Rabu, 16 Oktober 2013

KEKUATAN MENGIKAT DARI PERJANJIAN BAKU


I.         Latar Belakang
Dalam melangsungkan kehidupan, tiap orang tidak akan lepas dari perannya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai pribadi, orang diberikan ciri khas yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya, yaitu akal pikiran. Dengan akal pikirannya, orang mampu mengembangkan pikirannya yang dapat berguna bagi dirinya sendiri bahkan bagi sesamanya.
Sebagai makhluk sosial, setiap orang perlu berhubungan dengan orang lainnya. Dalam berhubungan dengan orang lain, pada prinsipnya hubungan tersebut tentu saling menguntungkan bagi masing-masing orang yang terlibat dalam hubungan tersebut.
Hubungan saling menguntungkan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban di masing-masing pihak terhadap masing-masing pihak lainnya. Hubungan tersebut sering disebut hubungan hukum (rechtsbetrekking).
Idealnya dalam penentuan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum harus seimbang. Setiap kepentingan masing-masing pihak harus saling disepakati dan dimufakati oleh masing-masing pihak dalam bentuk yang tertulis yang disebut perjanjian. Tujuan dibuat dalam bentuk perjanjian yang tertulis adalah untuk menjamin kepastian hukum dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masing-masing pihak.
Seturut perkembangan zaman, perjanjian tidak sepenuhnya kedudukan yang sama. Salah satu pihak telah mempersiapkan suatu perjanjian yang dikehendakinya. Hal ini sering disebut standard contract atau perjanjian baku. Bahkan bentuk tersebut dalam bentuk formulir yang dibuat secara massal oleh salah satu pihak. Perjanjian ini sering dipergunakan antara lain oleh di bidang perasuransian, di bidang perbankan, di bidang pengangkutan dan bidang pengembangan perumahan.

II.      Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana kekuatan mengikat dari perjanjian baku?

III.   Pembahasan
Menurut pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Defini mengenai perjanjian juga diberikan oleh R. Subekti dalam bukunya berjudul “Aneka Perjanjian” sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lian atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Untuk sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:
1.    Sepakat para pihak yang mengikatkan diri;
2.    Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3.    Suatu hal tertentu
4.    Suatu sebab yang halal
Terjadinya suatu kesepakatan, menurut R. Setiawan dalam bukunya yaitu “Pokok-pokok Hukum Perikatan” dapat dijelaskan dalam 7 (tujuh) teori yaitu[1]:
1.    Teori Kehendak (Wilstheorie) yang menekankan pada kehendak para pihak. Apabila kita mengemukan suatu pernyataan yang berbeda dengan kehendak kita maka kita tidak akan terikat dengan pernyataan tersebut.
2.     Teori Pernyataan (Verklaringstheorie) yang menganalogikan bahwa apabila seseorang menawarkan sesuatu kepada orang lain dan dapat diterima oleh orang lain maka telah terjadi kesepakatan meskipun mereka yang bersepakat sebenarnya tidak menghendaki kesepakatan itu seluruhnya.
3.    Teori Kepercayaan (Vetrouwnstheorie) dimana kesepakatan terjadi apabila terdapat pernyataan secara objektif dari para pihak yang dapat dipercaya oleh para pihak.
4.    Teori Ucapan (Uitingstheorie), yang menyatakan bahwa kesepakatan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan jawaban persetujuan atas penawaran yang diberikan kepadanya;
5.    Teori Pengiriman (Verzendingstheorie), yaitu kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran mengirimkan persetujuannya  atas penawaran yang diberikan;
6.    Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie), mengemukakan bahwa kesepakatan terjadi saat penawar mengetahui bahwa penawarannya disetujui oleh penerima penawaran;
7.    Teori Penerimaan (Ontvangsttheorie), bahwa kesepakatan terjadi saat diterimanya jawaban berupa persetujuan atas penawaran yang ditawarkan.
Apabila kehendak seseorang dipengaruhi oleh kepalsuan dalam melakukan kesepakatan maka kesepakatan itu batal karena kehilafan (dwaling). Kemungkinan dwaling hanya ada 2 (dua) yaitu hilaf atas objek (misalnya seharusnya barang yang dijanjikan barang antik ternyata barang rusak)  dan hilaf atas subjek (misalnya seharusnya melakukan perjanjian dengan seorang artis terkenal ternyata bukan artis). Pembatalan juga terjadi jika salah satu pihak dipaksa dengan ancaman fisik dan spiritual seperti tertulis dalam pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan tipu muslihat sebagaimana ternyata dalam pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tipu muslihat tidak hanya kebohongan secara verbal (ucapan) saja akan tetapi juga pada perbuatan yang menyamarkan sesuatu dari keadaan sebenarnya[2].
   Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan ditentukan secara tegas pada pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan konsekuensi hukum pada pasal 1331 dan pasal 1456 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk pembatalan (dimana perjanjian dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak cakap hukum) dan pasal 1446 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk batal demi hukum (dimana  perjanjian dilakukan oleh para pihak yang belum cakap hukum)[3].
Hal tertentu yang dimaksud setidaknya memenuhi ketentuan pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu paling sedikit ditentukan jenisnya dan dapat diperdagangkan seperti ternyata dalam pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kecuali ditentukan lain oleh pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (seperti warisan)[4].
Sebab yang halal adalah hal yang diadakan oleh para pihak tidak bertentangan dengan hukum positif (peraturan perundang-undangan), ketertiban umum (kebiasaan) dan kesusilaan (kepatutan)[5].
Perjanjian yang dibuat sesuai dengan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata akan berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak menurut pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jika dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang membuat perjanjian. Salah satu pihak tidak dapat menarik kesepakatan yang mereka buat kecuali kesepakatan para pihak untuk menariknya kembali atau atas perintah peraturan perundang-undangan. Prinsip dalam pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini sering disebut pacta sursenvanda (asas kebebasan berkontrak).
Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya pasal 1869, hanya mengakui surat yang bertanda tangan dan sebaliknya tidak mengakui surat yang tidak bertanda tangan. Suatu surat memiliki kekuatan bagi para pihak yang  terlibat jika ditandatangani oleh para pihak. Kekuatan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kekuatan pembuktian. Dengan tidak ditandatanganinya suatu surat atau akta maka tidak akan dapat diketahui pihak yang terlibat dalam surat atau akta tersebut atau tidak diketahui kepada siapa surat atau akta tersebut berlaku sebagai undang-undang.
Kedudukan tanda tangan dalam suatu surat maupun akta adalah untuk membuktikan bahwa pihak yang menandatangani surat atau akta tersebut telah benar-benar mengetahui dan memahami isi dari surat atau akta yang ditandatanganinya. Para pihak yang menandatangani surat atau akta terikat dan tunduk pada setiap syarat dan ketentuan yang ternyata dalam surat atau akta yang ditandatangani. Dengan ditandatanganinya surat atau akta oleh para pihak maka segala ketentuan yang dinyatakan di dalam surat atau akta berlaku menjadi undang-undang bagi para pihak yang menandatanganinya.
Penandatanganan suatu dokumen secara umum memiliki tujuan sebagai berikut[6]:
1.    Bukti (evidence), dimana tanda tangan merupakan bukti identifikasi orang yang terikat dengan dokumen yang ditandatangani. Dengan ditandatanganinya suatu dokumen maka secara khusus orang menandatangani tersebut memiliki hubungan dengan seluruh ketentuan yang tertulis di dalamnya;
2.    Ceremony, dengan dilakukan penandatanganan suatu dokumen maka penandatangan telah melakukan suatu perbuatan hukum sehingga akan menyampingkan adanya suatu keterlibatan penandatangan dengan penuh pengertian atas dokumen yang ditandatangani oleh penandatangan.
3.    Persetujuan (approval), artinya tanda tangan mencerminkan tentang adanya persetujuan atau otoritas penuh dari orang yang membubuhkan tanda tangannya terhadap suatu dokumen yang ditandatanganinya. Tanda tangan merupakan alasan penyetuju atau pembenar untuk menjadikan suatu dokumen sebagai alat bukti bagi para pihak yang melibatkan diri.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diberikan pengertian tentang klausula baku yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi  oleh konsumen. Kiranya undang-undang tersebut lebih berpihak kepada konsumen. Pelaku usaha secara tidak langsung diberikan keabsahan untuk membuat perjanjian yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu olehnya untuk diberlakukan kepada pelaku usaha dan konsumen (para pihak).
            Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut[7]:
1.      Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
2.      Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
3.      Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4.      Bentuk tertentu (tertulis);
5.      Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Dari sisi materil, pelaku   usaha   dalam   menawarkan   barang   dan/atau   jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.  menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.  menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.  menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolah penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.  menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.  mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.  memberi   hak   kepada   pelaku   usaha   untuk   mengurangi   manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.  menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.  melakukan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
Dari sisi formil, pelaku usaha dilarang mencantum klasula baku yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti oleh konsumen. Apabila pelaku usaha tetap memberlakukan klausula baku tersebut di atas secara materil maupun formil, maka setiap klasula baku tersebut secara materil dinyatakan batal demi hukum.  Selain batal demi hukum, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) dengan tambahan berupa:
a.  perampasan barang tertentu; 
b.  pengumuman keputusan hakim;
c.  pembayaran ganti rugi; 
d.  perintah   penghentian   kegiatan   tertentu   yang   menyebabkan   timbulnya   kerugian konsumen;
e.  kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.  pencabutan izin usaha. 

IV.  Kesimpulan
Pada prinsipnya, syarat sah suatu perjanjian seperti dinyatakan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan perluasan pada pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Para pihak yang memiliki sepakat akan memberikan persetujuan dan penundukannya pada semua klasula yang ternyata dalam perjanjian dalam bentuk pembubuhan tanda tangan.
Peraturan perundang-undangan tidak secara langsung menyatakan pelarangan untuk melakukan pembuatan perjanjian baku. Bahkan seara tidak langsung menyadari oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelarangan yang ditegaskan adalah pada klasula baku yang dapat menempatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha pada kedudukan yang tidak setara.

V.   Daftar Pustaka  
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Percetakan Ekonomi, 1979

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1996 

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen






[1]     R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Percetakan Ekonomi, 1979, halaman 57 - 59
[2]     Ibid, halaman 60
[3]     Ibid, halaman 61
[4]     Ibid
[5]     Ibid, halaman 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar