Kamis, 09 Juni 2011

Mau dibawa ke mana (Indonesiaku)?

Global Competitiveness Index (CGI) menempatkan daya saing Indonesia pada urutan ke 44 dari 139 negara. Peringkat ini lebih baik dari anggota G20 (gerakan negara-negara yang memiliki perekonomian besar/utama di dunia), lainnya seperti India, Afrika Selatan, Brasil dan Rusia, yang masing-masing berada di peringkat 51, 54, 59 dan 63. Peringkat Indonesia malah tidak lebih baik dari negara ASEAN lainnya yang tidak tergabung dalam G20, yaitu Malaysia di peringkat 27 dan Singapura di peringkat 3.

Indikator yang dugunakan CGI untuk memeringkat 139 negara itu adalah lembaga (birokrasi), infrastruktur, kesehatan lingkungan, ekonomi makro dan pendidikan dan pelatihan dasar, efisiensi pasar yang baik, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi kesiapan, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi

Jika melihat indikator tersebut sepertinya Indonesia hanya mengandalkan ukuran pasar dan ekonomi makro. Dengan jumlah penduduk yang mendekati angka 250 juta jiwa tentunya Indonesia adalah ukuran pasar yang besar. Ukuran pasar yang besar berimbas juga pada ekonomi makro yang besar pula. Hal ini tercermin dari pendapatan domestik bruto (PDB) yang mencapai USD. 750 milyar. Selebihnya Indonesia masih perlu banyak perbaikan.

Keberhasilan Indonesia menyabet peringkat 111 dari 180 negara terkorupsi di dunia menurut Political & Economic Risk Consultancy (PERC) menjadi faktor pengurang dalam hal daya saing kita. Malaysia (56) dan Singapura (3) jauh lebih baik dari segi birokrasi yang bersih. Sudah rahasia umum jika berurusan dengan pemerintah kita harus menyiapkan biaya tambahan di luar apa yang tertulis.

Mengenai infrastruktur, saya ada sedikit cerita dari teman saya yang baru pertama kali berkunjung ke Singapura. Selama di Singapura kami memanfaatkan jasa bus pariwisata dan bus sepertinya tidak terhambat jalannya oleh karena lubang. Begitu tiba kembali ke Indonesia melalui Batam, kami juga dijemput oleh bus menuju tempat peristirahatan kami. Bus sering menghindari lubang bahkan harus masuk lubang jika tidak ada celah untuk menghindar. Teman saya itu berkata "Saya kira masih di Singapura, ternyata kita sudah di Indonesia." Saya balas dengan pertanyaan "Memangnya kenapa?" Jawab beliau "Nih busnya tidak lancar karena banyak lubang"

Dari kesehatan lingkungan juga bisa terlihat bagaimana Indonesia jauh tertinggal dari tetangga dekatnya. Jika berjalan di Orchard Road (Singapura) atau sedikit bermain di sekitar Dataran Merdeka (Kuala Lumpur) pasti kita bisa menemukan burung-burung yang bermain sampai ke tanah. Burung pun merasa bahwa kota ini dapat menjadi tempatnya.

Pendidikan dan pelatihan dasar, orang-orang Indonesia tidak terlalu terampil sehingga bekerja pun tidak bisa maksimal. Negara-negera pengimpor pembantu rumah tangga lebih senang menggunakan jasa tenaga kerja dari Filipina ketimbang Indonesia. Kenapa? karena orang Filipina mahir berbahasa Inggris. Para majikan tidak perlu bersusah payah mengajari mereka menggunakan alat elektronik karena pembantu itu dapat mempelajarinya sendiri dari buku panduannya berbahasa Inggris. Ada cerita juga dari pemandu wisata saya sewaktu berkunjung ke Malaysia tahun 2007. Ibu berjilbab itu bercerita kalau lebih senang anaknya bersekolah di sekolah cina yang berbiaya tinggi daripada sekolah negeri yang lebih murah. Di sekolah negeri anaknya hanya mendapatkan menguasi 2 bahasa (Inggris dan Melayu) sedangkan di sana ada tambahan bahasa cina yang sudah menjadi bahasa internasional. Jadi pangsa lapangan kerja anaknya pun lebih luas menurut wanita yang katanya pulang ke daerah Sunway.

Berbicara inovasi dan kecanggihan teknologi juga bisa dilihat siapa yang lebih baik. Lihat saja bagaimana mudahnya menjangkau Kuala Lumpur International Airport (KLIA) dan Low Cost Carrier Terminal (LCCT) dengan menggunakan bus, taksi dan Line Rapid Transit (LRT). Bandingkan jika kita hendak ke bandara Soekarno Hatta. Mesti mempertimbangkan macet dan banjir. Kecanggihan teknologi dapat membantu meningkatkan peluang bisnis yang baik.

Bagaimana produk kita dapat bersaing jika biaya produksi tinggi. Birokrasi menuntut biaya di luar ketentuan. Proses produksi dikerjakan tenaga kerja yang hanya menuntut hak lebih tanpa mengerti keadaan. Distribusi barang memerlukan biaya tambahan karena jalan rusak. Sistem yang masih tradisional yang tidak efisien dan efektif juga dapat membengkak biaya produksi.

Untung saja Malaysia dan Singapura memiliki penduduk dan luas yang lebih kecil daripada Indonesia. Jika sama saja, mau ke mana Indonesiaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar