I.
Latar
Belakang
Dalam
melangsungkan kehidupan, tiap orang tidak akan lepas dari perannya sebagai
makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai pribadi, orang diberikan ciri khas
yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya, yaitu akal pikiran. Dengan
akal pikirannya, orang mampu mengembangkan pikirannya yang dapat berguna bagi
dirinya sendiri bahkan bagi sesamanya.
Sebagai
makhluk sosial, setiap orang perlu berhubungan dengan orang lainnya. Dalam
berhubungan dengan orang lain, pada prinsipnya hubungan tersebut tentu saling
menguntungkan bagi masing-masing orang yang terlibat dalam hubungan tersebut.
Hubungan
saling menguntungkan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban di masing-masing
pihak terhadap masing-masing pihak lainnya. Hubungan tersebut sering disebut
hubungan hukum (rechtsbetrekking).
Idealnya dalam penentuan hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum harus seimbang. Setiap kepentingan
masing-masing pihak harus saling disepakati dan dimufakati oleh masing-masing
pihak dalam bentuk yang tertulis yang disebut perjanjian. Tujuan dibuat dalam
bentuk perjanjian yang tertulis adalah untuk menjamin kepastian hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masing-masing pihak.
Seturut perkembangan zaman, perjanjian tidak sepenuhnya kedudukan
yang sama. Salah satu pihak telah mempersiapkan suatu perjanjian yang
dikehendakinya. Hal ini sering disebut standard
contract atau perjanjian baku. Bahkan bentuk tersebut dalam bentuk formulir
yang dibuat secara massal oleh salah satu pihak. Perjanjian ini sering
dipergunakan antara lain oleh di bidang perasuransian, di bidang perbankan, di
bidang pengangkutan dan bidang pengembangan perumahan.
II.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan dalam tulisan ini
adalah bagaimana kekuatan mengikat dari perjanjian baku?
III.
Pembahasan
Menurut
pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.
Defini
mengenai perjanjian juga diberikan oleh R. Subekti dalam bukunya berjudul
“Aneka Perjanjian” sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lian atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.
Untuk
sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:
1. Sepakat
para pihak yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan
para pihak untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu
hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal
Terjadinya
suatu kesepakatan, menurut R. Setiawan dalam bukunya yaitu “Pokok-pokok Hukum
Perikatan” dapat dijelaskan dalam 7 (tujuh) teori yaitu[1]:
1. Teori
Kehendak (Wilstheorie) yang menekankan
pada kehendak para pihak. Apabila kita mengemukan suatu pernyataan yang berbeda
dengan kehendak kita maka kita tidak akan terikat dengan pernyataan tersebut.
2. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie) yang menganalogikan bahwa apabila seseorang
menawarkan sesuatu kepada orang lain dan dapat diterima oleh orang lain maka
telah terjadi kesepakatan meskipun mereka yang bersepakat sebenarnya tidak
menghendaki kesepakatan itu seluruhnya.
3. Teori
Kepercayaan (Vetrouwnstheorie) dimana
kesepakatan terjadi apabila terdapat pernyataan secara objektif dari para pihak
yang dapat dipercaya oleh para pihak.
4. Teori
Ucapan (Uitingstheorie), yang
menyatakan bahwa kesepakatan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran
telah menyiapkan jawaban persetujuan atas penawaran yang diberikan kepadanya;
5. Teori
Pengiriman (Verzendingstheorie),
yaitu kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran mengirimkan
persetujuannya atas penawaran yang
diberikan;
6. Teori
Pengetahuan (Vernemingstheorie),
mengemukakan bahwa kesepakatan terjadi saat penawar mengetahui bahwa
penawarannya disetujui oleh penerima penawaran;
7. Teori
Penerimaan (Ontvangsttheorie), bahwa
kesepakatan terjadi saat diterimanya jawaban berupa persetujuan atas penawaran
yang ditawarkan.
Apabila
kehendak seseorang dipengaruhi oleh kepalsuan dalam melakukan kesepakatan maka
kesepakatan itu batal karena kehilafan (dwaling).
Kemungkinan dwaling hanya ada 2 (dua)
yaitu hilaf atas objek (misalnya seharusnya barang yang dijanjikan barang antik
ternyata barang rusak) dan hilaf atas
subjek (misalnya seharusnya melakukan perjanjian dengan seorang artis terkenal
ternyata bukan artis). Pembatalan juga terjadi jika salah satu pihak dipaksa dengan
ancaman fisik dan spiritual seperti tertulis dalam pasal 1324 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan tipu muslihat sebagaimana ternyata dalam pasal
1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tipu muslihat tidak hanya kebohongan
secara verbal (ucapan) saja akan tetapi juga pada perbuatan yang menyamarkan
sesuatu dari keadaan sebenarnya[2].
Kecakapan
para pihak untuk membuat suatu perikatan ditentukan secara tegas pada pasal
1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan konsekuensi hukum pada pasal 1331
dan pasal 1456 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk pembatalan (dimana
perjanjian dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak cakap hukum) dan pasal
1446 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk batal demi hukum (dimana perjanjian dilakukan oleh para pihak yang
belum cakap hukum)[3].
Hal
tertentu yang dimaksud setidaknya memenuhi ketentuan pasal 1333 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yaitu paling sedikit ditentukan jenisnya dan dapat
diperdagangkan seperti ternyata dalam pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata kecuali ditentukan lain oleh pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (seperti warisan)[4].
Sebab
yang halal adalah hal yang diadakan oleh para pihak tidak bertentangan dengan
hukum positif (peraturan perundang-undangan), ketertiban umum (kebiasaan) dan
kesusilaan (kepatutan)[5].
Perjanjian
yang dibuat sesuai dengan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata akan
berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak menurut pasal 1338
Kitab Undang-undang Hukum Perdata jika dilaksanakan dengan itikad baik oleh
para pihak yang membuat perjanjian. Salah satu pihak tidak dapat menarik
kesepakatan yang mereka buat kecuali kesepakatan para pihak untuk menariknya
kembali atau atas perintah peraturan perundang-undangan. Prinsip dalam pasal
1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini sering disebut pacta sursenvanda (asas kebebasan berkontrak).
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata khususnya pasal 1869, hanya mengakui surat yang
bertanda tangan dan sebaliknya tidak mengakui surat yang tidak bertanda tangan.
Suatu surat memiliki kekuatan bagi para pihak yang terlibat jika ditandatangani oleh para pihak.
Kekuatan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kekuatan pembuktian. Dengan
tidak ditandatanganinya suatu surat atau akta maka tidak akan dapat diketahui
pihak yang terlibat dalam surat atau akta tersebut atau tidak diketahui kepada
siapa surat atau akta tersebut berlaku sebagai undang-undang.
Kedudukan
tanda tangan dalam suatu surat maupun akta adalah untuk membuktikan bahwa pihak
yang menandatangani surat atau akta tersebut telah benar-benar mengetahui dan
memahami isi dari surat atau akta yang ditandatanganinya. Para pihak yang
menandatangani surat atau akta terikat dan tunduk pada setiap syarat dan
ketentuan yang ternyata dalam surat atau akta yang ditandatangani. Dengan
ditandatanganinya surat atau akta oleh para pihak maka segala ketentuan yang
dinyatakan di dalam surat atau akta berlaku menjadi undang-undang bagi para
pihak yang menandatanganinya.
Penandatanganan
suatu dokumen secara umum memiliki tujuan sebagai berikut[6]:
1. Bukti
(evidence), dimana tanda tangan
merupakan bukti identifikasi orang yang terikat dengan dokumen yang
ditandatangani. Dengan ditandatanganinya suatu dokumen maka secara khusus orang
menandatangani tersebut memiliki hubungan dengan seluruh ketentuan yang
tertulis di dalamnya;
2. Ceremony,
dengan dilakukan penandatanganan suatu dokumen maka penandatangan telah
melakukan suatu perbuatan hukum sehingga akan menyampingkan adanya suatu
keterlibatan penandatangan dengan penuh pengertian atas dokumen yang
ditandatangani oleh penandatangan.
3. Persetujuan
(approval), artinya tanda tangan mencerminkan
tentang adanya persetujuan atau otoritas penuh dari orang yang membubuhkan
tanda tangannya terhadap suatu dokumen yang ditandatanganinya. Tanda tangan
merupakan alasan penyetuju atau pembenar untuk menjadikan suatu dokumen sebagai
alat bukti bagi para pihak yang melibatkan diri.
Dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diberikan
pengertian tentang klausula baku yaitu setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Kiranya undang-undang tersebut
lebih berpihak kepada konsumen. Pelaku usaha secara tidak langsung diberikan
keabsahan untuk membuat perjanjian yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih
dahulu olehnya untuk diberlakukan kepada pelaku usaha dan konsumen (para
pihak).
Ciri-ciri perjanjian baku menurut
Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut[7]:
1.
Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi
(ekonominya) kuat;
2.
Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut
bersama-sama menentukan isi perjanjian;
3.
Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima
perjanjian itu;
4.
Bentuk tertentu (tertulis);
5.
Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Dari sisi materil, pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolah penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi
hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan
tunduknya konsumen pada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. melakukan
bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen
secara angsuran.
Dari sisi formil, pelaku
usaha dilarang mencantum klasula baku yang letaknya atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti oleh konsumen. Apabila pelaku usaha tetap memberlakukan klausula
baku tersebut di atas secara materil maupun formil, maka setiap klasula baku
tersebut secara materil dinyatakan batal demi hukum. Selain batal demi hukum, pelaku usaha dapat
dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) dengan tambahan berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah
penghentian kegiatan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
IV. Kesimpulan
Pada
prinsipnya, syarat sah suatu perjanjian seperti dinyatakan dalam pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan perluasan pada pasal 1338 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Para pihak yang memiliki sepakat akan memberikan persetujuan
dan penundukannya pada semua klasula yang ternyata dalam perjanjian dalam
bentuk pembubuhan tanda tangan.
Peraturan
perundang-undangan tidak secara langsung menyatakan pelarangan untuk melakukan
pembuatan perjanjian baku. Bahkan seara tidak langsung menyadari oleh pembentuk
undang-undang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pelarangan yang ditegaskan adalah pada klasula baku yang dapat
menempatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha pada kedudukan yang tidak
setara.
V. Daftar
Pustaka
R. Setiawan,
Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Percetakan Ekonomi, 1979
R. Subekti dan
R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramitha, 1996
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2546/perjanjian-baku,
tanggal akses 15 Oktober 2013
http://legalbanking.wordpress.com/2012/05/03/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-standard-kontrak-perjanjian-baku-dalam-bidang-bisnis-dan-perdagangan/,
tanggal akses 15 Oktober 2013
http://notarissby.blogspot.com/2008/05/arti-dan-kedudukan-tanda-tangan-dalam.html,
tanggal akses 15 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar