A. Pendahuluan
Prinsip ekonomi yang telah menjadi
rahasia umum adalah dengan modal yang seminimal mungkin akan mendapatkan untung
semaksimal mungkin. Pelaku usaha akan berusaha untuk mengeluarkan modal seminimal
mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
Setiap
pelaku usaha tentunya akan saling bersaing untuk mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin dari modal yang seminimal mungkin dikeluarkan oleh para
pelaku usaha. Era globalisasi sekarang ini tambah menyeret para pelaku pasar
untuk bersaing mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar mendapatkan
keuntungan yang maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan
tindakan yang kurang bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain
dalam melaksanakan prinsip ekonominya.
Pelaku
usaha dapat menggunakan kekuatannya sendiri atau ada juga yang melakukannya
dengan berkolaborasi dengan orang lain guna mencapai keuntungan semaksimal
mungkin. Pelaku usaha yang menggunakan kekuatannya sendiri misalnya dalam hal
yang telah menjadi rahasia umum, yaitu pemenangan tender pekerjaan. Pelaku
usaha akan menggunakan kekuatannya berupa kedekatannya dengan pemberi kerja
atau bahkan kekuatan finansial untuk memenangi kontrak kerja tersebut. Dengan
memenangi kotrak kerja yang ditenderkan maka pelaku usaha akan mendapatkan
keuntungan yang diharapkan. Pelaku usaha yang tidak memiliki kekuatan kedekatan
bahkan kekuatan finansial akan kehilangan kesempatan untuk bersaingan oleh
karena persaingan yang tidak jujur. Bahkan pemenang tender juga belum tentu
kualitas pekerjaannya lebih baik daripada pelaku usaha yang tidak memiliki
kemampuan kekuatan sendiri tersebut.
Pelaku
usaha yang berkolaborasi dengan pelaku usaha lain misalnya dalam pelaku usaha
distributor, dimana pelaku usaha yang memproduksi suatu barang hanya memberikan
atau menjual barangnya kepada beberapa pelaku usaha tertentu saja atau bahkan
hanya pada satu pelaku usaha. Para pelaku saling berkolaborasi untuk membentuk
pasar sesuai dengan keuntungan yang diharapkan.
Agar para pelaku pasar tidak saling
menjadi serigala antarpelaku pasar maka dibentuklah suatu aturan yang membatasi
tindak tanduk pelaku pasar dalam meraup keuntungannya. Pembatasan itu
diundangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3817.
Negara,
dengan diundangkannya tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat, memiliki visi untuk[1]:
a.
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.
Mencegah
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
d.
Terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam
mencapai visi filosifsnya, negara dan pelaku usaha melaksanakan larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha harus memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum[2].
Pertanyaan
yang timbul, apakah pelaku usaha dan negara telah melaksanakan larangan
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara berimbang guna mencapai visi
filosifisnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
B. Pembahasan
Secara
yuridis formil yang dinyatakan dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
larangan praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Persaingan
usaha tidak sehat diartikan oleh pasal 1
angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, sebagai persaingan antarpelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Dari
dua terminologi tersebut, suatu praktek monopoli dan persaingan usaha
mengandung unsur-unsur yaitu pelaku usaha, penguasaan pasar dan kerugian. Negara
sebagai pemegang kekuasaan dari bangsa, melarang rekayasa yang dilakukan oleh
satu dan/atau beberapa pelaku usaha yang menggunakan kemampuannya secara tidak
baik yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
Perbuatan
yang merugikan pihak lain akan mengganggu keseimbangan dari kehidupan sosial
masyarakat. Kerugian di pihak lain tentunya membawa konsekuensi logis adanya
keuntungan di pihak lain. Kerugian dapat dialami oleh masyarakat umum dan/atau
pelaku usaha pesaing sedangkan keuntungan dalam hal ini dinikmati oleh pelaku
usaha yang melakukan rekayasa pasar. Keadaan yang seimbang bertentangan dengan
asas kesimbangan yang menjadi asas dasar yang difundamentalkan oleh negara
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kejadian
terkini sehubungan dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat adalah dugaan kartel yang dilakukan para pelaku pasar dalam perdagangan
bawang baik bawang merah maupun bawang putih. Harga bawang putih dan bawang
merah pada bulan November 2012, masih dikisaran Rp. 25.000,00 (dua puluh lima
ribu Rupiah) sampai dengan Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu Rupiah) per kilogram.
Harga menjadi Rp. 80.000,00 (delapan puluh ribu Rupiah) sampai dengan Rp.
100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per kilogram[3].
Indikasi kartel ini diduga karena terdapat tumpukan sebanyak 394 (tiga ratus
sembilan puluh empat) kontainer bawang yang tertahan di pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya[4].
Kartel
pada umumnya dilakukan oleh para pelaku usaha melalui suatu asosiasi atau
perkumpulan pelaku usaha. Asosiasi tersebut membuat suatu aturan yang disahkan
oleh negara untuk memudahkan pelaku-pelaku usaha yang memiliki kedekatan dengan
pemerintah selaku perpanjangan tangan dari negara. Aturan-aturan yang
disepakati bersama itu mempengaruhi keseimbangan produksi dan pemasaran yang
ujungnya bermuara pada harga yang tidak wajar oleh karena hukum pasar.
Hukum
pasar yang berlaku umum adalah apabila permintaan barang meningkat tanpa
diimbangi dengan pemasaran yang banyak (sedikit) maka akan menciptakan harga
yang tinggi atas barang tersebut. Keadaan ini direkayasa oleh pelaku usaha
dalam perdagangan bawang untuk menciptakan keadaan tidak seimbang antara
masyarakat dan pelaku usaha. Harga yang meningkat memberikan keuntungan yang
tidak wajar kepada pelaku usaha sedangkan di pihak masyarakat harus menambah
pengeluaran untuk mendapatkan bawang yang sudah menjadi kebutuhan pokok dalam
pangan.
Secara
makro, pelaku usaha dalam hal ini hanya meningkatkan kesejahteraannya sendiri tanpa
memperhatikan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat secara umum dan luas. Pelaku
usaha juga menciptakan keadaaan yang tidak kondusif dengan rekayasa pemasaran
bawang. Tingkat pelaku usaha besar yang memegang jalur distribusi sebagai
tangan pertama membuat pelaku usaha sedang dan kecil pada tangan kedua
pemasaran menjadi tidak dapat membeli karena keterbatasan permodalan. Keadaan
ini juga membuat pelaku usaha skala menegah dan kecil menjadi tidak dapat
membantu pergerakan roda ekonomi secara makro atau dengan kata lain tidak ikut
menikmati.
Pola
ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku usaha khususnya pelaku usaha besar
(distributor) tidak seimbang antara pelaku usaha besar dengan pelaku usaha
menengah dan kecil. Keuntungan yang menjadi tujuan akhir pelaku usaha tidak
secara merata dan seimbang dinikmati. Rekayasa pemasaran yang mengakibatkan
naiknya harga hanya dinikmati oleh pelaku usaha yang memiliki modal besar.
Pelaku usaha menengah dan kecil yang memiliki modal terbatas.
Rekayasa
pemasaran ini paling dirasakan oleh masyarakat selaku enduser yang sangat bergantung dari proses pemasaran barang.
Masyarakat harus mengeluarkan pengeluaran lebih untuk suatu barang kebutuhan
yang secara faktor produksi tidak mengalami kenaikan biaya produksi secara
signifikan. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, M. Nawir Messi saat
melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat pada
tanggal 10 April 2013 menyatakan bahwa dalam waktu 6 (enam) minggu harga bawang
putih yang bergerak dari Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu Rupiah) per kilogram
menjadi Rp. 100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per kilogram membawa kerugian
kurang lebih Rp. 1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus milyar Rupiah)[5].
Secara
makro, praktek rekayasa melalui monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
membawa kerugian terbesar pada terhambatnya laju kesejahteraan rakyat. Dapat
dibayangkan kegunaan Rp. 1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus milyar
Rupiah) jika digunakan untuk merenovasi gedung sekolah yang rusak atau
pembangunan rumah sehat sederhana yang seharga kurang lebih Rp. 100.000.000,00
(seratus juta Rupiah). Dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
telah menghilangankan kesempatan sekitar 17.000 (tujuh belas ribu) kepala
keluarga memiliki rumah sehat sederhana.
Indikasi
lain yang juga sedang diselidiki adalah dugaan praktek kartel dalam dunia
perbankan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai terdapat indikasi munculnya
kartel suku bunga dalam dunia perbankan di Indonesia. Hal ini sudah diselidiki
oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha sejak tahun 2010[6].
Dunia
perbankan memiliki badan pengawas sekaligus pengatur yaitu Bank Indonesia. Bank
Indonesia bertugas tidak hanya melakukan supervisi akan tetapi juga melakukan
pengaturan terhadap bank-bank yang melakukan operasional di Indonesia. Tujuan
dari tugas Bank Indonesia ini adalah untuk mencapai kestabilan nilai tukar
rupiah yang bermuara pada kestabilan perekonomian Indonesia.
Bank
Indonesia memiliki kewenangan menentukan tingkat suku bunga maksimal yang
dipergunakan untuk semua bank dibawah pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia.
Dalam mengatur modal dari dana pihak III, Bank Indonesia menetapkan tingkat
suku bunga setiap bulannya untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia
secara makro. Penentuan ini dilakukan bukan untuk memberikan keuntungan yang
merugikan masyarakat umum.
Kedudukan
Bank Indonesia bukanlah sebagai suatu asosiasi yang merupakan perkumpulan dari
para pelaku usaha di bidang perbankan. Bank Indonesia merupakan lembaga
berbadan hukum yang memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi
dunia perbankan di Indonesia. Bank Indonesia dalam melakukan pengawan dan
pengaturan, bertindak berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-undang.
Segala perbuatan dan kewenangan tentang pengawasan dan pengaturan perbankan
dilakukan atas legitimasi yang diakui secara yuridis formil.
Tingkat
suku bunga atau sering disebut BI Rate
berdasarkan data yang dipublikasikan pada Biro Pusat Statistik[7],
terusrat bahwa sejak Januari 2010 hingga Desember 2012 menunjukkan
kecenderungan terus turun. Pada Januari 2010, BI Rate berada di angka 6,5% (enam lima persepuluh persen) sedangkan pada
Desember 2012 tercatat berada di angka 5,75 (lima tujuh puluh lima perseratus
persen). Kenaikan BI Rate hanya
terjadi pada bulan Februari hingga Oktober 2011, dimana angka BI Rate ditetapkan oleh Bank Indonesia pada
angka 6,75% (enam tujuh puluh lima perseratus persen). Kondisi penururan BI Rate yang terjadi sejak Januari 2010
hingga Desember 2012 ini menunjukan bahwa modal dari dana pihak III yang
dihimpun oleh bank-bank dari masyarakat selalu ditekan oleh Bank Indonesia.
Tujuan dari hal ini adalah memberikan keseimbangan keuntungan dari pelaku bisni
perbankan dengan masyarakat umum.
Penurunan
bunga atas modal dari pihak III ini juga
berbanding lurus dengan penurunan suku bunga pinjaman atau kredit. Berdasarkan
statistik dari Biro Pusat Statistik[8],
Januari 2010 tingkat suku bunga kredit untuk semua segmen dan semua perbankan
berada di kisaran 11,34% (sebelas tiga puluh empat perseratus persen) sampai
dengan 16,32% (enam belas tiga puluh dua perseratus persen). Pada Desember
2012, tingkat suku bunga tersebut berada di kisaran 9,47% (sembilan empat puluh
tujuh perseratus persen) sampai dengan 13,78% (tiga belas tujuh puluh delapan
perseratus persen).
Hal
ini menunjukan bahwa dunia perbankan tidak bersepakat antarbank untuk
merekayasa permintaan kredit akan tetapi berkompetisi atau bersaing secara
sehat. Suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia, ditata kelola oleh
bank-bank menjadi suatu produk kredit yang beragam tingkat suku bunganya.
Fungsi intermediasi bank sebagai perantara proses pembayaran dari debitur
kepada nasabah penyimpan dilaksanakan dengan perhitungan finansial
masing-masing internal bank.
Kerugian
di satu pihak ataupun keuntungan sebesar-besarnya bagi pelaku pasar tidak semua
kegiatannya dilarang dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
dilarang. Pembentuk undang-undang memberikan batasan atau pengecualian pada
pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, terhadap[9]:
1.
Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan
untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.
Perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti paten, merek, hak
cipta, desain industri, tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas
tanaman. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku
secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak
melanggar undang-undang;
3.
Perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan,
pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi
persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
4.
Perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang
dan/atau menghalangi persaingan usaha;
5.
Perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang tela
diperjanjikan sebelumnya;
6.
Perjanjian
kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas;
7.
Perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;
8.
Perbuatan
dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan
dan/atau pasokan pasar dalam negeri;
9.
Kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota-anggotanya;
10.
Perbuatan
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun tidak secara tegas
dijelaskan, pengecualian ini ditafsirkan terbatas oleh karena pelaku usaha
kecil pun tidak dapat melanggar peraturan-peraturan larangan monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
Pengecualian
ini merupakan dasar atau alasan pembenar atas suatu praktek monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat. Pembentuk undang-undang juga menyadari
kedudukan pelaku usaha yang diistimewakan tetap harus dilindungi. Kita tidak
hanya terikat pada ekonomi dalam negeri, akan tetapi juga tata pergaulan
ekonomi dunia. Penghormatan kita terhadap kekayaan intelektual yang bukan
menjadi cerminan usaha luhur Indonesia.
Pengecualian
ini dapat menjadi penyelundupan hukum para pelaku usaha dalam praktek monopoli
dan persaingan usaha. Pelaku usaha dapat memanfaatkan celah pengecualian ini
agar dapat memberikan keuntungan yang semaksimal mungkin pelaku usaha.
Pemanfaatan celah hukum ini dapat mencederai asas keseimbangan yang menjadi
prinsip dasar pencapaian kesejahteraan rakyat.
C. Kesimpulan
Praktek
monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan.
Keadaan seimbang ini berlaku antara rakyat dengan pelaku usaha dan antarpelaku
usaha itu sendiri. Kepentingan pelaku usaha untuk menguntungkan diri sendiri
semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan rakyat untuk hidup
sejahtera. Semua kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar
dalam pencapaian kesejahteraan rakyat apabila dilakukan secara berdasarkan asas
keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Praktek
penentuan aturan oleh suatu asosiasi yang terdiri dari para pelaku usaha dapat
mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha. Asosiasi yang dari oleh
dan untuk pelaku usaha dalam berusaha tidak diatur dan diawasi secara ketat
berdasarkan perintah undang-undang. Penentuan aturan yang diawasi dan diatur yang
seharusnya menjadi penyeimbang dari kegiatan ekonomi antara pelaku usaha dan
masyarakat yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Bandingkan dengan regulator
yang dibentuk oleh negara bukan dari dan oleh pelaku usaha itu sendiri.
Regulator yang tidak berkepentingan dengan pelaku usaha akan lebih independen
dalam melakukan tugasnya yang diamanatkan undang-undang. Penentu kebijakan
dapat sungguh fokus mencapai tujuan mensejahterakan rakyat dengan menggunakan
asas keseimbangan.
Praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sepenuhnya secara dilarang oleh negara,
akan tetapi terdapat pengecualian yang dibenarkan oleh undang-undang.
Pengecualian ini pada prinsipnya tetap menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai
tujuan yang hendak dicapai meskipun sedikit atau bahkan menghilangkan asas
keseimbangan dalam larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
D. Daftar
Pustaka
Mustafa
Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha
(Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3817
http://www.kppu.go.id/id/praktik-kartel-rugikan-masyarakat/
http://www.neraca.co.id/harian/article/27172/KPPU.Terus.Selidiki.Kartel.Suku.Bunga.Bank#.UWgqkqJ-bv0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar