distribusi dan pemerataan hak atas tanah dan penarikan investasi dapat dilaksanakan secara sekaligus dan saling terlindungi kepentingannya masing-masing.
Untuk dapat melaksanakan prinsip prorata yang “Win-Win Solution”, maka pengaturan pemanfaatan tanah tersebut harus di atur dalam Undang-undang Pokok Agraria yang saling berharmoni dengan Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan. Bentuk daya dan upaya yang harus dilakukan dalam konsep hukum“Win-Win Solution Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Perkebunan” adalah:
a.    Memberikan definisi batasan yang tegas tentang hak menguasai negara;
b.    Memberikan kedudukan yang tegas bagi Hak Ulayat, dan memberikan bukti pemilikan hak ulayat pada masyarakat hukum adat;
c.    Melaksanakan program partial landreform bidang perkebunan dengan melakukan penyeimbangan pemilikan tanah oleh petani/pekebun dengan pemilikan tanah oleh perusahaan;
d.   Melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur :
1).   Hak Menguasai Negara agar jelas makna dan batasannya;
2).   Memberikan pengakuan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan Memberikan Bukti Hak Pengelolaan pada masyarakat hukum adat;
3).   Mencabut Pasal-Pasal Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan yang bersifat diskriminatif.
4).   Membentuk peraturan tentang Hak Milik untuk memperkuat kedudukan tanah bagi masyarakat berdasarkan hak asasi dan hubungan abadinya sebagai bagian dari bangsa/rakyat Indonesia;
5).   Melakukan desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan secara penuh pada pemerintah kabupaten/Kota.
Nilai keadilan dalam Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan dilakukan pencabutan, penyempurnaan dan penambahan asas dalam masing-masing undang-undang tersebut agar pengaturan pemanfaatan tanah untuk investasi di bidang perkebunan memberikan  perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah, berlandaskan pada asas usaha bersama berdasarkan kekeluargaan yang menjadi dasar demokrasi ekonomi Indonesia, asas sebesar-besar kemakmuran rakyat, filsafat keadilan, dan strategi untuk mengimplementasikan keadilan dengan memberikan perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah.
Dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang tidak seimbang, pemerintah melalui produk hukumnya seharusnya berdasarkan prinsip keadilan dapat  memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat yang paling lemah, guna mewujudkan keseimbangan sosial-ekonomi dalam masyarakat, dengan tetap memperhatikan perbedaan orientasi hukum investasi bidang perkebunan yang juga  mengutamakan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan negara/pemerintah, tanpa juga menyampingkan pemerataan tanah perkebunan bagi petani, terciptanya pasar buruh yang murah, serta tertutupnya akses rakyat untuk dapat memanfaatkan tanah. Orientasi hukum dari pemerintah harusnya sejalan dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, dan orientasi faktual di mana sebagian besar masyarakat hidupannya masih sangat tergantung pada tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya secara mikro.
Pemerintah sebagai pengemban amanat bangsa tidak sinkron dan tidak konsisten mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan melalui nilai-nilai keadilan dalam produk hukumnya yang dilaksanakan melalui strategi politik agraria populis/neo populis, sehingga perlu dilakukan upaya untuk kembali merestruktur nilai-nilai dasar yang luhur dari jiwa bangsa dengan melakukan harmonisasi hukum investasi di bidang perkebunan melalui penerapan konsep hukum “Win-Win Solution Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi  Penanaman Modal Bidang Perkebunan”

Faktualisasi Promosi dalam Ruang Lingkup Kode Etik Notaris


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada tanggal 06 Oktober 2004, Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan  Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Nomor 4432[1]. Ketentuan ini menggantikan Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Staatsblad 1860:3) yang telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Nomor 700 yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dari masyarakat Indonesia. Pembaruan dan pengaturan kembali ini dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan atau unifikasi hukum tentang jabatan notaris di seluruh wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia.
Kesatuan atau unifikasi yang ingin diciptakan tidak boleh direndahkan kehormatan dan martabatnya oleh notaris itu sendiri sehingga diperlukan kaedah-kaedah moral dalam menjalankan fungsinya sebagai pejabat umum dan profesional memilik standar perilaku yang seragam dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam suatu perkumpulan. Kaedah moral yang menjadi sandaran dalam menjaga martabat dan kehormatan notaris adalah kode etik notaris.
Oleh karena jabatan dan profesi notaris berlandaskan atas pelayanan yang mandiri maka dalam menjalankan tugasnya notaris harusnya objektif, tidak pamrih, rasionalistis, dan tetap juga solidaritas antarsesama notaris. Perilaku Notaris yang baik dapat diperoleh dengan berlandaskan pada Kode Etik Notaris, maka Kode Etik Notaris mengatur mengenai hal-hal yang harus ditaati oleh seorang Notaris dalam dan/atau di luar menjalankan jabatan dan profesinya.
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, per April 2011, tercatat sekitar 9.732 notaris yang telah menjalankan profesinya di wilayah hukum Indonesia. Pengaturan dalam bentuk Kode Etik dapat menciptakan keteraturan dalam beprofesi. Masih menurut Menteri tersebut dibutuhkan sekitar 11.326 orang notaris sampai dengan tahun 2014[2] sehingga dapat dibayangkan jika tidak ada etika yang membentengi notaris dalam menjalankan profesinya. Puluhan ribu notaris nantinya akan saling tidak menghormati dan menghargai satu sama lain bahkan mencederai profesi dan jabatan yang sangat bermartabat dalam melakukan tugasnya.
Sebagai pejabat yang tidak menikmati kas negara dalam mencukupi kebutuhannya, notaris sebagai pribadi juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan karyawannya. Pemenuhan kebutuhan hidup setidaknya tetap menjaga etika pergaulan notaris secara makro. Terkadang atas alasan biaya kelangsungan hidup, notaris membenturkannya dengan etika sehingga mencederai tata pergaulan notaris.  
Notaris berlomba-lomba membukukan nomor akta setinggi-tingginya. Promosi diri sepertinya dilakukan secara terselubung dengan mengenyampingkan Kode Etik yang telah disumpahkan pada saat diangkat menjadi notaris.
B.      Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana rumusan kode etik notaris di Indonesia?
2. Bagaimana faktualisasi promosi notaris di Indonesia?
C.   Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui tentang kode etik notaris di Indonesia dan pelaksanaan promosi notaris di Indonesia secara faktual. Manfaat penulisan makalah ini adalah membantu mencarikan solusi terbaik agar promisi yang dilakukan tidak melanggar kode etik notaris di Indonesia.
D.     Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode studi pustaka dan browsing internet.
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kode Etik Notaris di Indonesia
Atas perintah UUJN dalam pasal 83 ayat (1) berhubungan dengan pasal 89, Ikatan Notaris Indonesia[3] sebagai suatu perkumpulan atau organisasi kenotarisan di Indonesia yang diakui oleh pemerintah[4], diwajibkan membentuk kode etik yang berlandaskan pada UUJN. Pada tanggal 27 Januari 2005, INI dalam Kongres Luar Biasa di Bandung menetapkan 15 Pasal Kode Etik Notaris sesuai dengan perintah UUJN.
Pasal 3 Kode Etik mengatur mengenai hal yang wajib dimiliki dan dilakukan seorang notaris dalam melakukan profesinya yaitu sebagai berikut:
1.    Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2.    Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
3.    Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan
4.    Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
5.    Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.
7.    Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium. 
8.  Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9.    Memasang 1 (satu) buah pagan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran, yaitu 100 cm x 40 cm; 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat: (a) Nama lengkap dan gelar yang sah; (b) Tanggal dan Nomor Surat Keputusan; (c) Tempat kedudukan; (d) Alamat kantor dan Nomor telepon/fax.
Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus jelas dan mudah dibaca kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak memungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib.
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yangmeninggal dunia.
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan perkumpulan.
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan danpenandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasanyang sah.
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakantugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, salingmembantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakanstatus ekonomi dan/atau status sosialnya.
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk mentaati dan melaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam UUJN, Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN, Isi Sumpah Jabatan Notaris, Anggaran Dasar dan Rumah tangga INI.
Pasal 4 Kode Etik Notaris INI meletakkan nilai-nilai moralitas notaris di Indonesia dalam 15 larangan berupa:
1.    Mempunyai lebih dari 1(satu) kantor, baik kantor cabang maupun kantor perwakilan[5].
2.    Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi "Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
3.    Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan atau elektronik dalam bentuk iklan, ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, ucapan terima kasih, kegiatan pemasaran, kegiatan sponsor baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olahraga.
4. Bekerjasama dengan biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakikatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah disiapkan oleh pihak lain.
6.  Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
7.    Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
8.    Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta, padanya.
9.    Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dengan jumlah lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta,yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yangbersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifatmenggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengantujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Mencantumkan gelar yang tidak sahmerupakan tindak pidana, sehingga Notaris dilarang menggunakan gelar-­gelar tidak sah yang dapat merugikan masyarakat dan Notaris itu sendiri.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagaipelanggaran terhadap, Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbataspada pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUJN; Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN; Isi Sumpah Jabatan Notaris; Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/ atau keputusan-keputusan lain yang sudah ditetapkan organisasi INI yang tidak boleh dilakukan anggota.
Mengenai apa yang diwajibkan dan dilarang seorang notaris dalam melakukan profesinya, Kode Etik juga memberikan dispensasi atau pengecualian yang dapat dijadikan alasan pembenar agar tidak dikategorikan sebagai perlanggaran Kode Etik. Pasal 5 Kode Etik mengatur pengecualian yaitu sebagai berikut:
1.    Memberikan ucapan selamat, ucapan duka cita dengan menggunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja.
2.    Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon, fax dan telex yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau instansi-instansi dan atau lembaga-lembaga resmi lainnya.
3. Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari Kantor Notaris.
Sebagai alat pemaksa dalam menegakkan Kode Etik, INI memaktubkan mengenai sanksi pada pasal 6 Kode Etik Notaris, yakni berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara), onzetfing (pemecatan) dan pemberhentian dengan tidak hormat yang disesuai dengan kualitas pelanggaran yang dilakukan notaris.
Penjatuhan sanksi secara internal berdasarkan Kode Etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan terhadap notaris yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi tidak terbatas pada penjatuhan sanksi saja, Dewan Kehormatan juga memiliki fungsi preventif dengan melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan dan memberikan saran dan/atau pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik. Penjatuhan sanksi pada tingkat pertama dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Daerah setelah memeriksa bukti-bukti pelanggaran. Sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Daerah tidak wajib dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya, kecuali yang dijatuhkan adalah sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting). Dewan Kehormatan Wilayah berhak memeriksa dan menjatuhan sanksi pada tingkat banding atas sanksi schorsing atau onzetting yang diputuskan Dewan Kehormatan Daerah. Jika suatu daerah tidak atau belum memiliki Dewan Kehormatan Daerah maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah atas notaris yang daerahnya tidak memiliki Dewan Kehormatan Daerah tersebut maka putusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan keputusan dalam tingkat banding. Tingkat akhir pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dilakukan oleh Dewan Kehormatan Pusat. Putusan Dewan Kehormatan Wilayah yang berisi penjatuhan sanksi schorsing atau onzetting dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat[6].
Pelaksanaan eksekusi atas sanksi yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehorrnatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Penqurus Daerah. Khusus untuk sanksi schorsing, sanksi onzetting dan pemberhentian dengan tidak hormat wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah dan tembusannya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia[7].
B.      Faktualisasi Promosi Notaris di Indonesia
Notaris pada prinsipnya tidak diperkenankan mempromosikan diri secara langsung. Promosi yang dilakukan seharusnya sifatnya hanya dari mulut ke mulut dari orang yang merasa nyaman atas pelayanan yang telah dilakukan oleh seorang notaris.
Prinsip tersebut tetap dipegang teguh oleh notaris. Secara terang-terangan tidak mempromosikan diri dalam menjalankan profesinya. Tidak terlihat baik dalam media cetak maupun elektronik, seorang notaris mempromosikan diri melalui media tersebut. Akan tetapi sedikit banyak juga dijumpai dalam bentuk ucapan selamat atas suatu hal yang disampaikan oleh seorang notaris dalam media cetak.
Selain mengenakan identitas berupa nama notaris dan alamat kantor yang dicantumkan kolom surat kabar, notaris bahkan menyertakan lambang burung Garuda Pancasila yang menjadi identitas pejabat umum notaris. Pencantuman lambang burung Garuda Pancasila dalam kartu nama saja pada prinsipnya melanggar Kode Etik[8].
Media cetak dan media elektronik pada prinsipnya digunakan oleh pihak tertentu untuk menyebarluaskan informasi mengenai hal tertentu. Sarana ini pada awalnya sangat efektif untuk menyampaikan berita dan informasi kepada khalayak ramai. Asas publisitas secara tidak resmi dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik.
Dengan dicantumkannya ucapan selamat yang menyatakan dari notaris tertentu maka secara tidak langsung notaris tersebut telah mempublikasikan kepada khalayak umum bahwa beliau merupakan notaris dengan alamat tersebut. Melalui media cetak dan media elektronik tersebut juga khalayak umum dapat mengetahu kedudukan seseorang secara faktual dan intelektual.
Media cetak memiliki ruang yang lebih sempit daripada media elektronik sehingga efek domino dari pencantuman ucapan pada media cetak tidak sebesar pada media elektronik. Media elektronik khususnya jaringan internet memiliki batas ruang dan waktu yang lebih luas. Pada umumnya notaris yang memanfaatkan sarana internet menggunakan bentuk blog dalam mempromosikan dirinya sebagai seorang notaris. Pada umumnya promosi yang dilakukan oleh notaris pada media internet tidak mencantumkan alamat. Para notaris mempromosikan diri dengan berbagai tulisan dan pandangan mereka pada masalah atau isu tertentu. Kekuatan intelektual lebih ditonjolkan oleh para notaris dalam mempromosikan diri melalui media internet.
Lebih sempit dari media cetak dan media elektronik adalah media “karangan bunga”. Sedikit banyak juga notaris dalam menjaga hubungan relasi dengan kliennya menggunakan media ini untuk ikut mempromosikan dirinya. Meskipun tidak secara jelas menyatakan alamatnya akan tetapi melalui media “karangan bunga” dapat juga secara tidak langsung menyampaikan pesan tentang jabatannya sebagai seorang notaris.   
Pada prinsipnya segala bentuk promisi adalah bertentangan dengan kode etik kecuali yang dikecualikan oleh kode etik. Dari media elektronik yang sangat luas implementasi seperti internet sampai ke media “karangan bunga” yang sempit cakupannya, notaris dituntut dapat membedakan kedudukannya dalam kehidupan sosial atau tidak membawa status notarisnya. Hal ini untuk menjaga keseimbangan antarnotaris agar dalam menjalankan tugasnya sebagai  saling menghormati dan menjaga martabat masing-masing.
  
BAB III
KESIMPULAN

Notaris sebagai pejabat umum merupakan kedudukan yang bermartabat dan terhormat. Tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum diatur dalam Kode Etik untuk menjaga kewibawaan dan kehormatan seorang notaris. Kode Etik Notaris di Indonesia mengatur secara perkumpulan tentang yang harus dimiliki oleh seorang notaris secara pribadi dan administratif, larangan, kewajiban, pengecualian dan sistem penjatuhan sanksi
Notaris sebagai profesi merupakan jabatan yang menuntut kemandirian khususnya secara finansial. Meskipun pada prinsipnya tidak diperkenankan melakukan publikasi yang tidak bermartabat, faktanya publikasi diri notaris banyak dilakukan melalui mulut ke mulut, pemberian kartu nama, “karangan bunga”, media cetak berupa ucapan atas suatu peristiwa dan media elektronik khususnya internet dalam bentuk tulisan-tulisan tentang pendapat notaris pada blog pribadi. Apapun bentuk  promosi jabatan notaris baik itu dalam bentuk media cetak maupun elektronik sepanjang tidak bertentangan dengan pasal 4 dan pasal 5 Kode Etik Notaris maka diperkenankan dilakukan.


[1] Selanjutnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Nomor 44321disingkat sebagai UUJN
[3] Selanjutnya Ikatan Notaris Indonesia disingkat sebagai INI
[4] Pengakuan INI sebagai satu-satunya organisasi yang profesional berbentuk badan hukum termaktub dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan tertanggal 17 Januari 2003
[5] Lihat pasal 19 UUJN
[7] Ibid