Selasa, 31 Mei 2011

Menurut Tour Guide ...

Pertama kali melancong ke negera tetangga, Singapura, bersama teman-teman kantor, kami menggunakan jasa biro perjalanan. Maklum katanya negara ini sangat teratur sehingga yang tidak mau diatur akan kena sanksi yang berat. Jika modal di dompet minimal, jangan coba-coba melanggar aturan, yang ada kita tidak bisa kembali ke tanah air oleh karena kehabisan uang hanya untuk membayar denda.

Pertama kali melancong di tahun, kami dibantu oleh seorang pemandu wisata dari Malaysia. Setiap ada sesuatu beliau langsung menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Tapi aku yakin tidak semua kolegaku menyimak dengan seksama penjelasan beliau. Terkadang aku pun tidak menyimak beliau karena aku pikir sangat sayang waktuku dibuang di Singapura hanya untuk mendengarkan penjelasannya. Lebih baik aku segarkan mataku dari kesemrawutan Indonesia dengan keteraturan dan kecanggihan Singapura.

Meskipun lebih banyak tidak menyimaknya, paling tidak sampai sekarang ada beberapa penjelasan yang cukup logis yang masih kuingat. Sewaktu melintas di Orchard Road, beliau bertanya "apa bedanya 'road' dengan 'street'?". Kebanyakan dari kami lebih asyik menyaksikan puluhan tempat perbelanjaan di sepanjang Orchard Road dibanding pertanyaan beliau. Aku pun tidak tahu apa jawaban. Beliau langsung menjawab apa perbedaannya. Kalau "road" itu lebih besar daripada "street". Jalur "street" biasanya hanya 1 -2 jalur untuk masing-masing arah. Sering mendengar "Orchard Road" or "Bugis Street". Memang cukup logis penjelasan beliau dan sewaktu kulihat ke jendela, jalur di Orchard Road lebih dari 2 jalur. Tapi aku teringat dengan album The Beatles yang mengambarkan suasana Abbey Road. Jalurnya cuma 2 tapi kenapa disebut "road"?

Selain mengetahui perbedaan "road" dan "street" dari beliau, aku juga mengetahui perbedaan "apartemen" dengan "kondominium" dari beliau sewaktu kami hendak menuju Mount Fiber. Menurut beliau, "apartemen" umumnya tidak menggunakan balkon (teras terbuka) sedangkan "kondominium" memiliki balkon. "Apartemen" biasanya untuk golongan menegah ke bawah dan biasanya memiliki ruang terbuka di lantai dasar yang dapat dipergunakan tempat sosial seperti food court atau ruang resepsi. "Kondominium" biasanya diperuntukan golongan menengah ke atas dan biasanya lantai dasarnya untuk fasilitas umum yang lebih modern seperti shopping centre atau gym.

Terkadang kita asyik sendiri dengan diri kita dan melupakan hal-hal kecil yang mungkin bermanfaat bagi kita. Bagiku sekecil apapun pengetahuan pasti ada gunanya. Thank You my first tour guide.

Minggu, 29 Mei 2011

Suatu Pagi antara JB dan Woodlands

Terjaga tidurku karena petugas imigrasi Malaysia meminta pasporku untuk diverifikasi. Stasiun Johor Bahru di bulan Juni 2010 tampak sedikit berbeda dengan 3 tahun silam. Platform (jalur) keretanya tampak lebih banyak. Aku pikir banyak kemajuan pada kota kedua terbesar di Malaysia ini. Tak lama melihat-lihat perbedaannya, duduk di sebelah seorang migrant worker Malaysia yang hendak menuju ke Singapore diikuti dengan migrant workers lain yang memadati lorong-lorong antarkursi. Wajah ketakjuban aku juga terbaca oleh pria gondrong dan berkulit gelap itu. Dengan gaya bahasa Melayu India, pria yang mengenakan kaos hitam itu langsung bercerita tentang Pemerintah Malaysia dan Singapore telah sepakat membangun Mass Rapid Transit (MRT) dari daerah Woodlands menuju JB, sebutan pria itu untuk Johor Bahru. Woodlands sendiri merupakan daerah utara Singapore tempat masuknya orang-orang dari ujung semenanjung Malaysia. Woodlands dan JB disambung oleh rel kereta api dan jalan raya (causeway). Tahun depan menurut pria kurus itu tidak ada lagi Kereta Tanah Melayu (KTM) yang akan melintas di causeway, sehingga orang-orang dari Malaysia yang akan ke Singapore akan berhenti di JB dan disambung dengan MRT dari JB ke Singapore. Masih menurut pria yang katanya kerja di daerah Woodlands ini, sekarang para pekerja dari Malaysia harus menunggu KTM Senandung Malam untuk memasuki Singapore. Kalau KTM Senandung Malam terlambat maka mereka pun akan terlambat kerja seperti yang terjadi pagi itu. Seharusnya KTM Senandung Malam tiba di JB pukul 06:00 waktu Malaysia tapi 08 Juni 2010, KTM Senandung Malam baru bergerak menuju Woodlands sekitar pukul 07:30 waktu Malaysia. Menurut pria yang mengenakan celana jeans itu semua biaya ditanggung oleh Singapore dan semua tanah untuk perlintasan rel KTM dibeli mahal oleh pemerintah Singapore. Kalau cerita pria keturunan India itu benar, tahun depan kalau aku ke Singapore via JB tidak akan seperti ini lagi, dan harus dipelajari dari awal.

Tiba di Woodlands, semua orang-orang yang naik dari JB berhamburan, termasuk pria yang duduk di sebelahku, menuju Woodlands Checkpoint. Aku pun turun untuk proses di imigrasi Singapore.

Sekarang aku membayangkan apa lagi yang terjadi antara JB dan Woodlands? apakah KTM masih beroperasi ke Singapore? Apakah aku masih bisa melihat balapan KTM dengan kendaraan bermotor di Causeway? Apakah aku masih bisa melihat Zion Hotel, milik suami Siti Nurhaliza, dari atas KTM? Apapun keadaannya sekarang, aku yakin keadaan itu lebih maju daripada terakhir aku kunjungi.

Rabu, 25 Mei 2011

Tidak Semua Orang Taat Hukum (Singapura-Maret 2006)

Begitu pertama kali aku menapakan kaki di Singapura tahun 2006, sudah disugesti agar tidak melakukan hal sepele yang dapat berakibat fatal. Makan permen karet, meludah atau merokok di tempat umum dapat dikenakan denda yang nilainya jutaan rupiah.

Ketaatan warganegara Singapura pada hukum terlihat di sekitaran Orchard Road. Hampir di setiap tong sampah di sekitaran Orchard Road berkerumun orang-orang dari berbagai lapisan, mulai dari orang kantoran yang berkemeja dan berdasi sampai orang yang hanya mengenakan t-shirt dan celana pendek, hanya untuk menikmati satu dua batang rokok. Mereka sadar hukum dan peduli dengan sesamanya yang tidak merokok, jika berkeliaran dengan rokok menyala di tangan mereka akan kena sanksi denda yang berat dan benar-benar dijatuhkan serta sampah rokok berupa puntung, abu dan asapnya dapat merusak kesehatan dan keindahan negara kota mereka.

Indonesia malah sebaliknya, sudah ditempel tentang peraturan tentang larangan merokok di tempat umum pun masih saja dilakukan. Apakah orang yang merokok itu buta huruf? Saya rasa tidak karena kalau mereka buta huruf pasti mereka tidakbisa membedakan merek rokok. Orang Indonesia tidak taat hukum karena hukum tidak dilaksanakan dengan benar oleh pemerintah dan tidak ingin negera ini rapi dan indah. Kejadian saya alami ketika ada seminar di sebuah hotel. Ada seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berpakaian pertahanan sipil warna hijau yang mengikuti seminar itu. Di sebuah hotel berbintang dengan ruangan yang mengunakan air conditioner, dengan santainya PNS itu menyalakan rokok. Ketika ditegur oleh satuan pengamanan setempat dengan mudahnya beliau menjawab "Dendanya nanti aku bayar, kan kami juga yang buat aturan itu".

Kembali lagi ke Singapura. Sepertinya semua orang mentaati aturan-aturan hukum di sana tapi saya menemukan seorang sopir taksi yang tidak taat hukum di sana. Cerita kami ingin melihat bagaimana wisata belanja tengah malam di Singapura, dan tujuannya adalah Mustafa Shopping Centre. Kami ke sana menggunakan jasa Mass Rapid Transit (MRT) dari Dhoby Ghaut, karena hotel kami di sekitaran Brasbasah Road, sekitar pukul 11:00 waktu Singapura. Setelah asyik berbelanja dan menyaksikan orang-orang berbelanja tengah malam kami pun memutuskan untuk pulang ke hotel. Jam sudah menunjukan pukul 02:20 waktu Singapura dan MRT telah berhenti beroperasi sejak pukul 11:30 waktu Singapura. Karena kami cuma bertiga maka kami putuskan menggunakan jasa taksi. Sopir taksi berwajah oriental itu bertampang lugu. Ketika melewati Victoria street dengan sopir tersebut dengan cepat menurunkan kaca jendela dan meludah. Aku yang duduk di sebelahnya langsung melihatnya dengan wajah sinis. Dia langsung menjawab "it's OK there is no CCTV around here".

Ternyata tidak semua orang Singapura taat hukum, sama seperti Indonesia juga tergantung pengawas dan waktu. Sopir itu secara tidak langsung mengajarkan kami untuk melanggar hukum butuh pengalaman, karena sebagai sopir taksi beliau tahu di mana-mana saja dapat melanggar hukum. Mungkin sudah menjadi sifat dasar manusia yang suka dengan tantangan.

Selasa, 24 Mei 2011

Antara Seremban dan KL (Juni 2010)

Sekitar pukul 06:30 waktu Malaysia Barat, aku terbangun dari tempat tidurku di kereta api senandung malam. Jadwalnya kereta api sudah masuk ke daerah Petaling Jaya atau bahkan Kuala Lumpur. Panggilan biologis tidak bisa dihindari dan aku pun bergegas ke arah kamar kecil. Sebelum sampai di kamar kecil aku sempatkan melihat keadaan Ibuku. Kebetulan kami tidak berdekatan tempat tidurnya, tapi masih dalam satu gerbong yang sama. Beliau juga terjaga dan hendak melaksanakan panggilan biologis di pagi hari.

Setelah kami membuang air kecil, kami coba sedikit duduk di dekat kamar kecil kereta api untuk sedikit melancarkan peredaran darah. Satu kursi diduduki oleh seorang pria paruh baya sambil menghisap rokoknya. "Ape pasal pergi kak bandar?" tanya pria berambut keriting itu. Aku beranikan diri untuk menjawab "melancong saja Pak". Aku pun balik bertanya "Apa pasal bapak pergi kak bandar". Pria yang mengenakan baju kemeja putih garis-garis abu-abu itu menjawab "ade kunduri".

Kami tidak tahu darimana beliau langsung tahu kalau kami berasal dari Indonesia. Beliau langsung bercerita pengalaman melancongnya ke Indonesia, sambil mempersiapkan rokok lintingnya yang baru. Beliau pernah ke Surabaya pada tahun 2000 untuk menemui saudaranya. Pengalaman pria bermata abu-abu itu sedikit tidak menyenangkan karena dia pernah ditipu argometer taxi di Surabaya. Takut kena argo kuda beliau naik becak yang rasanya tidak mahal. Bukan argo yang dikeluhkannya saat itu, dia mengeluhkan tukang becak yang ke mana-mana membawa senjata tajam. Dia takut kalau dia yang ditusuk dari belakang. Sejak itu beliau tidak pernah ke Indonesia lagi.

Beliau juga sangat mengikuti perkembangan hukum Indonesia. Dengan berpangku kaki pria itu menceritakan kasus yang menimpa Antasari Azhar. Dia berpendapat bahwa Antasari Azhar jadi korban para koruptor yang menyusahkan rakyat. Pembicaraan kami pun disela oleh 2 orang wanita yang baru keluar dari kamar kecil tanpa menutup pintu. "busuk jreng la" katanya, wajah bingungku diluruskan oleh Ibu dengan kalimat "jreng itu jenggol". Maklum kakekku dulu sejak SMP sampai kuliah di Singapore jadi Ibu sedikit banyak tahu cakap melayu.

Pria ini seperti berkomentar tentang apapun, dia lalu mengometari kejelekan orang melayu yang tidak bersih. Orang Singapore menurut dia bersih. Kebersihan suatu negara menurutnya dilihat dari kamar kecilnya. Dalam hatiku, memang kamar kecil di Singapore bersih-bersih tapi aku yakin pria ini tidak pernah makan di daerah Chinatown Singapore :)

Setelah menghabiskan 2 batang rokok pria paruh baya itu mohon pamit ke tempat tidurnya lagi karena menurut beliau, kita sudah sampai di daerah petaling jaya yang tidak jauh lagi dari KL Sentral. Pembicaraan berakhir tanpa kami tahu nama beliau.

Bincang kosong kami itu menunjukan padaku bahwa betapa Indonesia buruk di mata mereka. Dunia pariwisata yang tidak bersahabat dengan pelancong dan dunia hukum yang tidak ada aturan lagi. Tapi itulah Indonesia di matanya.

Semoga Indonesia bisa lebih baik lagi khususnya dunia pariwisata dan hukumnya. Tugas kita semua membangun citra Indonesia yang baik di masa datang agar jika aku bertemu lagi dengan pria melayu paruh baya itu atau siapapun orang luar negeri, aku mendapatkan cerita yang greng bukan "jreng" :)


Minggu, 22 Mei 2011

Sedikit Ide Agar Konsumsi Pertamax Meningkat

Salah satu judul surat kabar lokal (Palembang) hari ini adalah "Konsumsi Pertamax turun 40%". Jika dibaca dengan seksama, hal ini disebabkan karena margin harga Pertamax dengan Premium yang terlalu besar. Premium tetap bertahan di Rp. 4,500.00 per liter dan Pertamax terus melambung ke Rp. 9,550.00 per liter. Pemerintah terus mencari formula agar masyarakat luas menggunakan Pertamax yang tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tapi tidak ada satupun formula yang direalisasikan hanya berupa wacana yang dilempar. Ada juga program dengan memberikan undian hadiah bagi pemakai Pertamax tapi hanya periode tertentu.

Sekedar saran saja, karena salah satu jajaran pengurus Pertamina dahulunya pernah menjadi bankir, bagaimana dipergunakan sistem poin seperti tabungan di bank Pak. Setiap pembelian 1 liter Pertamax mendapat 1 poin. Poin yang terkumpul dapat dipergunakan untuk menukar sejumlah hadiah yang telah ditentukan. Untuk pengumpulan poin tersebut menggunakan kartu pintar seperti kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Kartu pintar itu juga dipergunakan untuk mendapatkan pemotongan pajak kendaraan bermotor yang digunakan tiap tahunnya. Tapi pemotongan itu setelah digunakan dengan batasan tertentu.

Bisakah ide ini direalisasikan Pertamina ?