BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
tahun 1989, negara-negara yang tergabung dalam G7 (Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, Italia, Perancis, Jerman, dan Inggris) bersepakat untuk membentuk
Financial Action Task Force[1].
Lembaga antarpemerintah ini bertugas menetapkan standar dan mempromosikan
pelaksanaan yang efektif dari langkah-langkah hukum, peraturan dan operasional
dalam memerangani pencucian uang dan pendanaan teroris, serta ancaman terkait
lainnya yang dapat mengganggu integrasi sistem keuangan internasional. Dalam
pelaksanaannya, lembaga yang bermarkas di Paris ini memberikan rekomendasi
kepada pembentuk undang-undang di masing-masing negara anggota agar dapat
menghasilkan peraturan perundang-undangan yang tidak ramah terhadap pencucian
uang dan pendanaan teroris. Lembaga yang melakukan pertemuan sebanyak 3 (tiga)
kali dalam setahun ini memantau perkembangan negara anggotanya dalam
melaksanakan tindakan yang memerangi ulasan pencucian uang dan pendanaan
teroris guna melindungi sistem keuangan internasional dari penyalahgunaan pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Pada
tanggal 18 Agustus 2013, FATF mengeluarkan
suatu pernyataan resmi yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai anggota FATF termasuk
dalam salah satu negara yang tidak memiliki komitmen dalam memberantas aksi
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Indonesia tergolong ke dalam Non
Cooperative Contries and Terrorist[2]
bersama Korea Utara, Iran, Equador, Etopia, Kenya, Myanmar, Nigeria, Pakistan,
Republik Demokratik Sao Tome dan Principe, Siriah, Tanzania, Turki, Vietnam,
dan Yaman.
Indonesia
dinilai FATF telah melakukan perkembangan yang cukup signifikan dengan
menerbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain undang-undang tersebut
Indonesia juga menerbitkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris sebagai pengganti atas pasal
11 dan pasal 13 huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Akan tetapi menurut FATF,
Undang-undang tersebut khususnya Undang Nomor 9 Tahun 2013 belum dapat dinilai
karena masih baru diundangkan sehingga Indonesia tetap ditahan oleh FATF dalam
NCCT.
Negara
secara makro melakukan pencegahan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan
teroris melibatkan unit kerja mikro berupa penyedia jasa keuangan. Salah satu
penyedia jasa keuangan yang terlibat dalam tugas tersebut adalah bank. Bank
Indonesia selaku pengawas dan pengatur seluruh bank di Indonesia menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum serta Surat
Edaran Bank Indonesia untuk semua bank umum di Indonesia Nomor 15/21/DPNP
tentang tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme Bagi Bank Umum sebagai lex
speciale[3].
B. Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan dalam tulisan ini
adalah bagaimana tentang penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme pada bank umum?
C. Tujuan dan Manfaat
Penulisan ini bertujuan
untuk mengkaji penerapan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme pada bank umum. Hasil penulisan ini kiranya dapat bermanfaat sebagai sumbangsih bagi
dunia ilmiah dalam mempeluas kepustakaan dalam studi hukum perdata, khususnya
dalam kajian bidang hukum perbankan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA/KERANGKA TEORI
Hukum perbankan di Indonesia terdiri dari hukum substantif dan hukum
ajektif. Hukum perbankan substantif adalah rangkaian kaedah yang merumuskan hak
dan kewajiban dari subjek yang terkait dalam hubungan hukum perbankan. Hukum
perbankan ajektif adalah serangkaian kaedah yang memberikan petunjuk dengan
jelas tentang penegakan kaedah substantif dari hukum perbankan. Hubungan antara
hukum perbankan ajektif dan hukum perbankan substantif adalah komplementer yang
saling mengisi.
Secara
substantif atau secara materil, bank merupakan lembaga keuangan intermediasi,
dimana memiliki fungsi perantara keuangan dalam masyarakat. Bank diberikan
fungsi menghimpun dana masyarakat yang lebih dan di sisi lain berfungsi
menyalurkan dana lebih tersebut kepada masyarakat yang kekurangan dana melalui
mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan perbankan di Indonesia
diselenggarakan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak. Guna mencapai mencapai tujuan spiritualistis tersebut
perbankan di Indonesia berasaskan demokrasi ekonomi yang berlandaskan pada
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian.
Prinsip Kehatihatian (prudential
principle) adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam
menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dana dari masyarkat sekaligus penyalur
dana kepad masyarakat yang membutuhkan harus diselenggarakan dengan sangat
hati-hati sekali. Prinsip ini mengharuskan bank untuk selalu menjaga tingkat
kesehatannya dengan mematuhi norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan
di dunia perbankan untuk menjaga kepentingan masyarakat yang dananya dihimpun
oleh bank.
Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai lembaga intermediasi dan agen pembangunan
masyarakat, perbankan di Indonesia tidak hanya menggunakan prinsip kehati-hati
saja, akan tetapi juga mengedepankan prinsip kepercayaan, prinsip kerahasian
dan prinsip mengenal nasabah
Prinsip Kepercayaan (
fiduciary relation principle ) adalah suatu asas yang melandasi hubungan
antara bank dan nasabah. Bank menerima dana dari masyarakat atas dasar
kepercayaan masyarakat untuk ditatausahakan oleh bank. Kepercayaan yang
diberikan oleh masyarakat harus dijaga dan dipertahankan oleh bank demi
kelangsungan bank itu sendiri.
Prinsip Kerahasiaan adalah
kewajiban bank untuk merahasiakan semua keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu dengan
pengecualian yang dibenarkan oleh undang-undang. Pengecualian tersebut yaitu dalam
hal sengketa pajak nasabah, kepentingan pengadilan perkara pidana dan perkara
perdata antara bank dengan nasabah, dalam rangka tukar menukar informasi antar
bank.
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk
mengenal dan mengetahui profil nasabah, memantau dan melaporkan transaksi mencurigakan
yang dilakukan oleh nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip
mengenal nasabah adalah nama baik dan reputasi bank itu sendiri. Pelaksanaan
prinsip ini juga untuk menghindari bank menjadi tempat kejahatan dan aktivitas
illegal yang dilakukan oleh nasabah.
Secara ajek atau secara
formil, prinsip-prinsip tersebut di atas dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Secara lebih khusus mengenai, hukum perbankan formil
diuraikan dalam Peraturan dan Surat Edaran yang diterbitkan Bank Indonesia selaku pengawas dan pengatur
bank-bank di Indonesia yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Bank Umum adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Setiap pihak yang melakukan
kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Bentuk
hukum suatu Bank umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah; atau Koperasi.
Modal disetor untuk mendirikan Bank umum ditetapkan paling kurang sebesar Rp. 3.000.000.000.000,-
(tiga triliun Rupiah). Bank hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia; atau
b. warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing secara kemitraan. Kepemilikan oleh warga negara asing
dan/atau badan hukum asing paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal
disetor Bank.
Tindak pidana pencucian uang
adalah usaha untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan
hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga
dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang
sah maupun tidak sah. Tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam
stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Tindak
pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang membahayakan keamanan
dan perdamaian dunia serta merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang
terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengakibatkan
hilangnya nyawa tanpa memandang korban, ketakutan masyarakat secara luas, dan
kerugian harta benda sehingga berdampak luas terhadap kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan hubungan internasional.
Dalam menerapkan program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, perbankan tetap
berpedoman pada penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan standar internasional yang
dikeluarkan oleh FATF yang menetapkan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan
untuk melindungi sistem keuangan global dari pencucian uang dan pendanaan
terorisme, yang dikenal sebagai Revised 40 Recommendations dan 9
Special Recommendations (Revised 40+9) FATF. Rekomendasi tersebut juga
dijadikan acuan bagi masyarakat internasional untuk menilai kepatuhan suatu
negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme.
Secara formil, penanganan anti pencucian uang didasarkan
pada Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Penanganan pencegahan pendanaan terorisme disandarkan
pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Teroris sebagai pengganti atas pasal 11 dan pasal 13
huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Secara khusus, APU&PPT diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum serta
Surat Edaran Bank Indonesia untuk semua bank umum di Indonesia Nomor 15/21/DPNP
tentang tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme Bagi Bank Umum.
Tindak pidana pencucian uang
adalah setiap orang atau korporasi atau personil pengendali korporasi yang:
1.
menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana[4]
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
2.
menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak,
atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
3.
menerima atau
menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana
Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam
rangka penyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik
langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang
diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi
teroris, atau teroris. Tindak pidana pendanaan
terorisme adalah setiap orang atau korporasi atau personil pengendali korporasi
yang dengan sengaja:
1.
menyediakan,
mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan
Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris dipidana;
2.
melakukan
permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan
terorisme;
3.
merencanakan,
mengorganisasikan, atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 tersebut di atas.
BAB III
PEMBAHASAN
Setiap bank pada prinsipnya
diwajibkan menjalankan program APU&PPT yang merupakan bagian dari manajemen
resiko bank secara keseluruhan. Penerapan program APU&PPT mencakup hal
sebagai berikut:
a. Pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris;
b. Kebijakan dan prosedur;
c. Pengendalian intern;
d. Sistem informasi
manajemen; dan
e. Sumber daya manusia dan pelatihan.
Cakupan pengawasan aktif
direksi dan dewan komisaris, adalah sebagai berikut:
a. memastikan
Bank memiliki kebijakan dan prosedur program APU&PPT;
b. mengusulkan
kebijakan tertulis program APU&PPT kepada Dewan Komisaris;
c. memastikan
penerapan program APU&PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur
tertulis yang telah ditetapkan;
d. membentuk
unit kerja khusus yang melaksanakan program APU&PPT dan/atau menunjuk
Pejabat yang bertanggung jawab terhadap Program APU&PPT di Kantor Pusat;
e. melakukan
pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam menerapkan program APU&PPT;
f. memastikan
bahwa kantor cabang wajib memiliki unit kerja khusus dan memiliki pegawai yang
menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau pejabat yang mengawasi penerapan
program APU&PPT.
g. memastikan
bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha yang tinggi memiliki unit kerja
khusus dan memiliki pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau
pejabat yang mengawasi penerapan program APU&PPT, terpisah dari satuan
kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur program APU&PPT.
h. memastikan
bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU&PPT sejalan
dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai
dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan
i. memastikan
bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit kerja terkait dan pegawai
baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan program APU&PPT
secara berkala.
j. persetujuan
atas kebijakan penerapan program APU dan PPT; dan
k. melakukan pengawasan
atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU&PPT.
Bank wajib membentuk unit
kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat Bank yang bertanggungjawab atas
penerapan program APU&PPT yang bertanggung jawab kepada Direktur yang membawahkan
fungsi kepatuhan. Pejabat unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggung jawab
terhadap penerapan program APU&PPT diwajibkan:
a. menyusun dan
mengusulkan pedoman penerapan program APU&PPT kepada Direksi;
b. memantau Unit
kerja terkait telah melakukan fungsi dan tugas dalam rangka mempersiapkan
laporan mengenai dugaan Transaksi Keuangan Mencurigakan[5]
sebelum menyampaikannya kepada unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab
terhadap penerapan program APU&PPT;
c. memastikan adanya
sistem yang mendukung program APU&PPT; dan kebijakan dan prosedur telah
sesuai dengan perkembangan program APU&PPT yang terkini, risiko produk
Bank, kegiatan dan kompleksitas usaha Bank, dan volume transaksi Bank;
d. memantau
pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah;
e. memantau Bank
telah memiliki mekanisme komunikasi yang baik dari setiap unit kerja terkait
kepada unit kerja khusus atau kepada pejabat yang bertanggung jawab terhadap
penerapan program APU&PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi;
f. memantau Bank
telah mengidentifikasi area yang berisiko tinggi yang terkait dengan APU&PPT
dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dan sumber informasi yang memadai;
g. melakukan
koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan program APU&PPT
dengan unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah;
h. menerima
laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan (red flag) dari unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah
dan melakukan analisis atas laporan tersebut;
i. menyusun
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan laporan lainnya sebagaimana diatur
dalam Undang–Undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang untuk disampaikan kepada PPATK berdasarkan persetujuan Direktur yang
membawahi Fungsi Kepatuhan; dan
j. memantau,
menganalisis, dan merekomendasi kebutuhan pelatihan program APU&PPT bagi
pegawai Bank.
Bank diwajibkan memiliki
pedoman pelaksanaan program APU&PPT yang memuat tentang kebijakan dan prosedur
tertulis, yang mencakup:
a. permintaan
informasi dan dokumen;
b. Beneficial Owner[6];
c. verifikasi
dokumen;
d. penutupan
hubungan dan penolakan transaksi;
e. pengkinian
dan pemantauan;
f. transfer
dana;
g. Customer Due Deligence[7]
yang lebih sederhana;
i. pelaksanaan
CDD oleh pihak ketiga;
j. Cross Border Correspondent Banking[9];
k. penatausahaan
dokumen; dan
l. pelaporan
kepada PPATK.
Bank wajib memiliki sistem
pengendalian intern yang efektif yang dibuktikan dengan:
a. dimilikinya
kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai;
b. adanya
batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan
program APU&PPT; dan
c. dilakukannya
pemeriksaan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan program APU&PPT oleh
satuan kerja audit intern.
Bank wajib memiliki sistem
informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan
laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh
Nasabah Bank. Bank diwajibkan memiliki dan memelihara:
1. profil Nasabah secara terpadu (Single Customer Identification File[10])
, yang memuat informasi berupa:
a. Bagi Calon
Nasabah perorangan:
1. Identitas yang memuat:
a. nama lengkap
termasuk nama alias apabila ada;
b. nomor dokumen
identitas;
c. alamat tempat
tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada;
d. tempat dan
tanggal lahir;
e. kewarganegaraan;
f. pekerjaan;
g. jenis
kelamin;
h. status
perkawinan; dan
2. identitas Beneficial Owner apabila Calon Nasabah memiliki
Beneficial Owner;
3. sumber dana;
4. perkiraan
nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun;
5. maksud dan
tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah dengan
Bank;
6. Nomor Pokok
Wajib Pajak; dan
7. informasi
lain untuk mengetahui profil Calon Nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang
diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait.
b. Bagi Calon Nasabah perusahaan:
1. nama
perusahaan;
2. nomor izin
usaha dari instansi berwenang;
3. bidang
usaha;
4. alamat
kedudukan perusahaan;
5. tempat dan
tanggal pendirian perusahaan;
6. bentuk
badan hukum perusahaan;
7. identitas Beneficial Owner apabila Calon Nasabah memiliki
Beneficial Owner;
8. sumber
dana;
9. maksud dan
tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah
perusahaan dengan Bank; dan
10. informasi
lain untuk mengetahui profil Calon Nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang
diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait.
c. informasi
mengenai nama dan alamat kedudukan Lembaga Pemerintahan, instansi Pemerintah,
lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, yang didukung dengan
dokumen berupa surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili
lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank;
dan spesimen tanda tangan.
2. profil WIC berupa:
a. seluruh informasi bagi WIC
perorangan atau WIC perusahaan sebagaimana ditulis pada huruf a atau huruf b
tersebut di atas, yang melakukan transaksi sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus
juta Rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara baik yang dilakukan dalam 1
(satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
b. informasi mengenai:
1. nama lengkap
termasuk nama alias apabila ada, nomor dokumen identitas, dan alamat tempat
tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada
bagi WIC perorangan dan
2. nama
perusahaan dan alamat kedudukan perusahaan bagi WIC perusahaan,
yang melakukan
transaksi kurang dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau nilai yang
setara.
3. Kebijakan dan prosedur program APU&PPT dengan
mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh
pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Untuk mencegah digunakannya
Bank sebagai media atau tujuan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang
melibatkan pihak intern, Bank diwajibkan melakukan:
a. melakukan prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan
karyawan baru (pre employee screening);
dan
b. melakukan pengenalan
dan pemantauan terhadap profil karyawan.
c. menyelenggarakan
pelatihan yang berkesinambungan tentang:
1. implementasi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan program APU&PPT;
2. teknik,
metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan
3. kebijakan dan
prosedur penerapan program APU&PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai
dalam mencegah dan memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Penerapan program APU&PPT
wajib dilaporkan oleh bank-bank kepada Bank Indonesia berupa laporan rencana dan
realisasi kegiatan pengkinian data atas Single
Customer Identification File dan WIC disampaikan setiap tahun dalam Laporan
Direktur yang membawahi fungsi Kepatuhan pada bulan Desember. Selain laporan
kepada Bank Indonesia, Bank juga diwajibkan menyampaikan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan laporan lain kepada
PPATK sebagaimana ternyata dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK terkait
pencucian uang[11] dan
pendanaan terorisme[12].
Semua
kewajiban bank dalam melakukan pencegahan skema pencucian uang dan pendanaan
terorisme di atas menimbulkan konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan oleh
bank. Konsekuensi hukum berupa sanksi denda dan administratif. Keterlambatan
menyampaikan laporan yang diwajibkan adalah maksimal sebesar Rp. 30.000.000,-
(tiga puluh juta Rupiah) per laporan dan per hari keterlambatan. Bank yang
melaksanakan program APU&PPT dalam bentuk tertulis akan dikenakan denda
maksimal sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) ditambah dengan:
a. teguran
tertulis;
b. penurunan
dalam penilaian tingkat kesehatan;
c. pembekuan
kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian
pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti
yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
e. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang
Perbankan.
BAB IV
KESIMPULAN
Industri perbankan nasional
mempunyai peranan sangat penting untuk membantu penegakan hukum dalam menjalankan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Selain itu,
dengan melaksanakan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme diharapkan perbankan dapat memitigasi berbagai risiko yang mungkin
timbul antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, dan
risiko konsentrasi.
Tujuan penerapan program APU&PPT
oleh perbankan secara lebih efektif, diharapkan bank dapat beroperasi secara
sehat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan dan stabilitas sistem keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Neni Sri Imaniyati, Hukum Perbankan (untuk Lingkungan Sendiri), 2008, Fakultas Hukum
Unisba
Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu
Hukum, September 1988, CV. Rajawali, Jakarta
http://www.fatf-gafi.org/documents/documents/
fatfpublicstatement22february2013. html, tanggal akses 10 Oktober 2013
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang
Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Teroris
Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang
dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/ 1 /PBI/2009 tentang Bank Umum
Surat Edaran
Bank Indonesia untuk semua bank umum di Indonesia Nomor 15/21/DPNP tentang
tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme Bagi Bank Umum.
[1] Selanjutnya Financial
Action Task Force disingkat “FATF”
[2] Selanjutnya Non Cooperative
Contries and Terrorist disingkat “NCCT”
[3]
Selanjutnya Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme disingkat “APU&PPT”
[4] Tindak pidana yang dimaksud oleh
undang-undang adalah tindak pidana: korupsi; penyuapan;
narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di
bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai;
perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian;
penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan;
di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan
perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana
tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
[5] Transaksi
Keuangan Mencurigakan adalah:
a. Transaksi
Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi
Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan Transaksi yang bersangkutan;
c. Transaksi
Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang
diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d. Transaksi
Keuangan yang diminta oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (selanjutnya Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan disingkat “PPATK”) karena melibatkan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
[6] Beneficial Owner adalah
setiap orang yang merupakan
pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan pada Bank (ultimately own account); mengendalikan transaksi Nasabah; memberikan kuasa untuk melakukan
transaksi; mengendalikan badan hukum; dan/atau merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan
melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian.
[7] Customer Due Deligence
selanjutnya disingkat “CDD” adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi,
dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut
sesuai dengan profil Calon Nasabah, Walk
in Customer, atau Nasabah. Walk in Customer selanjutnya
disingkat “WIC” adalah pihak yang menggunakan jasa Bank namun tidak memiliki rekening pada Bank
tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari
Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah
[8] Politically Exposed Person
selanjutnya
disingkat “PEP” adalah orang yang
memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik diantaranya adalah
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat atau
pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan
Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing
[9] Cross
Border Correspondent Banking adalah Correspondent
Banking di
mana salah satu kedudukan bank corespondent
atau bank respondent berada di
luar wilayah Negara Republik Indonesia. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent)
dalam menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka
memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya.
[10] Single Customer Identification
File adalah data profil Nasabah yang mencakup
seluruh rekening yang dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank antara lain
tabungan, deposito, giro dan kredit
[11] Selain laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, kepada PPATK juga wajib dilaporkan
Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta Rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang
dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1
(satu) hari kerja; dan/atau Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar
negeri.
[12] Transaksi
Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme adalah transaksi keuangan
dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk
melakukan tindak pidana terorisme; atau transaksi yang melibatkan Setiap Orang
yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris. Bank selaku
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme kepada PPATK paling lama 3 (tiga) hari
kerja setelah mengetahui adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait
Pendanaan Terorisme tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar