Dalam surat kabar lokal tertulis judul "Niat Balas Dendam : Motif Penembakan Polisi". Berita ini diturunkan karena tertangkapnya tersangka pelaku penembakan Polisi di salah satu bank di Palu, Sulawesi Tengah.
Pelaku dalam sebuah video berdurasi sekitar 7 menit menyatakan bahwa dia melakukan itu karena balas dendam. Tampak dalam video itu, tersangka memberikan testimoni dari balik jeruji besi hanya dengan mengenakan celana dalam. Tersangka mendendam karena pernah ditabrak polisi tanpa ada keadilan yang mendatanginya.
Padahal berdasarkan pasal 22 dan pasal 23 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, setiap polisi yang diangkat wajib mengucapkan sumpa/janji untuk bekerja sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku, mengutamakan kepentingan umum dan bekerja tanpa menerima hadiah karena jabatannya. ("Demi Allah, saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah; bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan kedinasan di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya".)
Dari video itu saja, tersangka yang ditempatkan dalam ruang jeruji hanya dengan mengenakan celana dalam sudah menunjukkan bahwa dia diperlakukan secara tidak berperikemanusiaan. Padahal negara kita telah memiliki Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 2 menyatakan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia yang harus dilindungi dan , dihormati demi peningkatan martabat kemanusiaan dan keadilan. Belum lagi penyiksaan yang dilakukan oleh polisi yang digunakan untuk mempercepat proses penyidikan yang bertentangan dengan pasal 33 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Rahasia umum juga jika polisi tidak sangat sulit mementingkan kepentingan umum daripada pribadinya. Cobalah jika Anda mengalami penyitaan untuk kepentingan penyidikan. Barang bukti berupa kendaraan kita akan digelandang ke kantor polisi. Tidak sedikit kendaraan kita akan dipergunakan oleh polisi untuk tujuan yang tidak jelas. Padahal alat bukti itu harus streril dari apapun sehingga tidak boleh dipergunakan untuk apapun selama masa penyidikan. Pernah saya mengalami kejadian bahwa jaminan fidusia yang hendak kami kuasai kembali harus ditunda karena mobil tersebut dipergunakan oleh bintang satu. Padahal sehari sebelumnya seorang perwira menengah telah memberikan lampu hijau untuk diambil dengan menyertakan fotocopy Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor dan Sertifikat Fidusia dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hari itu kami pulang dengan tangan kosong. Padahal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kami hak eksekutorial.
Kalau bercerita tentang tidak menerima imbalan, rasanya sangat banyak yang bisa diceritakan. Saya pernah pulang dinas dari Muara Enim (Sumatera Selatan). Ketika melintas antara Prabumulih - Inderalaya sekitar pukul 20:00an WIB. Saya melihat sekitar 3 mobil truk pengangkut kayu sedang menepi di bahu jalan. Di depan truk paling depan tampak sebuah mobil resmi polisi warna abu-abu. Baik truk maupun mobil polisi itu tidak menyalakan lampu dan berhenti. Mungkin kita harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) dan tidak terjadi apa-apa antara mereka. Kejadian lain yang pernah saya alami juga mungkin dapat sedikit menjelaskan menerima hadiah atau tidak. Sekitar pukul 21:00an WIB, saya menunggu teman saya membeli sesuatu di suatu mini market di jalan kolonel haji burlian Palembang. Sewaktu menunggu di atas motor, saya melihat sebuah mobil resmi polisi warna abu-abu. Mobil itu berhenti dipinggir jalan dan dalam sekejap seorang pria keluar dari sebuah Panti Pijat dan Urut Tradisional (PPUT) yang letaknya tepat disebelah selatan mini market yang dihampiri teman saya. Seorang polisi yang duduk di sebelah tempat mengemudi mengeluarkan tangannya untuk mengambil sesuatu yang diberikan seorang pria yang keluar dari PPUT tersebut. Setelah menerima pemberian pria itu, mobil polisi itu melanjutkan kegiatannya dengan memasuki sebuah wisma remang-remang yang hanya berselang 1 bangunan dari tempat PPUT tersebut. Dalam hitungan menit mobil polisi itu kembali melanjutkan perjalanannya entah ke mana lagi. Apa yang diberi pria dari PPUT itu?
Sebagai seorang polisi yang bertugas menegakkan hukum dan melayani masyarakat, tidak sepatutnya melanggar sumpah/janji yang dinyatakan di hadapan Tuhan yang Maha Esa. Masyarakat punya panca indera dan pikiran untuk mencerna setiap kejadian. Masyarakat mungkin sudah muak disuguhi perbuatan polisi yang tidak mengedepan norma dan hukum demi keadilan. Kejahatan yang dibalas dengan kejahatan hanya akan menimbulkan kejahatan baru sehingga kejahatan itu tidak akan pernah selesai. Berubahlah karena "majikan" dapat marah kepada "abdi"nya. Jika "abdi"-nya tidak berulah mana mungkin "majikan"-nya marah. "Majikan" juga jika cari "abdi" carilah yang memiliki jiwa melayani bukan cuma karena kekerabatan dan berotak saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar