Rabu, 29 September 2010

Lost Paspor in Singapore

Kejadian ini memang tidak terkini karena terjadi pada 08 Maret 2008 tapi kejadian ini sangat berkesan buat saya.

Waktu itu teman kantorku kehilangan paspor di sewaktu keluar dari Harbour Front, Singapore. Sesampai di hotel, semua barang sudah dibongkar dari tas, tapi tetap tidak menemukan paspor itu. Paspor itu ibarat nyawa kita di luar negeri, kalau sampai tidak hilang, alamat deportasi.

Keesokan harinya kami kembali ke Harbour Front, untuk menanyakan keberadaan paspor teman saya. Menurut petugas dermaga, mereka belum menerima pelimpahan dari petugas piket semalam. Cemas bertambah setelah jawaban tersebut masuk ke telinga. Yang terpikir adalah lapor polisi mengenai kehilangan ini agar kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ada dasarnya, memang kami masih memegang fotocopy paspor untukjaga-jaga.

Teman saya melaporkan kejadian tersebut ke pos polisi terdekat. Kantor polisi di Singapore tidak banyak meja dan personil. Hanya terdapat seorang polisi yang bertugas saat itu. Teman saya melaporkan kronologis kejadian kehilangan paspornya kepada polisi tersebut. Polisi tersebut mulai memainkan jari-jarinya untuk membuat surat laporan kehilangan. Sesekali beliau memperhatikan layar televisi yang tersambung ke CCTV (Close Circuit Television) di tempat tertentu. Tidak berapa lama surat laporan kehilangan itu dicetak dan ditandatangani oleh beliau sendiri. Lalu terlontar kalimat yang biasa diucapkan setelah aparat melayani kita, "is there any admission fee for this letter ?", beliau menjawab "no need". 

Kantor polisi hanya dihuni oleh seorang petugas yang kerjanya mengamati CCTV, melakukan tugas administrasi dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan oleh mereka sendiri. Luar biasa cukup dengan satu orang saja, bandingkan dengan Indonesia dan silahkan dijawab sendiri.

Kami lanjutkan acara melancong kami dengan hati cemas, karena sore ini kami harus kembali ke Indonesia. Di setiap daerah yang cukup banyak hotel murah seperti Chinatown dan Bugis, kami selalu menyempatkan diri untuk bertanya tentang reservasi. Kebetulan minggu itu ada acara komputer yang diadakan di Suntec City, jadi banyak hotel yang dalam posisi full booked. Tambah cemas

Sore harinya kami coba mendatangi lagi petugas dermaga dan mempertanyakan keberadaan paspor teman saya. Kami dilayani oleh seorang petugas wanita keturunan India. Beliau memperhatikan wajah teman saya dengan seksama. "Where are you come from ?", "Indonesia" jawab kami. Beliau balas kembali dengan "wait... wait..." Kemudian beliau melihat-lihat tumpukan berkas di mejanya. Kemudian beliau membawa satu buku paspor ke kami. "Is it yours ?" tanyanya, foto di paspor adalah foto teman saya dan tertulis nama teman saya. Puji Tuhan kami bisa kembali ke Indonesia dengan aman.

Satu hal yang lucu dari serah terima paspor itu. Singapore layaknya kota teknologi, di mana semua hal memanfaakan kecanggihan teknologi. Toilet yang menyiram sendiri, mesin pembelian tiket MRT (Mass Rapid Transit) atau kereta api bawah tanah yang dapat memberikan kembalian, jadwal kedatangan bus yang terukur di halte-halte, dan banyak lagi.Tapi tanda terima paspor masih menggunakan buku dan ditandatangi secara konvensional. Saya pikir tanda terima akan mengunakan paperless dengan menggunakan alat tertentu atau cara apapun yang canggih. Ternyata tetap menggunakan cara konvensional. 

Senin, 27 September 2010

First Impress in Singapore (2006)

Pertama kali menginjakkan kaki di negara tetangga Singapura tahun 2006 melalui Harbour Front, yang terlihat adalah kecanggihan teknologi negara ini. Dalam kantong celana saya terdapat uang logam ratusan rupiah warna kuning. Sewaktu melalui pemeriksaan di Batam Center hal tersebut tidak terdeteksi oleh alat Indonesia. Begitu melalui alat di Singapura, saya ditahan oleh petugas sana. "Open it" sambil menunjuk saku celana saya. Ternyata uang logam Indonesia terdeteksi di Singapura. First impress, bagaimana canggihnya teknologi kota ini.
Keluar dari sana, bus yang membawa rombongan kami berhenti di persimpangan (lampu merah). Di sana pun terpasang CCTV (Close Circuit Television) yang siap memantau pelanggaran yang terjadi di jalan raya. Pemandu wisata pun menyatakan bahwa setiap pelanggaran akan terpantau melalui CCTV tersebut dan akan diberikan surat ke rumah mereka. Apa benar ? Setidaknya hal ini belum terbukti karena saya belum pernah melakukan pelanggaran lalu lintas di Singapura.
Tiba di hotel, teknologi lain yang diberikan ada minum langsung dari kran air. Kalau di Indonesia jangan pernah mencobanya kecuali perut Anda memang kuat untuk itu. Pertamanya ragu dan sempat menanyakan kebenarannya kepada pihak hotel. "Can i drink the water from the pipe directly ?" tanyaku dengan sedikit keraguan. "Off course" jawab mereka. Seketika itu juga aku tutup teleponku. Puji Tuhan tidak ada gangguan dengan perutku di sana.
Teknologi lainnya adalah penyiraman otomatis di toilet umum. Sewaktu sampai di toilet di seputaran Bugis Junction, kami binggung untuk menyiram hasil buang air kecil kami, karena biasanya terdapat tombol untuk melakukan "flush" atas "air seni". Tapi tombol itu tidak ada, ternyata alat itu melakukan penyiraman otomatis dengan bantuan panas tubuh. Tapi sekarang hal ini juga telah diterapkan pada pusat-pusat perbelanjaan termuka di Jakarta. Lumayan.