A.
Pendahuluan
Kematian
adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum berupa
kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris.
Pewaris yang meninggal dunia tidak secara langsung menghapuskan seluruh
kewajiban yang ditinggalkannya. Dalam sistem kewarisan Islam, terdapat utang
dan zakat yang wajib dilaksanakan oleh ahli waris setelah meninggalnya pewaris.
Setelah pelaksanaan kewajiban semasa hidupnya, pewaris secara Islam juga
memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian dan/atau peralihan harta
peninggalannya kepada ahli waris.
Dalam
sistem kewarisan Islam diatur tentang pembagian dan/atau peralihan harta
peninggalan pewaris kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan dalam hukum
Islam tidak hanya dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta
peninggalan pewaris tapi juga perihal yang menghalangi ahli waris untuk
mendapatkan harta peninggalan pewaris.
Selain
pembagian harta peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang
peralihan harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara
peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan
cara wasiat. Perihal wasiat dalam Al-Quran antara lain diatur dalam surat
Al-Baqarah ayat 180 yang menyatakan bahwa kalau kamu meninggalkan harta yang
banyak, diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu,
untuk berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik. Dilanjutkan
masih dalam ayat tersebut bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang
bertakwa kepada-Nya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga dinyatakan bahwa
orang yang meninggalkan isteri/isteri-isteri hendaklah berwasiat bagi isteri/isteri-isterinya berupa nafkah
selama setahun dan tidak boleh dikeluarkan dari rumah tempat tinggalnya selama
ini[1].
Wasiat
begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan dalam
surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat An-Nisaa ayat 11 dan
ayat 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus
diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan
perwaris kepada anak/anak-anak, duda, janda/janda-janda dan
saudara/saudara-saudara pewaris. Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan
pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya.
Wasiat
dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu
undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Wasiat hanya diatur Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai
dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal
194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa sedangkan dalam pasal
209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang
tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut wasiat wajibah.
Dari
latar belakang ini, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan wasiat wajibah?
2. Bagaimana
pengaturan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia?
B.
Pembahasan
Dalam
kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang dianut dalam pelaksanaan
kewarisan yaitu[2]:
1 Asas
Ijbari, yang menyatakan bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris
terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan yang dibuat Allah tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena asas ini maka
secara langsung tiap ahli waris diwajibkan menerima peralihan harta peninggalan
pewaris sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditetapkan
2 Asas bilateral, yang menyatakan bahwa ahli
waris yang menerima harta peninggalan pewaris adalah keturunan laki-laki maupun
perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki bagian masing-masing dari
harta peninggalan pewaris
3 Asas
individual, yaitu harta peninggalan pewaris dibagikan kepada ahli waris untuk
dimiliki secara perorangan. Masing-masing bagian ahli waris adalah kepunyaannya
secara perorangan.
4 Asas
keadilan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban antarahli waris serta
keseimbangan antara keperluan dan kegunaan yang diperoleh dari harta
peninggalan pewaris
Tidak
ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah
dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan
dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1. Subjek
hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang
tua angkat terhadap anak angkat
2. Tidak
diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi
dilakukan oleh negara
3. Bagian
penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu
pertiga) dari harta peninggalan pewaris
Wasiat
wajibah dalam pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak
angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya.
Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,
lembaga wasiat wajibah dipergunakan
untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan
cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu
dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah
di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau
pergantian tempat.
Awalnya
wasiat wajibah dilakukan karena terdapat
cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada
pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat
diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka.
Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin[3],
bahwa apabila tidak dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, maka
hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian dari harta peninggalan
pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam bentuk wasiat
yang wajib.
Konsep
1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi
Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash[4]
sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang
perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.”
Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa’ad lagi. Dijawab
Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad
kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah
sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan
adalah lebih baik.”
Hadits
ini menjadi acuan bagi Mesir yang pertama mengundangkan tentang wasiat wajibah dalam Undang-undang Nomor 71
Tahun 1946. Sejak 01 Agustus 1946, orang Mesir yang tidak membuat wasiat
sebelum meninggalnya, maka kepada keturunannya dari anak pewaris yang telah
meninggal terlebih dahulu daripada pewaris diberikan wasiat wajib tidak boleh
melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris. Hal ini diadopsi oleh Indonesia dalam pasal
209 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam
sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Hakim yang dimaksud
Ibnu Hazmin dalam kewarisan Islam di Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim
dalam lingkup pengadilan agama dalam tingkat pertama sesuai dengan kompetensi
absolut sebagaimana diperintahkan undang-undang.
Dalam
menentukan wasiat wajibah, secara
yuridis formil, para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi
Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991. Secara yuridis formil ketentuan
dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak
angkat dan orang tua angkat[5].
Kompleksitas
masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada
yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding
yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan
tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga
memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan
dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga
memberikan putusan yang sesuai dengn rasa keadian.
Pada
prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam
disebut ijtihad sebagai alternatif.
Dalam hal wasiat wajibah yang sempit
pada anak angkat dan orang tua angkat maka hakim wajib menggunakan kewenangan
fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan menjadi sulit untuk
menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang
dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru apabila hakim
tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur (ius coria novit) maka hakim dapat
diberikan sanksi (pasal 22 Algemen
Bepallingen van Wetgeving Voor [AB])
Terdapat
beberapa rechtsvinding atau ijtihad mengenai wasiat wajibah dalam yurisprudensi yang telah
berkekuatan hukum tetap. Misalnya dalam putusan No. 368 K/AG/1995 dan putusan
51K/AG/1999.
Dalam
perkara yang diputus dengan putusan 368 K/AG/1995, Mahkamah Agung memutuskan
sengketa waris dari pasangan suami isteri yang memiliki 6 (enam) orang anak.
Salah satu anak perempuan mereka telah berpindah agama ketika orang tuanya
meninggal dunia. Sengketa ahli waris dimintakan salah satu anak laki-laki dari
pewaris atas harta yang dimiliki oleh pewaris.
Dalam tingkat pertama, salah satu anak perempuan tersebut terhijab untuk
mendapatkan harta peninggalan pewaris. Tingkat Banding mementahkan putusan
tingkat pertama dengan memberikan wasiat wajibah
sebesar 1/3 (sepertiga) bagian anak perempuan kepada anak perempuan yang
berpindah agama. Tingkat Kasasi menambahkan hak anak yang berpindah agama
dengan wasiat wajibah sebesar anak
perempuan lainnya atau kedudukan anak yang berpindah agama tersebut sama dengan
anak perempuan lainnya.
Dalam
putusan Mahkamah Agung No. 51K/AG/1999 tertanggal 29 September 1999 menyatakan
bahwa ahli waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewaris dari harta
peninggalan pewaris yang beragama Islam. Pewarisan dilakukan menggunakan
lembaga wasiat wajibah, dimana bagian
anak perempuan yang bukan beragama Islam mendapat bagian yang sama dengan
bagian anak perempuan sebagai ahli waris[6].
Selain
itu terdapat juga putusan Mahkamah Agung No. 16 K/AG/2010 memberikan kedudukan
isteri yang bukan beragama Islam dalam harta peninggalan pewaris yang beragama
Islam. Isteri yang bukan beragama Islam mendapatkan warisan dari pewaris
melalui lembaga wasiat wajibah yang
besarnya sama dengan kedudukan yang sama dengan isteri yang beragama Islam
ditambah dengan harta bersama[7].
Putusan-putusan
tersebut dterbitkan oleh karena terjadi pergesekan kepentingan antarahli waris.
Ahli waris akan menikmati bagian secara
kualitatif yang lebih sedikit dengan adanya lembaga wasiat wajibah. Bagian para
ahli waris yang sudah ditentukan, dialihkan kepada penerima wasiat wajibah oleh
karena ijtihad hakim yang berwenang. Tuntutan-tuntutan para ahli waris adalah
menyampingkan lembaga wasiat wajibah.
Sekilas
putusan-putusan tersebut di atas tidak didasarkan pada hukum Islam murni yang
berasal dari Al-Quran dan Hadits-hadits. Putusan-putusan tersebut terlihat
seperti melakukan penyimpangan dari Al-quran dan Hadits-hadits. Putusan-putusan
tersebut diterbitkan untuk memenuhi asas keadilan bagi para ahli waris yang
memiliki hubungan emosional nyata dengan pewaris. Hakim menjamin keadilan bagi
orang-orang yang memiliki hubungan emosional dengan pewaris tersebut melalui
lembaga wasiat wajibah. Seorang anak
ataupun anak yang berbeda agama dan telah hidup berdampingan dengan tentram dan
damai serta tingkat toleransi yang tinggi dengan pewaris yang beragama Islam
tidak boleh dirusak oleh karena pewarisan. Penyimpangan yang dilakukan akan
memberikan lebih banyak kemaslahatan daripada mudarat.
Meskipun
pertimbangan setiap hakim dapat berbeda-beda mengenai besaran wasiat wajibah dalam setiap kasus, namun
terdapat suatu asas yang menjadi dasar dalam menjatuhkan besaran wasiat wajibah, yaitu asas keseimbangan. Wasiat
wajibah diberikan tidak mengganggu
kedudukan ahli waris lainnya. Bagian harta peninggalan yang diperuntukan untuk
wasiat wajibah diberikan dari derajat
yang sama. Anak perempuan tidak beragama Islam mendapat bagian yang sama
sebesar bagiannya dengan kedudukannya sebagai anak perempuan. Begitu juga
dengan kedudukan isteri yang tidak beragama Islam, akan mendapatkan bagian yang
sama besar bagianya dengan kedudukannya sebagai isteri.
Atas
dasas asas keadilan dan keseimbangan juga kedudukan anak angkat dan orang tua
angkat tidak selamanya maksimal mendapatkan 1/3 (satu pertiga) bagian dari
harta peninggalan pewaris. Atas kewenangan hakim juga anak angkat dan orang tua
angkat dapat mendapatkan lebih dari yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam.
Sifat
dari ijtihad yang dilakukan hakim
tdak bersifat impertif akan tetapi fakultatif. Penggunaan putusan-putusan
tersebut apabila terjadi sengketa dan sebaliknya apabila tidak terjadi sengketa
maka tetap menerapkan hukum Islam.
C.
Kesimpulan
Wasiat
wajibah pada prinsipnya merupakan
wasiat yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaa tertentu oleh negara
melalui jalur yudikatif. Pengaturan wasiat wajibah
secara sempit diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu hanya untuk
anak angkat dan orang tua angkat dan hakim memiliki kewenangan ijtihad untuk memperluas wasiat wajibah. Ijtihad hakim pada umumnya diperluas dengan bersandar pada asas
keadilan dan keseimbangan. Putusan-putusan tentang wasiat wajibah sekiranya dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan
seluruh masyarakat.
D.
Daftar
Pustaka
Destri Budi Nugraheni
dkk, Pengaturan dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum
Volume 22 Nomor 2, Juni 2010
Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil
Seminar Hukum Waris Islam, 1982
Mohammad Daud Ali,
Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, PT.
Raja Grafindo Persada
Sajuti Thalib, Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, PT. Bina Aksara
Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/ab.htm
[1]
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia, 1981, halaman 97 - 99
[2]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, hal. 281 - 289
[3]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum
Waris Islam, 1982, halaman 78
[4]
Sajuti Thalib, Op. Cit., halaman
102
[5]Destri Budi Nugraheni dkk, Pengaturan
dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2,
Juni 2010, halaman 312
aSSALAMUALAIKUM
BalasHapus