Selasa, 16 Agustus 2011

Hukum Indonesia (yang aneh)

Membaca surat kabar lokal hari ini, kita disuguhi tentang vonis dan tuntuan pada tersangka dan terdakwa. Dimulai dengan kasus judi "mickey mouse" dimana pemiliknya diancam pidana paling lama 10 tahun. Turut serta menjadi tersangka adalah 4 orang karyawan judi yang beromzet 10-30 juta per hari ini. Masih di halaman sama, mantan Bupati yang tengah menjabat Gubernur divonis 2 tahun 6 bulan dan denda 150 juta atas perbuatannya yang sah dan meyakinkan telah "mengarong" uang negara sebanyak Rp. 98,7 milyar. Terakhir di halaman paling belakang eksemplar itu, mengangkat berita tentang vonis setahun kepada mantan camat yang merugikan negara sebesar Rp. 188 juta.
Mantan camat divonis paling ringan dengan kerugian "hanya" ratusan juta sedangkan pejabat yang lebih tinggi dengan nilai kerugian mencapai hampir ratusan milyar dihukum lebih lama 2,5 kali dari kerugian yang mencapai seribu kali dari kerugian yang dilakukan mantan camat. Anehnya lagi, seorang "pengusaha judi" yang hanya beromzet ratusan juta sebulan dan tidak merugikan keuangan negara (karena memang tidak ada pemasukan negara dari judi) malah dihukum 4 kali lebih lama dibandingkan sang mantan bupati. Padahal dalam pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seorang pejabat yang melakukan tindak pidana justru pidananya harus ditambah sepertiga.



Orang Belanda yang memberlakukan KUHP sejak 01 Januari 1918 telah memikirkan bahwa pejabat yang melakukan pidana merupakan kejahatan besar. Pemikiran tersebut dituangkan dalam pasal 52 tersebut. Sedangkan sekarang vonis itu tidak melihat kapasitasnya dalam melakukan tindak pidana. Hukuman dijatuhkan hanya pada tingkat kesehatan "penjahat", berbuat baik selama persidangan, mau bekerja sama, belum pernah dihukum, dan memiliki keluarga. Kerugian terhadap hajat hidup orang banyak tidak pernah menyentuh dalam penjatuhan pidana. Melihat pejabat yang jatuh sakit saat persidangan meluluhkan hati hakim. Pantas saya dewi themis (dewi keadilan) menggunakan penutup mata karena dia buta akan fakta dan hanya mengandalkan pembisik-pembisik.

Hukum Pidana Indonesia yang mengadopsi Wetboek van Strafrecht berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 15 Oktober 1915 Staadsblad 1915 Nomor 732 seperti sudah usang ditelan zaman. Selain denda yang sudah tidak peka zaman lagi, terdapat juga beberapa pasal yang sudah dicabut dan tidak terpakai lagi. Tapi hukuman "paling lama" tetap dipertahankan karena dapat menjadi "senjata tersendiri" para penegak hukum. Sejak tahun 1980an, rencana revisi tidak kunjung selesai, malahan undang-undang pemilu dan partai politik selalu diubah jika mendekati (yang katanya) pesta demokrasi.

Kejahatan seperti penggunaan narkotika dan psikotropika yang dampaknya sedikit di bawah tindak pidana korupsi telah menerapkan hukuman paling singkat 4 tahun (lihat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997). Dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi paling singkat dihukum 1 tahun. Suatu kejahatan kemanusiaan yang tidak memiliki efek jera bagi pelakunya. Belum lagi selama ditahan, oleh karena lembaga pemasyarakatan melebihi kapasitasnya, setiap penjahat akan mendapat remisi.

Kita tidak perlu sekeras China dalam memberlakukan koruptor, cukup dengan membuat hukuman paling singkat 20 tahun penjara tanpa remisi ditambah dibuatkan buku profil dan biodata para koruptor yang disebarkan di seluruh perpustakan di Indonesia. Rasa cukup memberikan efek jera. Kesungguhan para wakil rakyat yang juga sering menjadi tersangka korupsi dan ketegasan para penegak hukum yang juga sering menjadi tersangka korupsi dalam menjalan hukum secara tegas yang diperlukan untuk membumihanguskan kejahatan kemanusiaan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar