Senin, 22 April 2013

Perjanjian Tertutup dan Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Dalam Praktek Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

A.     Pendahuluan
            Prinsip ekonomi yang telah menjadi rahasia umum adalah dengan modal yang seminimal mungkin akan mendapatkan untung semaksimal mungkin. Pelaku usaha akan berusaha untuk mengeluarkan modal seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
Setiap pelaku usaha tentunya akan saling bersaing untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari modal yang seminimal mungkin dikeluarkan oleh para pelaku usaha. Era globalisasi sekarang ini tambah menyeret para pelaku pasar untuk bersaing mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar mendapatkan keuntungan yang maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan tindakan yang kurang bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain dalam melaksanakan prinsip ekonominya.
Pelaku usaha dapat menggunakan kekuatannya sendiri atau ada juga yang melakukannya dengan berkolaborasi dengan orang lain guna mencapai keuntungan semaksimal mungkin. Pelaku usaha yang berkolaborasi dengan pelaku usaha lain untuk membentuk rekayasa pasar sesuai dengan keuntungan yang diharapkan.
            Agar para pelaku pasar tidak saling menjadi serigala antarpelaku pasar maka dibentuklah suatu aturan yang membatasi tindak tanduk pelaku pasar dalam meraup keuntungannya. Pembatasan itu diundangkan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
            Tujuan pembentuk undang-undang mengundangkan undang-undang ini dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.   Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.   Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.   Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Untuk mencapai tujuan tersebut, negara yang mengumumkan undang-undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817, mengatur berbagai perjanjian dan perbuatan yang dilarang. Perjanjian yang dilarang menurut undang-undang ini adalah:
1.      Oligopoli (pasal 4)
2.      Penetapan Harga (pasal 5 – pasal 8)
3.      Pembagian Wilayah (pasal 9)
4.      Pemboikotan (pasal 10)
5.      Kartel (pasal 11)
6.      Trust (pasal 12)
7.      Oligopsoni (pasal 13)
8.      Integrasi Vertikal (pasal 14)
9.      Perjanjian Tertutup (pasal 15)
10.   Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (pasal 16)
Perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 29, yaitu:
1.      Monopoli
2.      Monopsoni
3.      Penguasaan Pasar
4.      Persekongkolan
5.      Posisi Dominan
6.      Jabatan Rangkap
7.      Pemilikan Saham
8.      Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
Dalam perjanjian yang dilarang, terdapat perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang sedikit terpublikasikan, padahal perjanjian ini memiliki dampak yang signifikan dalam persaingan usaha. Pertanyaan yang timbul, apa dan bagaimana perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dimaksudkan dalam pasal 15 dan pasal 16 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

B.     Pembahasan
            Secara yuridis formil, Perjanjian yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehatadalah suatu perbuatan satu atau lebih dari pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis (pasal 1 angka 7). Perjanjian yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[1].
         Pelaku usaha sebagai subjek hukum dalam undang-undang ini adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggara-kan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
            Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, melarang pelaku usaha membuat perjanjian tertutup atau secara umum dikenal sebaga Dealing Agreement, dengan:
1.  pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu (ayat 1).
2.  pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (ayat 2).
3.  pihak lain mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok (ayat 3).
            Ayat 1 secara umum dikenal sebagai exclusive distribution agreement, dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk hanya atau tidak memasok kembali produksi kepada pihak tertentu atau pada tempat tentu. Exclusive distribution agreement biasanya dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang menghasilkan suatu produk dari hasil industri yang memiliki beberapa pelaku usaha lain yang menjadi distributor atau penyalur atas hasil produksi industrinya. Pelaku usaha tidak menghendaki terjadinya persaingan usaha yang sehat di tingkat distributor atau penyalur hasil produksi. Jika tidak terjadi persaingan usaha dalam tingkat distributor maka harga atas hasil produksi akan menjadi mahal dan akan memberikan keuntungan dari hasil rekayasa kepada pelaku usaha yang memproduksi. Pembatasan di tingkat distributor dan wilayah pemasarannya menimbulkan kedudukan istimewa atau ekslusif bagi pihak distributor untuk meningkatkan harga dan akan memberikan keuntungan dari hasil rekayasa kepada pihak distributor dan pelaku usaha yang memproduksi.
          Contoh exclusive distribution agreement adalah suatu industri yang memproduksi mobil mewah membuat perjanjian dengan distributornya untuk menjual hasil produksi berupa mobil mewah hanya di ibukota negara saja. Oleh karena hanya dijual di ibukota negara saja maka membuat harga untuk pembelian di daerah menjadi lebih mahal dan tidak memberikan kesempatan kepada distributor di daerah untuk menjadi distributor.
             Ayat 2 dikenal secara umum sebagai tying agreement, dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang mensyaratkan pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha yang memproduksi. Pelaku usaha melakukan perluasan usahanya secara monopoli pada hasil produksi yang pertama kali dijual dan hasil produksi yang dipaksakan harus dibeli juga oleh konsumen. Kekuatan monopoli yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memproduksi secara sekaligus atas hasil produksi yang dijual dan wajib dibeli dapat mengganggu kesempatan pelaku usaha pesaing untuk bersaing secara sehat. Di sisi konsumen, typing agreement membuat konsumen tidak bebas memilih hasil produksi yang dibutukannya dengan harus membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh konsumen.
          Contoh kasus untuk typing agreement adalah kasus perjanjian penjualan tiket PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (Garuda) pada biro perjalanan. Dalam proses reservasi tiket Garuda dapat dilakukan secara manual melalui telepon atau melalui sistem online. Garuda mengembangkan teknologi penjualan tiket secara online pada tahun 2000 dan mulai mensyaratkan kepada para biro perjalanan untuk melakukan reservasi tiketnya melalui suatu sistem aplikasi bernama AGRA. Untuk dapat mengakses AGRA, semua biro perjalanan yang hendak menjual tiket harus menyewa sistem jaringan hasil produksi dari Abacus Connection. Penyewaan yang sifatnya wajib ini mengakibatkan biro perjalanan harus mengeluarkan biaya persewaan sistem jaringan Abacus Connection, dan biaya persewaan ini menjadi biaya produksi yang memberatkan biro perjalanan dan konsumen.
            Ayat 3 dikenal sebagai secara umum sebagai vertical agreement on discount, dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memberikan potongan harga atas hasil produksi yang dibeli pelaku usaha lain. Pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok atau tidak akan membeli produk sejenis dari pelaku usaha pesaing dari pelaku usaha pemasok. Vertical agreement on discount dapat menghilangkan kesempatan pelaku usaha pesaing dari pelaku usaha pemasok untuk membeli bersaing secara sehat.
            Contoh dari vertical agreement on discount ini adalah perjanjian ABC dengan pemilik toko atau grosir di Jawa dan Bali. Perjanjian itu diadakan untuk menyukseskan Program Geser Kompetitor selama Maret 2004 hingga Juni 2004 yang digalakkan oleh ABC. Dalam perjanjian itu, ABC akan memberikan potongan harga sebesar 2% (dua persen) jika toko atau grosir memajang baterai ABC dan tambahan potongan 2% jika tidak menjual baterai Panasonic. Hal ini secara jelas dan nyata mengganggu pelaku usaha lain (Panasonic) untuk bersaingan di pasar Jawa dan Bali selama Maret 2004 hingga Juni 2004.
            Perjanjian dengan pihak luar negari yang dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah perjanjian pelaku usaha dalam negeri dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Setiap subjek hukum diperkenankan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun tanpa dibatasi, akan tetapi apabila perjanjian tersebut menjadi bertentangan dengan undang-undang jika pihak luar negeri tersebut membuat perjanjian yang pada prinsipnya terkategorikan sebagai Oligopoli, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, Monopoli, Monopsoni, Penguasaan Pasar, Persekongkolan, Posisi Dominan, Jabatan Rangkap, Pemilikan Saham, Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan.
            Perbuatan yang merugikan pihak lain akan mengganggu keseimbangan dari kehidupan sosial masyarakat. Kerugian di pihak lain tentunya membawa konsekuensi logis adanya keuntungan di pihak lain. Kerugian dapat dialami oleh masyarakat umum dan/atau pelaku usaha pesaing sedangkan keuntungan dalam hal ini dinikmati oleh pelaku usaha yang melakukan rekayasa pasar. Keadaan yang seimbang bertentangan dengan asas kesimbangan yang menjadi asas dasar yang difundamentalkan oleh negara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Contoh kasus dalam perjanjian dengan pihak luar adalah kasus perjanjian antara Astro All Asia Network dan PT. Direct Vision dengan ESPN Star Sport dalam halhak siar ekslusif Barcalys Premier League. Astro All Network dan EPN Star Sport telah membuat perjanjian untuk penunjukan operator televise di Indonesia yang mendapatkan hak siar ekslusif Barcalys Premier League. Pihak Astro All Network membuat perjanjian penunjukan langsung kepada PT.Direct Vision yang mendapatkan satu-satunya hak siar atas Barcalys Premier League di Indonesia. Atas penunjukan langsung kepada satu-satunya pelaku usaha maka akan mengganggu atau menghambat operator televisi di Indonesia lainnya untuk bersaing.
Perjanjian Tertutup dan Perjanjian dengan Pihak Luar tidak semua dilarang dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pembentuk undang-undang memberikan batasan atau pengecualian pada pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terhadap[2]:
1.    Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.      Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti paten, merek, hak cipta, desain industri, tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas tanaman. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
3.  Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
4.      Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan usaha;
5.      Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang tela diperjanjikan sebelumnya;
6.  Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
7.      Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;
8. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri;
9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota-anggotanya;
10.   Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini ditafsirkan terbatas oleh karena pelaku usaha kecil pun tidak dapat melanggar peraturan-peraturan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pengecualian ini merupakan dasar atau alasan pembenar atas suatu praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dilakukan dalam bentuk perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar. Pembentuk undang-undang juga menyadari kedudukan pelaku usaha yang diistimewakan tetap harus dilindungi. Monopoli dan persaingan usaha tidak hanya mengikat tata perekonomian dalam negeri saja, akan tetapi juga tata pergaulan ekonomi dunia. Pengecualian ini dapat menjadi penyelundupan hukum para pelaku usaha dalam praktek monopoli dan persaingan usaha pada perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar. Pelaku usaha dapat memanfaatkan celah pengecualian ini agar dapat memberikan keuntungan yang semaksimal mungkin pelaku usaha, yang dapat mencederai asas keseimbangan yang menjadi prinsip dasar pencapaian kesejahteraan rakyat.

C.     Kesimpulan
            Perjanjian Tertutup atau Dealing Agreement diatur secara tegas dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelarangan ini meliputi exclusive distribution agreement (ayat 1), typing agreement (ayat 2), dan vertical agreement on discount (ayat 3)
            Perjanjian dengan pihak luar yang dilarang dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah perjanjian pelaku usaha dengan pihak lain dari luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
            Perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar tidak sepenuhnya dilarang karena mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi terdapat pengecualian yang dibenarkan dalam pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengecualian ini pada prinsipnya tetap menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan yang hendak dicapai meskipun sedikit atau bahkan menghilangkan asas keseimbangan dalam larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
 
D.     Daftar Pustaka

Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817


[1]     Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
[2]     Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, hal. 230-231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar