Minggu, 02 Juni 2013

Persekongkolan Tender Dalam Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia


A.      Kasus Posisi
            Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU, memutuskan telah terjadi persekongkolan dalam tender proyek pembangunan dua gedung di Rumah Sakit Umum Sulawesi Tenggara dan memberikan denda kepada dua kontraktor yang terlibat. Kedua kontraktor yang menjadi terlapor adalah PT Waskita Karya dan PT Adhi Karya. Di samping itu, Panitia Pengadaan Barang/Jasa APBD (Pengadaan Jasa Konstruksi/Konsultan) Lingkup Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2011 juga menjadi terlapor dalam dugaan persekongkolan ini.  Selain itu KPPU menjatuhkan denda kepada Waskita Karya dan Adhi Karya. Sebagaimana diketahui, pada 2011 Rumah Sakit Umum (RSU) Sulawesi Tenggara melakukan tender dalam proyek pembangunan Standard dan Non Standar Gedung Perawatan Kelas I dan VIP atau Gedung Perawatan, serta tender pembangunan Standard dan Non Standar Gedung Pelayanan di rumah sakit tersebut. Dalam paket gedung perawatan dan gedung pelayanan terdapat masing-masing 6 (enam) perusahaan yang menjadi peserta tender. Dari proses ini, majelis menyatakan telah terjadi persekongkolan horizontal antara kedua perusahaan dan persekongkolan vertikal antara keduanya dengan panitia tender. Dicapai kesepakatan untuk memenangkan paket yang diinginkan, sehingga majelis menilai kedua perusahaan mengatur tinggi rendahnya nilai penawaran yang diajukan[2].

B.       Permasalahan
Berdasarkan kasus posisi tersebut di atas timbul suatu pertanyaan, bagaimana persekongkolan tender  dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia?

C.      Tinjauan Pustaka
Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia diatur dalam Undang-undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-undang yang diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 ini diundang untuk mencapai tujuan luhurnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.    Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.    Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam rangka mencapai tujuan luhurnya tersebut, undang-undang yang berlaku positif sejak 05 Maret 2000 ini menganut asas keseimbangan yang dinyatakan dalam pasal 2, yaitu negara dan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 angka 5, adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Sesuai dengan judul undang-undang yaitu “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, undang-undang ini mengelompokan pelarangan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:
1.        Perjanjian yang dilarang (pasal 4 – pasal 16)
2.        Kegiatan yang dilarang (pasal 19 – pasal 24)
3.        Posisi dominan (pasal 25 – pasal 29)
 Perjanjian yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[3].
Larangan persekongkolan dinyatakan dalam pasal 22 – pasal 24, akan tetapi khusus untuk persekongkolan tender diatur dalam pasal 22, yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

D.      Pembahasan
            Pada umumnya dalam persekongkolan terdapat suatu karakteristik yang khusus yaitu terdapat sedikitnya 2 (dua) pelaku usaha yang saling bekerja sama melakukan perbuatan melawan hukum. Para pelaku usaha yang terlibat dalam persekongkolan akan mengadakan perjanjian yang sifatnya rahasia dengan tujuan yang sifatnya konotatif atau negatif[4].
            Persekongkolan dalam hukum internasional disebut sebagai conspiracy. Persekongkolan tender diidentikan sebagai kolusi karena[5]:
1.        bekerja sama dengan pemerintah yang merupakan pusat dari regulasi kekuasaan dari suatu negara dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara;
2.        searah pertumbuhan perusahaan dan konglomerasi yang sangat kuat dan besar;
3.        tidak banyak orang yang memiliki kesempatan dan dapat mengembangak usaha besar;
4.        terdapat kerjasama tertentu antara pemerintah dengan pelaku-pelaku usaha tertentu;
5.        kekuasaan menjadi pusat bisnis (central of business) sehingga kemajuan dan perkembangan sebuah usaha dari pelaku usaha sangat dipengaruhi oleh pemerintah  
Dari kasus yang ditangani oleh KPPU selama tahun 6 (enam) tahun dari tahun 2006  sampai dengan tahun 2012, sebanyak 97 (sembilan puluh tujuh) dari 173 (seratus tujuh puluh tiga) kasus atau 56% (lima puluh enam persen) kasus diputuskan oleh KPPU sebagai kasis perkara yang merupakan persekongkolan tender sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22. Dari 97 (sembilan puluh tujuh) perkara persekongkolan tender tersebut, total bernilai sebesar kurang lebih Rp. 12.350.000.000.000,- (dua belas triliun tiga ratus lima puluh milyar Rupiah). Sebanyak 75 (tujuh puluh lima) kasus sudah diputuskan terjadi persekongkolan tender dengan nilai tender sebesar Rp. 8.600.000.000.000,- (delapan triliun enam ratus milyar Rupiah).  Proyek-proyek tersebut merupakan gabungan dari pelaku usaha swasta dan badan usaha milik negara dengan sumber pendanaan dari anggaran pendapatan belanja negara sebanyak 28 (dua puluh delapan) kasus dan anggaran pendapatan belanja daerah sebanyak 47 (empat puluh tujuh) kasus. Bahkan dalam kurun waktu tersebut juga tercatat sebanyak 77% (tujuh puluh tujuh persen) atau 164 (seratus enam puluh empat) laporan tertulis dari 212 (dua ratus dua belas) laporan tertulis yang diterima KPPU adalah laporan persekongkolan tender dan sisanya sebanyak 48 (empat puluh delapan) merupakan laporan tertulis non tender[6].
Dari data yang dipublikasikan oleh KPPU, tersurat bahwa persekongkolan tender sangat mendominasi kasus-kasus persekongkolan dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir. Nilai trilunan rupiah ini menyebabkan inefisiensi yang dilakukan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sangat menghambat  pembangunan masyarakat khususnya dalam penciptaan persaingan antarpelaku usaha yang sehat.
 Tender secara yuridis formil melalui penjelasan pasal 22, diartikan sebagai tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tender diperluas artinya menjadi tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar dengn cara menyampaikan sekali penawaran dalam waktu yang tealah ditentukan. Secara lex spesialis, tender dipersamakan dengan pelelangan.
Dalam tender tidak hanya terdapat unsur pelaku usaha saja akan tetapi terdapat “pelaku lain”. Berdasarkan keterlibatan pelaku lain tersebut, maka terdapat 3 (tiga) bentuk persekongkolan, yaitu[7]:
1.        Bentuk pertama adalah persekongkolan horizontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang atau dengan mendapatkan sejumlah uang sebagai sesuai kesepakatan diantara para penawar tender.
2.        Bentuk kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut.
3. Bentuk ketiga adalah persekongkolan horizontal dan vertikal, yakni persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup.
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tender adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua penawar, sehingga menghasilkan harga yang seminimal mungkin dengan hasil yang semaksimal mungkin. Meskipun harga sangat minimal atau murah bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan pemenang dalam pengadaan barang atau jasa[8]. Mekanisme penawaran tender menganut asas yang sama praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yaitu asas keseimbangan. Tiap pelaku usaha yang menjadi peserta tender memiliki kedudukan yang sama dalam mencapai kepentingannya.
Untuk menentukan terjadinya ketidakseimbangan yang terjadi antarpelaku usaha selaku peserta tender, dapat dilakukan dengan pendekatan secara rule of reason. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Secara terminologi formil, biasanya dalam redaksional ayat-ayat dalam undang-undang tersirat dari kalimat “... yang dapat mengakibatkan ....”[9]. Oleh karena dalam persekongkolan tender tertulis “yang dapat mengakibatkan” maka dalam penentuan karakteristik persekongkolan tender harus melalui evaluasi sebelum dinyatakan mengganggu keseimbangan kepentingan ekonomi antarpelaku usaha selaku peserta tender.
            Kasus posisi bermula dari tender pembngunan standar dan non standar gedung perawatan kelas I dan VIP dengan nilai sebesar Rp. 68.700.000.000,- (enam puluh delapan milyar tujuh ratus juta Rupiah) dan pembangunan standar dan non standar gedung pelayanan dengan nilai sebesar Rp. 91.913.000.000,- (sembilan puluh satu milyar sembilan ratus tiga belas juta Rupiah), keduanya dilaksanakan di Rumah Sakit Sulawesi Tenggara dengan tahun anggaran 2011.                                    Setelah melalui proses tender, maka pada tanggal 02 Mei 2011, diputuskan bahwa pemenang tender pembangunan standar dan non standar gedung perawatan adalah PT. Waskita Karya (Persero) dengan harga penawaran sebesr Rp. 66.712.000.000,- (enam puluh enam milyar tujuh ratus dua belas juta Rupiah). Sedangkan pemenang tender pembangunan standar dan non standar gedung pelayanan adalah PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dengan harga penawaran sebesar  Rp. 89.510.000.000,- (delapan puluh sembilan milyar lima ratus sepuluh juta Rupiah).
            Dalam persidangan, KPPU menuduhkan terjadinya persekongkolan secara horizontal antara PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. Persekongkolan secara horizontal tersirat dari softcopy dokumen penawaran yang memiliki tanggal yang sama yaitu 12 April 2010 pukul 08.48 dan penulis elektronik yang sama yaitu “obleh”. Hal ini menunjukan bahwa PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. telah memperoleh dokumen penawaran atau membuat dokumen penawaran berasal dari sumber yang sama.
Dalam kasus ini terjadi juga persekongkolan vertikal antara panitia tender dengan peserta tender. Terkait harga satuan penawaran baik yang ditawar pada masing-masing paket pekerjaan itu adalah hak para peserta tender, akan tetapi panitia tender tetap menyatakan sah selama harga penawaran secara keseluruhan (total) tidak melebihi nilai yang tersedia. Panitia tender juga tidak bisa mencampuri urusan permintaan surat dukungan mengenai gas medik, kesemuanya diserahkan kepada para peserta tender, yang penting surat dukungan tersebut ditandatangani oleh Direktur, sesuai dengan dokumen tender. Panitia tender menggugurkan perserta tender lainnya awalnya karena tidak ada brosur, lalu diralat karena surat dukungan gas medik bukan ditandatangani oleh Direktur jadi menyalahi dokumen tender.
Majelis juga menetapkan terjadi pemenuhan pasal 22 tentang persekongkolan tender dengan memenuhi unsur-unsur:
a.    kerjasama antara dua pihak atau lebih;
b.    secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya
c.    membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan
d.   menciptakan persaingan semu
e.    menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan
f.     tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu
g.    pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum
Akhirnya majelis memutuskan bahwa Panitia Tender, PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. telah memenuhi unsur persekongkolan dalam pasal 22. Hukuman untuk panitia tender adalah tidak boleh melaksanakan tender dalam waktu 2 (dua) tahun, menghukum PT. Waskita Karya (Persero) membayar denda sebesar Rp. 3.168.820.000,- (tiga milyar seratus enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh ribu Rupiah) dan menghukum PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. membayar denda sebesar Rp. 4.475.525.000,- (empat milyar empat ratus tujuh puluh lima juta lima ratus dua puluh lima ribu Rupiah).
Secara formil putusan KPPU bukanlah putusan lembaga peradilan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam putusan Mahkamah Agung Reg. No. 01 K/KPPU/2002 tertanggal 30 Desember 2002 tersurat[10]:
1.    bahwa KPPU bukanlah badan hukum yang berwenang bertindak di muka pengadilan (standi in judictio) sehingga tidak dapat menjadi pihak dalam suatu gugatan perdata
2.    bahwa KPPU bukanlah lembaga peradilan maka tidak memperoleh kewenangan secara khusus dari peraturan perundang-undangan untuk memuat irah-irah
3.    bahwa dalam putusan KPPU telah melampaui kewenangannya sehingga putusannya cacat huku dan oleh karenanya batal demi hukum

E.       Kesimpulan
            Praktek monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan. Keadaan seimbang ini berlaku antarpelaku usaha. Kepentingan pelaku usaha adalah menguntungkan diri sendiri semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan ekonomi antarpelaku usaha. Semua kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar dalam pencapaian kesejahteraan bersama berdasarkan asas keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
            Karakteristik persekongkolan yang sering terjadi dan dilakukan oleh para pelaku usaha adalah persekongkolan tender. Persekongkolan ini dilakukan tidak hanya oleh antarpelaku usaha akan tetapi juga melibatkan pihak pemerintah. Negara dalam hal ini diwakili oleh KPPU memutuskan terjadinya persekongkolan antarpelaku usaha dengan melibatkan panitia tender. Pelaku usaha dikenakan sanksi denda dan panitia tender hanya berupa sanksi administratif. Panitia tender tidak ikut menanggung kerugian ekonomi akibat perbuatannya.
            Meskipun Indonesia telah memiliki KPPU, kecendrungan persekongkolan tender tetap akan meningkat karena putusannya yang diuji melalui rule of reason, tetap hanya sebagai macan kertas.

F.       Daftar Pustaka
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009

Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008

Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende: Nusa Indah, 1994

Marwah M. Diah dan Joni Emirzon, Aspek-aspek Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang), Universitas Sriwijaya, 2003

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Perkara Nomor 04/KPPU-L/2012, tertanggal 25 April 2013







[1] Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Mario Anthony Tedja - 02122502042 (penulis) pada blog http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/pelaku-usaha-dan-negara-dalam.html, 12 April 2013, 7:58AM
[3] Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
[4] Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009, halaman 147 - 148
[5] Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010, halaman 165 - 166
[7] Andi Fahmi Lubis dkk, Op. Cit., halaman 152
[8] Ibid., halaman 149
[9] Ibid halaman 56
[10]    Marwah M. Diah dan Joni Emirzon, Aspek-aspek Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang), Universitas Sriwijaya, 2003, halaman 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar