Sabtu, 22 Desember 2012

Pernyataan Seorang Doktor tentang Perseoran Komanditer Suami Isteri

Suatu ketika ada seorang Doktor yang telah membuat banyak buku melemparkan suatu pertanyaan, apakah boleh suatu perseroan komanditer didirikan oleh 2 orang yang merupakan suami isteri? Menurut beliau diperkenankan karena suami isteri itu dianggap sebagai 2 orang dalam hal fisik.

Tetapi saya berpendapat lain, setelah sesi istirahat selesai, saya berdiskusi dengan beliau, dan saya sampaikan bahwa apakah suami isteri dapat melakukan perikatan hukum? apakah diperkenankan suami menjual harta kekayaannya kepada isterinya? apakah diperkenankan suami menyewakan rumahnya kepada isterinya? Sudah pasti dijawab beliau "tidak"

Begitu juga dengan perseroan komanditer yang didirikan oleh 2 orang yang merupakan suami isteri. Yang membedakan setiap orang itu bukan hanya fisik atau bentuk akan tetapi hak dan kewajiban serta harta kekayaannya. Orang di sini harus diartikan sebagai subjek hukum sehingga jelas yang memiliki harta kekayaan terpisah.

Prinsipnya dalam perseroan harus ada 2 harta kekayaan yang menanggung kelangsungan perseroan komanditer, jika perseroan itu berasal dari 1 harta kekayaan. Suami isteri yang membuat perseroan komanditer tidak ubahnya seperti usaha dagang biasa karena yang menanggung hanya harta kekayaan mereka sendiri. Jadi untuk apa mereka membuat perseroan komanditer?

Selain itu jika suami bertindak sebagai persero aktif dan isteri bertindak sebagai persero pasif atau sebaliknya, apabila terjadi kebangrutan maka bagaimana tanggung jawab masing-masing pihak? suami yang aktif bertindak sampai harta pribadi sedangkan isteri yang pasif bertindak sampai pemasukan yang diberikan,  atau sebaliknya, padahal harta kekayaan mereka sama saja.

Seorang doktor ini tidak merevisi pernyataannya dan membenarkan alasan saya.

Selasa, 11 Desember 2012

Kedudukan Pihak III Dalam Perjanjian Yang Batal Demi Hukum


Suatu perjanjian perdata sah jika dilakukan oleh subjek hukum yang cakap, adanya kesepakatan dari para pihak, memperjanjikan objek yang tertentu dan klasula yang halal.
Perjanjian yang tidak halal atau bertentangan dengan hukum positif maka batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.
Secara yuiridis formil, permohonan batal demi hukum tidak dapat serta merta batal demi hukum, akan tetapi melalui putusan. Jika putusan pengadilan meletakan status perjanjian  batal demi hukum. Dengan status batal demi hukum maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Akan tetapi perbuatan hukum telah dilakukan untuk memenuhi prestasi dari perjanjian yang dibatal demi hukumkan tersebut. 
Para pihak maupun pihak III yang turut berprestasi dengan itikad baik dalam perjanjian yang batal demi hukum dilindungi oleh undang-undang (pasal 1341 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pembatalan perjanjian harus tetap melindungi kepentingan pihak-pihak yang telah berprestasi dengan itikad baik. Perjanjian dapat dianggap tidak pernah ada sehingga setiap perbuatan hukum dalam ruang lingkup perjanjian yang batal tersebut juga harus dikembalikan seperti semua seperti tidak pernah terjadi sesuatu diantara para pihak maupun dengan pihak III. Kedudukan seimbang harus juga dikembalikan seperti semula sehingga tidak ada pihak yang dirugikan oleh karena batal demi hukum tersebut. 
Apabila putusan pengadilan tidak secara tersurat menyatakan dilakukan pengembalian keadaaan seperti tidak pernah terjadinya perjanjian, maka pihak yang masih dirugikan  dapat melakukan upaya hukum meminta pergantian biaya, kerugian dan keuntungan berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Selasa, 04 Desember 2012

Teori Kepastian dalam Prespektif Hukum Kontrak


Hukum dibentuk bukan tanpa visi atau dibuat secara tak bermaksud. Hukum pada umumnya dibentuk atau dibuat dengan visi atau tujuan untuk memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan ketertiban. Penganut aliran normatif positivisme,secara dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada aspek kepastian hukum bagi para pendukung hak dan kewajiban.
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh subjek hukum. Ada tertulis istilah  fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.
Penganut aliran positivisme lebih menitikberatkan kepastian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan pada umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang yang memunculkan teori tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah kedudukan hukumnya.
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan sosial, kepastian adalah menyaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian dikonkretkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum.
Dalam hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum melalui hukum kontrak juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang memberikan kepastiannya melalui pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antarsubjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum adalah perwujudan dari itikad baik.
Kepastian dalam melakukan kontrak tidak hanya dari suatu akibat suatu kontrak yang hendak diinginkan, akan tetapi juga pada substansi kontrak itu sendiri. Pembentuk undang-undang juga mewajibkan kepastian dalam merumuskan suatu kontrak.Pasal 1342 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan juga harus jelas sehingga tidak dapat menyimpang dari penafsiran yang sudah dijelaskan. Oleh karena kontrak merupakan undang-undang bagi para subjek hukum maka segala sesuatu yang tertulis harus pasti diartikan oleh para subjek hukum. Jika suatu kontrak tidak memberikan kepastian dalam hal isinya maka kedudukan subjek hukum yang lemah akan tidak terlindungi dan menjadi tidak pasti.
Itikad baik dan penafsiran tidak sepenuhnya menjamin kedudukan yang pasti para subjek hukum dalam suatu kontrak. Menurut Rene Descrates, seorang filsuf dari Perancis, menyatakan bahwa kepastian hukum dapat diperoleh dari metode sanksi yang jelas. Sanksi yang akan diberlakukan bagi para subjek hukum yang terlibat dalam suatu kontrak bersifat tetap dan tidak diragukan. Sanksi diberikan bukan sebagai orientasi pada hasil yang akan dituju dari suatu kontrak akan tetapi orientasi pada proses pelaksanaan kontrak itu sendiri.
Teori Kepastian menekankan pada penafsiran dan sanksi yang jelas agar suatu kontrak dapat memberikan kedudukan yang sama antarsubjek hukum yang terlibat. Kepastian memberikan kejelasan dalam melakukan perbuatan hukum saat pelaksanaan kontrak dalam bentuk prestas bahkan saat kontrak tersebut wanprestasi