Sabtu, 13 April 2013

Pelaku Usaha dan Negara dalam Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha



A.      Pendahuluan
            Prinsip ekonomi yang telah menjadi rahasia umum adalah dengan modal yang seminimal mungkin akan mendapatkan untung semaksimal mungkin. Pelaku usaha akan berusaha untuk mengeluarkan modal seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
Setiap pelaku usaha tentunya akan saling bersaing untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari modal yang seminimal mungkin dikeluarkan oleh para pelaku usaha. Era globalisasi sekarang ini tambah menyeret para pelaku pasar untuk bersaing mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar mendapatkan keuntungan yang maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan tindakan yang kurang bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain dalam melaksanakan prinsip ekonominya.
Pelaku usaha dapat menggunakan kekuatannya sendiri atau ada juga yang melakukannya dengan berkolaborasi dengan orang lain guna mencapai keuntungan semaksimal mungkin. Pelaku usaha yang menggunakan kekuatannya sendiri misalnya dalam hal yang telah menjadi rahasia umum, yaitu pemenangan tender pekerjaan. Pelaku usaha akan menggunakan kekuatannya berupa kedekatannya dengan pemberi kerja atau bahkan kekuatan finansial untuk memenangi kontrak kerja tersebut. Dengan memenangi kotrak kerja yang ditenderkan maka pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Pelaku usaha yang tidak memiliki kekuatan kedekatan bahkan kekuatan finansial akan kehilangan kesempatan untuk bersaingan oleh karena persaingan yang tidak jujur. Bahkan pemenang tender juga belum tentu kualitas pekerjaannya lebih baik daripada pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan kekuatan sendiri tersebut.
Pelaku usaha yang berkolaborasi dengan pelaku usaha lain misalnya dalam pelaku usaha distributor, dimana pelaku usaha yang memproduksi suatu barang hanya memberikan atau menjual barangnya kepada beberapa pelaku usaha tertentu saja atau bahkan hanya pada satu pelaku usaha. Para pelaku saling berkolaborasi untuk membentuk pasar sesuai dengan keuntungan yang diharapkan.
            Agar para pelaku pasar tidak saling menjadi serigala antarpelaku pasar maka dibentuklah suatu aturan yang membatasi tindak tanduk pelaku pasar dalam meraup keuntungannya. Pembatasan itu diundangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817.
Negara, dengan diundangkannya tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, memiliki visi untuk[1]:
a.    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.    Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.    Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam mencapai visi filosifsnya, negara dan pelaku usaha melaksanakan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum[2].
Pertanyaan yang timbul, apakah pelaku usaha dan negara telah melaksanakan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara berimbang guna mencapai visi filosifisnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

B.       Pembahasan
            Secara yuridis formil yang dinyatakan dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, larangan praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.     Persaingan usaha tidak sehat diartikan oleh pasal  1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sebagai persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
            Dari dua terminologi tersebut, suatu praktek monopoli dan persaingan usaha mengandung unsur-unsur yaitu pelaku usaha, penguasaan pasar dan kerugian. Negara sebagai pemegang kekuasaan dari bangsa, melarang rekayasa yang dilakukan oleh satu dan/atau beberapa pelaku usaha yang menggunakan kemampuannya secara tidak baik yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
            Perbuatan yang merugikan pihak lain akan mengganggu keseimbangan dari kehidupan sosial masyarakat. Kerugian di pihak lain tentunya membawa konsekuensi logis adanya keuntungan di pihak lain. Kerugian dapat dialami oleh masyarakat umum dan/atau pelaku usaha pesaing sedangkan keuntungan dalam hal ini dinikmati oleh pelaku usaha yang melakukan rekayasa pasar. Keadaan yang seimbang bertentangan dengan asas kesimbangan yang menjadi asas dasar yang difundamentalkan oleh negara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kejadian terkini sehubungan dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah dugaan kartel yang dilakukan para pelaku pasar dalam perdagangan bawang baik bawang merah maupun bawang putih. Harga bawang putih dan bawang merah pada bulan November 2012, masih dikisaran Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu Rupiah) sampai dengan Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu Rupiah) per kilogram. Harga menjadi Rp. 80.000,00 (delapan puluh ribu Rupiah) sampai dengan Rp. 100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per kilogram[3]. Indikasi kartel ini diduga karena terdapat tumpukan sebanyak 394 (tiga ratus sembilan puluh empat) kontainer bawang yang tertahan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya[4].
Kartel pada umumnya dilakukan oleh para pelaku usaha melalui suatu asosiasi atau perkumpulan pelaku usaha. Asosiasi tersebut membuat suatu aturan yang disahkan oleh negara untuk memudahkan pelaku-pelaku usaha yang memiliki kedekatan dengan pemerintah selaku perpanjangan tangan dari negara. Aturan-aturan yang disepakati bersama itu mempengaruhi keseimbangan produksi dan pemasaran yang ujungnya bermuara pada harga yang tidak wajar oleh karena hukum pasar.
Hukum pasar yang berlaku umum adalah apabila permintaan barang meningkat tanpa diimbangi dengan pemasaran yang banyak (sedikit) maka akan menciptakan harga yang tinggi atas barang tersebut. Keadaan ini direkayasa oleh pelaku usaha dalam perdagangan bawang untuk menciptakan keadaan tidak seimbang antara masyarakat dan pelaku usaha. Harga yang meningkat memberikan keuntungan yang tidak wajar kepada pelaku usaha sedangkan di pihak masyarakat harus menambah pengeluaran untuk mendapatkan bawang yang sudah menjadi kebutuhan pokok dalam pangan.
Secara makro, pelaku usaha dalam hal ini hanya meningkatkan kesejahteraannya sendiri tanpa memperhatikan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat secara umum dan luas. Pelaku usaha juga menciptakan keadaaan yang tidak kondusif dengan rekayasa pemasaran bawang. Tingkat pelaku usaha besar yang memegang jalur distribusi sebagai tangan pertama membuat pelaku usaha sedang dan kecil pada tangan kedua pemasaran menjadi tidak dapat membeli karena keterbatasan permodalan. Keadaan ini juga membuat pelaku usaha skala menegah dan kecil menjadi tidak dapat membantu pergerakan roda ekonomi secara makro atau dengan kata lain tidak ikut menikmati.
Pola ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku usaha khususnya pelaku usaha besar (distributor) tidak seimbang antara pelaku usaha besar dengan pelaku usaha menengah dan kecil. Keuntungan yang menjadi tujuan akhir pelaku usaha tidak secara merata dan seimbang dinikmati. Rekayasa pemasaran yang mengakibatkan naiknya harga hanya dinikmati oleh pelaku usaha yang memiliki modal besar. Pelaku usaha menengah dan kecil yang memiliki modal terbatas.
Rekayasa pemasaran ini paling dirasakan oleh masyarakat selaku enduser yang sangat bergantung dari proses pemasaran barang. Masyarakat harus mengeluarkan pengeluaran lebih untuk suatu barang kebutuhan yang secara faktor produksi tidak mengalami kenaikan biaya produksi secara signifikan. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, M. Nawir Messi saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 10 April 2013 menyatakan bahwa dalam waktu 6 (enam) minggu harga bawang putih yang bergerak dari Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu Rupiah) per kilogram menjadi Rp. 100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per kilogram membawa kerugian kurang lebih Rp. 1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus milyar Rupiah)[5].
Secara makro, praktek rekayasa melalui monopoli dan persaingan usaha tidak sehat membawa kerugian terbesar pada terhambatnya laju kesejahteraan rakyat. Dapat dibayangkan kegunaan Rp. 1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus milyar Rupiah) jika digunakan untuk merenovasi gedung sekolah yang rusak atau pembangunan rumah sehat sederhana yang seharga kurang lebih Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah). Dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah menghilangankan kesempatan sekitar 17.000 (tujuh belas ribu) kepala keluarga memiliki rumah sehat sederhana.
Indikasi lain yang juga sedang diselidiki adalah dugaan praktek kartel dalam dunia perbankan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai terdapat indikasi munculnya kartel suku bunga dalam dunia perbankan di Indonesia. Hal ini sudah diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha sejak tahun 2010[6].
Dunia perbankan memiliki badan pengawas sekaligus pengatur yaitu Bank Indonesia. Bank Indonesia bertugas tidak hanya melakukan supervisi akan tetapi juga melakukan pengaturan terhadap bank-bank yang melakukan operasional di Indonesia. Tujuan dari tugas Bank Indonesia ini adalah untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah yang bermuara pada kestabilan perekonomian Indonesia.
Bank Indonesia memiliki kewenangan menentukan tingkat suku bunga maksimal yang dipergunakan untuk semua bank dibawah pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia. Dalam mengatur modal dari dana pihak III, Bank Indonesia menetapkan tingkat suku bunga setiap bulannya untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia secara makro. Penentuan ini dilakukan bukan untuk memberikan keuntungan yang merugikan masyarakat umum.
Kedudukan Bank Indonesia bukanlah sebagai suatu asosiasi yang merupakan perkumpulan dari para pelaku usaha di bidang perbankan. Bank Indonesia merupakan lembaga berbadan hukum yang memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi dunia perbankan di Indonesia. Bank Indonesia dalam melakukan pengawan dan pengaturan, bertindak berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-undang. Segala perbuatan dan kewenangan tentang pengawasan dan pengaturan perbankan dilakukan atas legitimasi yang diakui secara yuridis formil.
Tingkat suku bunga atau sering disebut BI Rate berdasarkan data yang dipublikasikan pada Biro Pusat Statistik[7], terusrat bahwa sejak Januari 2010 hingga Desember 2012 menunjukkan kecenderungan terus turun. Pada Januari 2010, BI Rate berada di angka 6,5% (enam lima persepuluh persen) sedangkan pada Desember 2012 tercatat berada di angka 5,75 (lima tujuh puluh lima perseratus persen). Kenaikan BI Rate hanya terjadi pada bulan Februari hingga Oktober 2011, dimana angka BI Rate ditetapkan oleh Bank Indonesia pada angka 6,75% (enam tujuh puluh lima perseratus persen). Kondisi penururan BI Rate yang terjadi sejak Januari 2010 hingga Desember 2012 ini menunjukan bahwa modal dari dana pihak III yang dihimpun oleh bank-bank dari masyarakat selalu ditekan oleh Bank Indonesia. Tujuan dari hal ini adalah memberikan keseimbangan keuntungan dari pelaku bisni perbankan dengan masyarakat umum.
Penurunan bunga atas modal dari pihak III  ini juga berbanding lurus dengan penurunan suku bunga pinjaman atau kredit. Berdasarkan statistik dari Biro Pusat Statistik[8], Januari 2010 tingkat suku bunga kredit untuk semua segmen dan semua perbankan berada di kisaran 11,34% (sebelas tiga puluh empat perseratus persen) sampai dengan 16,32% (enam belas tiga puluh dua perseratus persen). Pada Desember 2012, tingkat suku bunga tersebut berada di kisaran 9,47% (sembilan empat puluh tujuh perseratus persen) sampai dengan 13,78% (tiga belas tujuh puluh delapan perseratus persen).
Hal ini menunjukan bahwa dunia perbankan tidak bersepakat antarbank untuk merekayasa permintaan kredit akan tetapi berkompetisi atau bersaing secara sehat. Suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia, ditata kelola oleh bank-bank menjadi suatu produk kredit yang beragam tingkat suku bunganya. Fungsi intermediasi bank sebagai perantara proses pembayaran dari debitur kepada nasabah penyimpan dilaksanakan dengan perhitungan finansial masing-masing internal bank.
Kerugian di satu pihak ataupun keuntungan sebesar-besarnya bagi pelaku pasar tidak semua kegiatannya dilarang dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dilarang. Pembentuk undang-undang memberikan batasan atau pengecualian pada pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terhadap[9]:
1.         Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.        Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti paten, merek, hak cipta, desain industri, tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas tanaman. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
3.        Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
4.        Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan usaha;
5.        Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang tela diperjanjikan sebelumnya;
6.        Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
7.        Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;
8.        Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri;
9.        Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota-anggotanya;
10.    Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini ditafsirkan terbatas oleh karena pelaku usaha kecil pun tidak dapat melanggar peraturan-peraturan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pengecualian ini merupakan dasar atau alasan pembenar atas suatu praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Pembentuk undang-undang juga menyadari kedudukan pelaku usaha yang diistimewakan tetap harus dilindungi. Kita tidak hanya terikat pada ekonomi dalam negeri, akan tetapi juga tata pergaulan ekonomi dunia. Penghormatan kita terhadap kekayaan intelektual yang bukan menjadi cerminan usaha luhur Indonesia.
Pengecualian ini dapat menjadi penyelundupan hukum para pelaku usaha dalam praktek monopoli dan persaingan usaha. Pelaku usaha dapat memanfaatkan celah pengecualian ini agar dapat memberikan keuntungan yang semaksimal mungkin pelaku usaha. Pemanfaatan celah hukum ini dapat mencederai asas keseimbangan yang menjadi prinsip dasar pencapaian kesejahteraan rakyat.
           
C.      Kesimpulan
            Praktek monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan. Keadaan seimbang ini berlaku antara rakyat dengan pelaku usaha dan antarpelaku usaha itu sendiri. Kepentingan pelaku usaha untuk menguntungkan diri sendiri semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan rakyat untuk hidup sejahtera. Semua kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar dalam pencapaian kesejahteraan rakyat apabila dilakukan secara berdasarkan asas keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
            Praktek penentuan aturan oleh suatu asosiasi yang terdiri dari para pelaku usaha dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha. Asosiasi yang dari oleh dan untuk pelaku usaha dalam berusaha tidak diatur dan diawasi secara ketat berdasarkan perintah undang-undang. Penentuan aturan yang diawasi dan diatur yang seharusnya menjadi penyeimbang dari kegiatan ekonomi antara pelaku usaha dan masyarakat yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Bandingkan dengan regulator yang dibentuk oleh negara bukan dari dan oleh pelaku usaha itu sendiri. Regulator yang tidak berkepentingan dengan pelaku usaha akan lebih independen dalam melakukan tugasnya yang diamanatkan undang-undang. Penentu kebijakan dapat sungguh fokus mencapai tujuan mensejahterakan rakyat dengan menggunakan asas keseimbangan.
            Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sepenuhnya secara dilarang oleh negara, akan tetapi terdapat pengecualian yang dibenarkan oleh undang-undang. Pengecualian ini pada prinsipnya tetap menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan yang hendak dicapai meskipun sedikit atau bahkan menghilangkan asas keseimbangan dalam larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
    
D.      Daftar Pustaka

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817



http://www.kppu.go.id/id/praktik-kartel-rugikan-masyarakat/




[1]     Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[2]     Pasal 2, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[8]     Ibid.
[9]     Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, hal. 230-231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar