Minggu, 02 Juni 2013

Persekongkolan Tender Dalam Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia


A.      Kasus Posisi
            Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU, memutuskan telah terjadi persekongkolan dalam tender proyek pembangunan dua gedung di Rumah Sakit Umum Sulawesi Tenggara dan memberikan denda kepada dua kontraktor yang terlibat. Kedua kontraktor yang menjadi terlapor adalah PT Waskita Karya dan PT Adhi Karya. Di samping itu, Panitia Pengadaan Barang/Jasa APBD (Pengadaan Jasa Konstruksi/Konsultan) Lingkup Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2011 juga menjadi terlapor dalam dugaan persekongkolan ini.  Selain itu KPPU menjatuhkan denda kepada Waskita Karya dan Adhi Karya. Sebagaimana diketahui, pada 2011 Rumah Sakit Umum (RSU) Sulawesi Tenggara melakukan tender dalam proyek pembangunan Standard dan Non Standar Gedung Perawatan Kelas I dan VIP atau Gedung Perawatan, serta tender pembangunan Standard dan Non Standar Gedung Pelayanan di rumah sakit tersebut. Dalam paket gedung perawatan dan gedung pelayanan terdapat masing-masing 6 (enam) perusahaan yang menjadi peserta tender. Dari proses ini, majelis menyatakan telah terjadi persekongkolan horizontal antara kedua perusahaan dan persekongkolan vertikal antara keduanya dengan panitia tender. Dicapai kesepakatan untuk memenangkan paket yang diinginkan, sehingga majelis menilai kedua perusahaan mengatur tinggi rendahnya nilai penawaran yang diajukan[2].

B.       Permasalahan
Berdasarkan kasus posisi tersebut di atas timbul suatu pertanyaan, bagaimana persekongkolan tender  dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia?

C.      Tinjauan Pustaka
Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia diatur dalam Undang-undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-undang yang diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 ini diundang untuk mencapai tujuan luhurnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.    Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.    Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam rangka mencapai tujuan luhurnya tersebut, undang-undang yang berlaku positif sejak 05 Maret 2000 ini menganut asas keseimbangan yang dinyatakan dalam pasal 2, yaitu negara dan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 angka 5, adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Sesuai dengan judul undang-undang yaitu “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, undang-undang ini mengelompokan pelarangan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:
1.        Perjanjian yang dilarang (pasal 4 – pasal 16)
2.        Kegiatan yang dilarang (pasal 19 – pasal 24)
3.        Posisi dominan (pasal 25 – pasal 29)
 Perjanjian yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[3].
Larangan persekongkolan dinyatakan dalam pasal 22 – pasal 24, akan tetapi khusus untuk persekongkolan tender diatur dalam pasal 22, yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

D.      Pembahasan
            Pada umumnya dalam persekongkolan terdapat suatu karakteristik yang khusus yaitu terdapat sedikitnya 2 (dua) pelaku usaha yang saling bekerja sama melakukan perbuatan melawan hukum. Para pelaku usaha yang terlibat dalam persekongkolan akan mengadakan perjanjian yang sifatnya rahasia dengan tujuan yang sifatnya konotatif atau negatif[4].
            Persekongkolan dalam hukum internasional disebut sebagai conspiracy. Persekongkolan tender diidentikan sebagai kolusi karena[5]:
1.        bekerja sama dengan pemerintah yang merupakan pusat dari regulasi kekuasaan dari suatu negara dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara;
2.        searah pertumbuhan perusahaan dan konglomerasi yang sangat kuat dan besar;
3.        tidak banyak orang yang memiliki kesempatan dan dapat mengembangak usaha besar;
4.        terdapat kerjasama tertentu antara pemerintah dengan pelaku-pelaku usaha tertentu;
5.        kekuasaan menjadi pusat bisnis (central of business) sehingga kemajuan dan perkembangan sebuah usaha dari pelaku usaha sangat dipengaruhi oleh pemerintah  
Dari kasus yang ditangani oleh KPPU selama tahun 6 (enam) tahun dari tahun 2006  sampai dengan tahun 2012, sebanyak 97 (sembilan puluh tujuh) dari 173 (seratus tujuh puluh tiga) kasus atau 56% (lima puluh enam persen) kasus diputuskan oleh KPPU sebagai kasis perkara yang merupakan persekongkolan tender sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22. Dari 97 (sembilan puluh tujuh) perkara persekongkolan tender tersebut, total bernilai sebesar kurang lebih Rp. 12.350.000.000.000,- (dua belas triliun tiga ratus lima puluh milyar Rupiah). Sebanyak 75 (tujuh puluh lima) kasus sudah diputuskan terjadi persekongkolan tender dengan nilai tender sebesar Rp. 8.600.000.000.000,- (delapan triliun enam ratus milyar Rupiah).  Proyek-proyek tersebut merupakan gabungan dari pelaku usaha swasta dan badan usaha milik negara dengan sumber pendanaan dari anggaran pendapatan belanja negara sebanyak 28 (dua puluh delapan) kasus dan anggaran pendapatan belanja daerah sebanyak 47 (empat puluh tujuh) kasus. Bahkan dalam kurun waktu tersebut juga tercatat sebanyak 77% (tujuh puluh tujuh persen) atau 164 (seratus enam puluh empat) laporan tertulis dari 212 (dua ratus dua belas) laporan tertulis yang diterima KPPU adalah laporan persekongkolan tender dan sisanya sebanyak 48 (empat puluh delapan) merupakan laporan tertulis non tender[6].
Dari data yang dipublikasikan oleh KPPU, tersurat bahwa persekongkolan tender sangat mendominasi kasus-kasus persekongkolan dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir. Nilai trilunan rupiah ini menyebabkan inefisiensi yang dilakukan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sangat menghambat  pembangunan masyarakat khususnya dalam penciptaan persaingan antarpelaku usaha yang sehat.
 Tender secara yuridis formil melalui penjelasan pasal 22, diartikan sebagai tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tender diperluas artinya menjadi tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar dengn cara menyampaikan sekali penawaran dalam waktu yang tealah ditentukan. Secara lex spesialis, tender dipersamakan dengan pelelangan.
Dalam tender tidak hanya terdapat unsur pelaku usaha saja akan tetapi terdapat “pelaku lain”. Berdasarkan keterlibatan pelaku lain tersebut, maka terdapat 3 (tiga) bentuk persekongkolan, yaitu[7]:
1.        Bentuk pertama adalah persekongkolan horizontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang atau dengan mendapatkan sejumlah uang sebagai sesuai kesepakatan diantara para penawar tender.
2.        Bentuk kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut.
3. Bentuk ketiga adalah persekongkolan horizontal dan vertikal, yakni persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup.
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tender adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua penawar, sehingga menghasilkan harga yang seminimal mungkin dengan hasil yang semaksimal mungkin. Meskipun harga sangat minimal atau murah bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan pemenang dalam pengadaan barang atau jasa[8]. Mekanisme penawaran tender menganut asas yang sama praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yaitu asas keseimbangan. Tiap pelaku usaha yang menjadi peserta tender memiliki kedudukan yang sama dalam mencapai kepentingannya.
Untuk menentukan terjadinya ketidakseimbangan yang terjadi antarpelaku usaha selaku peserta tender, dapat dilakukan dengan pendekatan secara rule of reason. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Secara terminologi formil, biasanya dalam redaksional ayat-ayat dalam undang-undang tersirat dari kalimat “... yang dapat mengakibatkan ....”[9]. Oleh karena dalam persekongkolan tender tertulis “yang dapat mengakibatkan” maka dalam penentuan karakteristik persekongkolan tender harus melalui evaluasi sebelum dinyatakan mengganggu keseimbangan kepentingan ekonomi antarpelaku usaha selaku peserta tender.
            Kasus posisi bermula dari tender pembngunan standar dan non standar gedung perawatan kelas I dan VIP dengan nilai sebesar Rp. 68.700.000.000,- (enam puluh delapan milyar tujuh ratus juta Rupiah) dan pembangunan standar dan non standar gedung pelayanan dengan nilai sebesar Rp. 91.913.000.000,- (sembilan puluh satu milyar sembilan ratus tiga belas juta Rupiah), keduanya dilaksanakan di Rumah Sakit Sulawesi Tenggara dengan tahun anggaran 2011.                                    Setelah melalui proses tender, maka pada tanggal 02 Mei 2011, diputuskan bahwa pemenang tender pembangunan standar dan non standar gedung perawatan adalah PT. Waskita Karya (Persero) dengan harga penawaran sebesr Rp. 66.712.000.000,- (enam puluh enam milyar tujuh ratus dua belas juta Rupiah). Sedangkan pemenang tender pembangunan standar dan non standar gedung pelayanan adalah PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dengan harga penawaran sebesar  Rp. 89.510.000.000,- (delapan puluh sembilan milyar lima ratus sepuluh juta Rupiah).
            Dalam persidangan, KPPU menuduhkan terjadinya persekongkolan secara horizontal antara PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. Persekongkolan secara horizontal tersirat dari softcopy dokumen penawaran yang memiliki tanggal yang sama yaitu 12 April 2010 pukul 08.48 dan penulis elektronik yang sama yaitu “obleh”. Hal ini menunjukan bahwa PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. telah memperoleh dokumen penawaran atau membuat dokumen penawaran berasal dari sumber yang sama.
Dalam kasus ini terjadi juga persekongkolan vertikal antara panitia tender dengan peserta tender. Terkait harga satuan penawaran baik yang ditawar pada masing-masing paket pekerjaan itu adalah hak para peserta tender, akan tetapi panitia tender tetap menyatakan sah selama harga penawaran secara keseluruhan (total) tidak melebihi nilai yang tersedia. Panitia tender juga tidak bisa mencampuri urusan permintaan surat dukungan mengenai gas medik, kesemuanya diserahkan kepada para peserta tender, yang penting surat dukungan tersebut ditandatangani oleh Direktur, sesuai dengan dokumen tender. Panitia tender menggugurkan perserta tender lainnya awalnya karena tidak ada brosur, lalu diralat karena surat dukungan gas medik bukan ditandatangani oleh Direktur jadi menyalahi dokumen tender.
Majelis juga menetapkan terjadi pemenuhan pasal 22 tentang persekongkolan tender dengan memenuhi unsur-unsur:
a.    kerjasama antara dua pihak atau lebih;
b.    secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya
c.    membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan
d.   menciptakan persaingan semu
e.    menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan
f.     tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu
g.    pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum
Akhirnya majelis memutuskan bahwa Panitia Tender, PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. telah memenuhi unsur persekongkolan dalam pasal 22. Hukuman untuk panitia tender adalah tidak boleh melaksanakan tender dalam waktu 2 (dua) tahun, menghukum PT. Waskita Karya (Persero) membayar denda sebesar Rp. 3.168.820.000,- (tiga milyar seratus enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh ribu Rupiah) dan menghukum PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. membayar denda sebesar Rp. 4.475.525.000,- (empat milyar empat ratus tujuh puluh lima juta lima ratus dua puluh lima ribu Rupiah).
Secara formil putusan KPPU bukanlah putusan lembaga peradilan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam putusan Mahkamah Agung Reg. No. 01 K/KPPU/2002 tertanggal 30 Desember 2002 tersurat[10]:
1.    bahwa KPPU bukanlah badan hukum yang berwenang bertindak di muka pengadilan (standi in judictio) sehingga tidak dapat menjadi pihak dalam suatu gugatan perdata
2.    bahwa KPPU bukanlah lembaga peradilan maka tidak memperoleh kewenangan secara khusus dari peraturan perundang-undangan untuk memuat irah-irah
3.    bahwa dalam putusan KPPU telah melampaui kewenangannya sehingga putusannya cacat huku dan oleh karenanya batal demi hukum

E.       Kesimpulan
            Praktek monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan. Keadaan seimbang ini berlaku antarpelaku usaha. Kepentingan pelaku usaha adalah menguntungkan diri sendiri semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan ekonomi antarpelaku usaha. Semua kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar dalam pencapaian kesejahteraan bersama berdasarkan asas keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
            Karakteristik persekongkolan yang sering terjadi dan dilakukan oleh para pelaku usaha adalah persekongkolan tender. Persekongkolan ini dilakukan tidak hanya oleh antarpelaku usaha akan tetapi juga melibatkan pihak pemerintah. Negara dalam hal ini diwakili oleh KPPU memutuskan terjadinya persekongkolan antarpelaku usaha dengan melibatkan panitia tender. Pelaku usaha dikenakan sanksi denda dan panitia tender hanya berupa sanksi administratif. Panitia tender tidak ikut menanggung kerugian ekonomi akibat perbuatannya.
            Meskipun Indonesia telah memiliki KPPU, kecendrungan persekongkolan tender tetap akan meningkat karena putusannya yang diuji melalui rule of reason, tetap hanya sebagai macan kertas.

F.       Daftar Pustaka
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009

Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008

Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende: Nusa Indah, 1994

Marwah M. Diah dan Joni Emirzon, Aspek-aspek Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang), Universitas Sriwijaya, 2003

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Perkara Nomor 04/KPPU-L/2012, tertanggal 25 April 2013







[1] Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Mario Anthony Tedja - 02122502042 (penulis) pada blog http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/pelaku-usaha-dan-negara-dalam.html, 12 April 2013, 7:58AM
[3] Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
[4] Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009, halaman 147 - 148
[5] Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010, halaman 165 - 166
[7] Andi Fahmi Lubis dkk, Op. Cit., halaman 152
[8] Ibid., halaman 149
[9] Ibid halaman 56
[10]    Marwah M. Diah dan Joni Emirzon, Aspek-aspek Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang), Universitas Sriwijaya, 2003, halaman 98

Sabtu, 01 Juni 2013

Perbankan dan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Kartel) di Indonesia


A.      Kasus Posisi
            Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berharap kartel di perbankan Indonesia bisa berakhir di penghujung tahun 2013 demi menghadapi persaingan ekonomi global pada 2015. "Ini yang jadi masalah karena Indonesia akan menghadapi persaingan ekonomi global pada tahun 2015 dan jika praktik kartel di dunia perbankan tidak segera diakhiri, maka Indonesia akan sulit dalam persaingan ekonomi secara global," kata Komisioner KPPU Syarkawi Rauf di Makassar, Jumat (24/5). Syarkawi Rauf menambakan, sejauh ini dari 128 (seratus dua puluh delapan) bank di Indonesia, tiga diantaranya dinilai paling dominan dan berpengaruh terhadap penentuan suku bunga kredit yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bank Rakyat Indonsia. Terkait hal itu, KPPU berencana berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Bank Indonesia untuk mengkaji dugaan kartel perbankan yang ditengarai dilakukan perbankan berstatus Badan Usaha Milik Negara[1].



B.       Permasalahan
Berdasarkan kasus posisi tersebut di atas timbul suatu pertanyaan, apakah perbankan di Indonesia melaksanakan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (kartel)?

C.      Tinjauan Pustaka
Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia diatur dalam Undang-undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-undang yang diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 ini diundang untuk mencapai tujuan luhurnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.    Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.    Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam rangka mencapai tujuan luhurnya tersebut, undang-undang yang berlaku positif sejak 05 Maret 2000 ini menganut asas keseimbangan yang dinyatakan dalam pasal 2, yaitu negara dan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 angka 5, adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Sesuai dengan judul undang-undang yaitu “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, undang-undang ini mengelompokan pelarangan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:
1.        Perjanjian yang dilarang (pasal 4 – pasal 16)
2.        Kegiatan yang dilarang (pasal 19 – pasal 24)
3.        Posisi dominan (pasal 25 – pasal 29)
 Perjanjian yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[2].
Larangan kartel dinyatakan dalam pasal 11, dimana dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

D.      Pembahasan
            Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama, terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu adanya kompromi diantara anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil[3].
Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Karena apabila hanya sebagian kecil saja
pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel
tidak akan efektif dalam mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam perjanjian kartel[4].
            Kartel lahir pada struktur pasar dengan pelaku usaha yang oligopoli, dimana hanya terdapat beberapa pelaku usaha. Dengan keterbatasan pelaku usaha maka para pelaku usaha dimungkinkan melakukan berkolaborasi untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi. Dengan jumlah pelaku usaha yang tidak banyak maka para pelaku usaha akan lebih mudah bersatu dan menguasai pasarnya[5].
Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Karena apabila hanya sebagian kecil saja
pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel
tidak akan efektif dalam mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam perjanjian kartel[6].
Untuk menentukan terjadinya ketidakseimbangan yang terjadi antara pelaku usaha dan masyarakat dalam kartel, dapat dilakukan dengan pendekatan secara rule of reason. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Secara terminologi formil, biasanya dalam redaksional ayat-ayat dalam undang-undang tersirat dari kalimat “... yang dapat mengakibatkan ....”[7]. Oleh karena dalam kartel tertulis “yang dapat mengakibatkan” maka dalam penentuan karakteristik kartel harus melalui evaluasi sebelum dinyatakan mengganggu keseimbangan kepentingang ekonomi pelaku usaha dengan masyarakat.
            Pasar perbankan di Indonesia sifatnya heterogen yaitu terdapat banyak pelaku usaha yang melakukan usaha perbankan. Semakin banyak pelaku usaha maka semakin baik persangan usaha yang terjadi dalam pasar tersebut. Tercatat sekitar 4 (empat) bank persero yang dimiliki negara, 35 (tiga puluh lima) bank swasta nasional devisa, 15 (lima belas) bank campuran, 10 (sepuluh) bank asing, 26 (dua puluh enam) bank pembangunan daerah, 30 (tiga puluh) bank swasta nasional non devisa[8] dan 1644 (seribu enam ratus empat puluh empat)[9]. Ini belum termasuk bank syariah dan unit syariah yang juga bertindak sebagai pelaku usaha dalam dunia perbankan di Indonesia. Dengan ribuan bank yang berkecimpung dalam dunia perbankan di Indonesia menunjukkan bahwa karakteristik pasar perbankan di Indonesia bukanlah pasar yang sifatnya oligopoli melainkan pasar yang heterogen.  
            Pada umumnya kartel dilakukan oleh asosiasi dagang bersama dengan anggotanya. Melalui asosiasinya, para pelaku usaha yang berhimpun dalam suatu asosiasi akan menyusun standardisasi antarsesama pelaku usaha dalam memudahkan kegiatan usaha mereka[10]. Asosiasi tersebut membuat suatu aturan bahkan disahkan oleh negara untuk memudahkan pelaku-pelaku usaha yang memiliki kedekatan dengan pemerintah selaku perpanjangan tangan dari negara. Aturan-aturan yang disepakati bersama itu dapat mempengaruhi keseimbangan produksi dan pemasaran yang ujungnya bermuara pada harga yang tidak wajar oleh karena hukum pasar.
Dunia perbankan di Indonesia memiliki badan pengawas sekaligus pengatur yaitu Bank Indonesia. Bank Indonesia bertugas tidak hanya melakukan supervisi akan tetapi juga melakukan pengaturan terhadap bank-bank yang melakukan operasional di Indonesia. Tujuan dari tugas Bank Indonesia ini adalah untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah yang bermuara pada kestabilan perekonomian Indonesia.
Bank Indonesia memiliki kewenangan menentukan tingkat suku bunga maksimal yang dipergunakan untuk semua bank dibawah pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia. Dalam mengatur modal dari dana pihak III, Bank Indonesia menetapkan tingkat suku bunga setiap bulannya untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia secara makro. Dalam pasal 43 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan dilaksanakan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk menetapkan kebijakan umum dalam bidang monoter[11]. Dewan Gubernur Bank Indonesia beranggota Gubernur Bank Indonesia dan 4 (empat) orang Deputi Gubernur, bukan beranggotakan para pelaku usaha dari pasar perbankan di Indonesia.
Kedudukan Bank Indonesia dalam hal ini bukanlah sebagai suatu asosiasi yang merupakan perkumpulan dari para pelaku usaha di bidang perbankan. Bank Indonesia merupakan lembaga berbadan hukum yang memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi dunia perbankan di Indonesia. Bank Indonesia dalam melakukan pengawan dan pengaturan, bertindak berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-undang. Segala perbuatan dan kewenangan tentang pengawasan dan pengaturan perbankan dilakukan atas legitimasi yang diakui secara yuridis formil.
Tingkat suku bunga atau sering disebut BI Rate berdasarkan data yang dipublikasikan pada Biro Pusat Statistik[12], tersurat bahwa sejak Januari 2010 hingga Desember 2012 menunjukkan kecenderungan terus turun. Pada Januari 2010, BI Rate berada di angka 6,5% (enam lima persepuluh persen) sedangkan pada Desember 2012 tercatat berada di angka 5,75 (lima tujuh puluh lima perseratus persen). Kenaikan BI Rate hanya terjadi pada bulan Februari hingga Oktober 2011, dimana angka BI Rate ditetapkan oleh Bank Indonesia pada angka 6,75% (enam tujuh puluh lima perseratus persen). Kondisi penururan BI Rate yang terjadi sejak Januari 2010 hingga Desember 2012 ini menunjukan bahwa modal dari dana pihak III yang dihimpun oleh bank-bank dari masyarakat selalu ditekan oleh Bank Indonesia. Tujuan dari hal ini adalah memberikan keseimbangan keuntungan dari pelaku bisnis perbankan dengan masyarakat umum.
Penurunan bunga atas modal dari pihak III ini juga berbanding lurus dengan penurunan suku bunga pinjaman atau kredit. Berdasarkan statistik dari Biro Pusat Statistik[13], Januari 2010 tingkat suku bunga kredit untuk semua segmen dan semua perbankan berada di kisaran 11,34% (sebelas tiga puluh empat perseratus persen) sampai dengan 16,32% (enam belas tiga puluh dua perseratus persen). Pada Desember 2012, tingkat suku bunga tersebut berada di kisaran 9,47% (sembilan empat puluh tujuh perseratus persen) sampai dengan 13,78% (tiga belas tujuh puluh delapan perseratus persen).
Hal ini menunjukan bahwa dunia perbankan tidak bersepakat antarbank untuk merekayasa permintaan kredit akan tetapi berkompetisi atau bersaing secara sehat. Suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia, ditata kelola oleh bank-bank menjadi suatu produk kredit yang beragam tingkat suku bunganya. Fungsi intermediasi bank sebagai perantara proses pembayaran dari debitur kepada nasabah penyimpan dilaksanakan dengan perhitungan finansial masing-masing internal bank.
Hukum pasar yang berlaku secara umum adalah apabila permintaan barang meningkat tanpa diimbangi dengan pemasaran yang banyak atau sedikit maka akan menciptakan harga yang tinggi atas barang tersebut. Keadaan ini direkayasa oleh pelaku usaha untuk menciptakan keadaan tidak seimbang antara masyarakat dan pelaku usaha. Harga yang meningkat memberikan keuntungan yang tidak wajar kepada pelaku usaha sedangkan di pihak masyarakat harus menambah pengeluaran. Dalam praktek kartel, para pelaku usaha melakukan kerjasama secara horizontal untuk menentukan dan menetapkan harga dan jumlah produksi dalam pasarnya.
Secara makro, pelaku usaha dalam hal ini hanya meningkatkan kesejahteraannya sendiri tanpa memperhatikan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat secara umum dan luas. Pelaku usaha juga menciptakan keadaaan yang tidak kondusif dengan rekayasa pasar. Keuntungan yang menjadi tujuan akhir pelaku usaha dalam kartel. Masyarakat harus mengeluarkan pengeluaran lebih untuk suatu barang kebutuhan yang secara faktor produksi tidak mengalami kenaikan biaya produksi secara signifikan.
Dunia perbankan Indonesia berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia 2012[14], keuntungan perbankan secara makro naik sebesar 23,7% (dua puluh tiga tujuh persepuluh persen) dari tahun sebelumnya. Keuntungan tersebut bukan hanya dari bunga kredit (sebesar 51,9% [lima puluh satu sembilan perepuluh persen]) akan tetapi dari pendapatan operasional non bunga sebesar 23,3% (dua puluh tiga tiga persepuluh persen), pendapatan nonoperasional sebesar 4,1% (empat satu persepuluh persen), pendapatan dari surat berharga sebesar 6,3% (enam tiga persepuluh persen) dan pendapatan lainnya sebesar 14,4% (empat beas empat persepuluh persen). Peningkatan pendapatan ini justru dibukukan ketika suku bunga kredit menurun sebesar 0,68% (enam puluh delapan perseratus persen). Dunia perbankan tidak meningkatkan pendapatannya ketika bunga kredit naik akan tetapi tetap tumbuh ketika suku bunga kredit diisukan sebagai bentuk kartel dalam dunia perbankan di Indonesia.

E.       Kesimpulan
            Praktek monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan. Keadaan seimbang ini berlaku antara rakyat dengan pelaku usaha dan antarpelaku usaha itu sendiri. Kepentingan pelaku usaha untuk menguntungkan diri sendiri semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan rakyat untuk hidup sejahtera. Semua kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar dalam pencapaian kesejahteraan rakyat apabila dilakukan secara berdasarkan asas keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
            Karakteristik perbankan di Indonesia sifatnya heterogen dan diawasi oleh suatu badan hukum yang dibentuk oleh undang-undang yaitu Bank Indonesia. Penentuan aturan dilakukan oleh Bank Indonesia bukan dilakukan oleh suatu asosiasi yang terdiri dari para pelaku usaha yang biasa dilakukan dalam praktek kartel. Penentuan aturan yang diawasi dan diatur yang seharusnya menjadi penyeimbang dari kegiatan ekonomi antara pelaku usaha dan masyarakat yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Penentu kebijakan dapat sungguh fokus mencapai tujuan mensejahterakan rakyat dengan menggunakan asas keseimbangan.
            Kecendrungan penurunan suku bunga yang dilakukan dunia perbankan menunjukkan bahwa dunia perbankan tetap memperhatikan keseimbangan kepentingan antara bank selaku pelaku usaha dengan masyarakat. Peningkatan pendapatan yang dibukukan oleh dunia perbankan tidak hanya dengan menggerus atau mengalihkan keuntungan dari masyarakat kepada sebesar-besarnya keuntungan perbankan di Indonesia.

F.       Daftar Pustaka
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009, halaman 107

Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008

Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende: Nusa Indah, 1994

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-undang











[2]     Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
[3]     Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009, halaman 107
[4]     Ibid
[5]     Ibid, halaman 106
[6]     Ibid
[7]     Ibid halaman 56
[10]    Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia), Jakarta: Rajawali Pers, 2010, halaman 105
[13]    Ibid.