Rabu, 15 Agustus 2012

Sedikit Cerita Kembali Ke Inderalaya

Hari Jumat, 27 Juli 2012, saya pergi ke Universitas Sriwijaya menggunakan Trans Musi. Sewaktu hendak naik saya diwajibkan membeli kartu elektronik untuk menggunakan jasa Trans Musi. Jika tidak membeli kartu elektronik maka saya tidak boleh menggunakan jasa Trans Musi. Kartu elektronik seharga Rp. 10.000,- dan ongkos ke Inderalaya sebesar Rp. 7.000,- Oleh karena pramugaranya kurang bersahabat, banyak calon penumpang yang mengurungkan menggunakan Trans Musi. Memang kebanyakan mereka adalah mahasiswa.

Saya rasa menjual kartu seharusnya dengan cara yang lebih santun. Contoh saja Singapura, dengan kartu harga lebih murah dibandingkan cara tunai sehingga orang lebih tertarik menggunakan kartu. Jika harga dengan kartu dan tunai sama lalu apa benefitnya menggunakan kartu bagi penumpang? Apakah hanya dengan alasan bahwa yang tidak membeli kartu tidak ikut membantu mengembangkan Trans Musi? Selalu konsumen yang disalahkan. 

Mahasiswa di depan saya sebelumnya hendak menggunakan 1 kartu untuk 5 orang, akan tetapi ditolak pramugara karena menurutnya 1 kartu 1 penumpang. Sambil bergumam dia katakan bahwa banyak mahasiswa yang tidak menempelkan kartu sehingga mereka rugi secara operasional. Setelah mendengarkan celotehan pramugara tersebut akhirnya 5 orang mahasiswa tersebut turun dan beralih menggunakan jasa angkutan lain. Saya rasa juga kurang tepat meletakkan alat sensor diseberang pintu masuk. Jika dalam kondisi padat rasanya banyak yang berlaku curang dalam menggunakan jasa Trans Musi dengan tidak menempelkan kartu di alat sensor. Seharusnya pola arus masuk dan keluar penumpang diubah seperti di negara tetangga yang suka berisik dengan kita, yaitu Singapura. Penumpang yang hendak masuk wajib melalui pintu depan. Sopir memastikan bahwa yang hendak naik menempelkan lebih dahulu kartu pada alat sensor. Pintu yang sempit dapat menjadi alat sortir dan antri yang lebih tertib. Sehingga tugas pramugara hanya memastikan penumpang keluar dengan selamat dan menjad agen penjualan isi ulang kartu. 

Pulang dari Inderalaya saya kembali menggunakan Trans Musi, akan tetapi standar layanan yang digunakan berbeda. Pramugara membiarkan 1 kartu digunakan oleh 7 orang mahasiswa dengan menempelkan kartu elektronik sebanyak 7 kali. Apakah memang 1 kartu untuk 1 penumpang atau 1 kartu boleh untuk banyak penumpang? Standar Operasional Prosedur yang tidak jelas atau petugasnya yang tidak taat aturan perusahaan?

Selain itu yang membuat hati saya lebih miris adalah nilai atau norma timur yang sopan santun yang tidak tertanam dalam jiwa-jiwa mahasiswa. Petugas sudah menyatakan bahwa ini adalah Trans Musi terakhir dari Inderalaya. Jam sudah menunjukan pukul 14:23 WIB dan Trans Musi cukup lama menunggu penumpang di halte Perpustakan Universitas Sriwijaya. Banyak mahasiswa yang sudah duduk langsung menggunakan headset sambil membaca buku. Sayang, pintar saja tidak cukup kawan jika kita tidak bermoral. Seorang ibu dengan perut yang sedang hamil tidak mendapatkan tempat duduk. Saya lihat kanan-kiri ternyata tidak ada satu mahasiswa pun yang memperhatikan ibu tersebut. Saya yang telah lulus dari predikat mahasiswa lebih dari 1 dasawarsa yang lalu merelakan kursi saya untuk diberikan kepada ibu hamil itu. Bayangkan perjalanan dari Inderalaya ke Palembang berdiri dalam keadaan hamil. Trans Musi masih menunggu seorang bapak berumur sekitar 50an tahun bersama hendak ikut ke Palembang. Kembali saya dipertontonkan dengan moral mahasiswa yang kembali membiarkan bapak tua ini berdiri dengan bobot yang cukup berat selama hampir 90 menit. Saya pikir wajar mereka seperti itu karena tidak ada tanda bahwa kursi ini untuk orang tua atau cacat seperti di negara tetangga yang katanya tidak bermoral dengan mengeruk pasir tanah air kita. Pramugara pun tidak menyadarkan mahasiswa akan hal itu mereka hanya menyadarkan para mahasiswa untuk membayar sebelum duduk. 

Sampai di Palembang sambil berjalan menuju motor, saya merenungkan, berapa banyak angka nol untuk melakukan studi banding ke tetangga jauh dengan hasil angka nol. Operasional moda transportasi massal kita masih jauh panggang dari api. Begitu juga dengan moralitas para kaum muda sebagai generasi penerus. Tidak usah perlu cerita bagaimana hendak mensejahterakan kalau masalah memberikan tempat duduk saya tidak bisa dilaksanakan.



Rabu, 08 Agustus 2012

Sedikit Komentar Atas Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012


Salah satu hal baru atau invosi dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) sebagai perbaikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 adalah kewajiban perseroan yang menjalankan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sering disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Setelah menunggu hampir 5 (lima) tahun, akhirnya Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012) yang telah memenuhi asas publisitas dengan diumumkan melalui Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 2012 Nomor 89, Tambahan 5305.

Selama 1693 (seribu enam ratus sembilan puluh tiga) hari kalender, para praktisi maupun akademisi memberikan ketentuan “di bawah tangan” atas aturan CSR. Berbagai forum diskusi bahkan perdebatan dilakukan untuk memberikan unggahan kepada Pemerintah. Pelaku dunia usaha menilai bahwa ketentuan CSR dalam UU 40/2012 sebagai biaya tambahan yang harus dikeluarkan yang bermuara pada berkurangnya pendapatan atau keuntungan perusahaan. Roh dari ketentuan CSR ini sebenarnya ingin menciptakan hubungan saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar perusahaan. Dikatakan sebagai komensalisme jika masyarakat diuntungkan dengan keberadaan suatu perusahaan di lingkungannya dan perusahaan pun tidak ditambah beban dalam melaksanakan kewajiban CSR.

Ketentuan “di bawah tangan” yang ingin di”otentik”an oleh pelaku dunia usaha adalah bagaimana perusahaan tidak diberikan beban tambahan melalui CSR melainkan diberikan kompensasi dalam bentuk pengurangan pajak atau singkatnya kewajiban CSR dikategorikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak seperti di negara-negara maju kebanyakan.

Tanggal 14 April 2012, Pemerintah merespon diskusi dan perdebatan CSR dengan menerbitkan PP 47/2012. Secara moral, setiap perusahaan memiliki tanggung jawab menciptakan hubungan serasi dan seimbang dengan masyarakat sekitar tapi yang memiliki kewajiban CSR adalah perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola, memanfaatkan dan berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam (pasal 2 berhubungan dengan pasal 3).

Harapan para pelaku dunia usaha tidak sepenuhnya kesampaian karena pasal 5 PP 47/2012 menyatakan bahwa realisasi anggaran pelaksanaan CSR suatu perusahaan diperhitungkan secara patut dan wajar sebagai biaya perseroan. Batasan patut dan wajar tidak dijelaskan dalam PP 47/2012 dalam bentuk persentase atau angka yang bersifat tiering. Kepatutan dan kewajaran tersebut diambangkan kembali secara luas oleh pembuat peraturan.

Sifat terencana juga dituangkan dalam PP 47/2012 dimana dalam merumuskan program CSR, perusahaan wajib menuangkannya dalam rencana anggaran tahunan perusahaan yang memerlukan persetujuan Komisaris dan dituangkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Program CSR harus benar-benar telah dianggarkan sebelum perusahaan melaksanakan kegiatan. Padahal seperti diketahui Indonesia merupakan daerah rawan bencana tapi sumbangan dalam bentuk bantuan terhadap korban bencana tidak dapat dikategorikan sebagai CSR jika dibenturkan dengan PP 47/2012. Fungsi penyimbang perusahaan dalam terjadinya bencana hanya diartikan sebagai perbuatan sosial dari badan yang berorientasi bisnis dan memegang prinsip-prinsip ekonomi.  

Sifat wajib yang ditekankan dalam PP 47/2012 menimbulkan konsekuensi sanksi (punishment) yang diletakkan dalam pasal 7. “Sanksi positif” berupa reward juga diberikan kepada perusahaan yang telah melaksanakan CSR dengan memberikan dalam penghargaan atau fasilitas. Memang tidak secara gamblang bentuk penghargaan atau fasilitas yang dimaksud. Harapan pelaku dunia usaha dapat menjadi unggahan bagi penerbit peraturan lebih khusus di bawah peraturan pemerintah. Kalaupun nanti diterbitkan aturan sesuai harapan pelaku dunia usaha yaitu penghargaan atau fasilitas pengurangan penghasilan kena pajak, maka seharusnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 36/2008) khususnya pasal 6 ayat (1) dan pasal 9 ayat (1), kecuali CSR tersebut diberikan dalam bentuk bea siswa atau magang atau pelatihan.

Dalam memenuhi asas kesetaraan seharusnya penerima CSR dapat dikenakan pajak penghasilan. Pengenaan pajak penghasilan menurut Gunadi selaku Guru Besar Perpajakan Universitas Indonesia (Bisnis Indonesia: 2007) didasarkan pada prinsip penambahan kemampuan ekonomis penerima CSR.

Yang menjadi benang merah CSR adalah bagaimana suatu perusahaan yang tumbuh dan berkembang di suatu kehidupan masyarakat dan juga menumbuh kembangkan masyarakat. Bagi perusahaan  diharapkan pelaksanaan CSR tidak memberatkan keuangan atau profibilitas perusahaan sehingga antara masyarakat sekitar dan perusahaan setidaknya terbentuk simbiosis komensalisme bahkan mutualisme.