A. Kasus Posisi
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berharap kartel di perbankan Indonesia bisa
berakhir di penghujung tahun 2013 demi menghadapi persaingan ekonomi global
pada 2015. "Ini yang jadi masalah karena Indonesia akan menghadapi
persaingan ekonomi global pada tahun 2015 dan jika praktik kartel di dunia
perbankan tidak segera diakhiri, maka Indonesia akan sulit dalam persaingan
ekonomi secara global," kata Komisioner KPPU Syarkawi Rauf di Makassar,
Jumat (24/5). Syarkawi Rauf menambakan, sejauh ini dari 128 (seratus dua puluh
delapan) bank di Indonesia, tiga diantaranya dinilai paling dominan dan
berpengaruh terhadap penentuan suku bunga kredit yakni Bank Mandiri, Bank Negara
Indonesia, dan Bank Rakyat Indonsia. Terkait hal itu, KPPU berencana
berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Bank Indonesia
untuk mengkaji dugaan kartel perbankan yang ditengarai dilakukan perbankan
berstatus Badan Usaha Milik Negara[1].
B. Permasalahan
Berdasarkan kasus posisi tersebut
di atas timbul suatu pertanyaan, apakah perbankan di Indonesia melaksanakan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (kartel)?
C. Tinjauan Pustaka
Larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia diatur dalam
Undang-undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-undang yang diumumkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 ini diundang untuk
mencapai tujuan luhurnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.
Mencegah
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
d.
Terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam rangka
mencapai tujuan luhurnya tersebut, undang-undang yang berlaku positif sejak 05
Maret 2000 ini menganut asas keseimbangan yang dinyatakan dalam pasal 2, yaitu negara dan pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan ekonomi harus
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 angka 5, adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Sesuai dengan
judul undang-undang yaitu “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”, undang-undang ini mengelompokan pelarangan menjadi 3 (tiga) jenis
yaitu:
1.
Perjanjian yang dilarang (pasal 4 –
pasal 16)
2.
Kegiatan yang dilarang (pasal 19 – pasal
24)
3.
Posisi dominan (pasal 25 – pasal 29)
Perjanjian
yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam
bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya
persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[2].
Larangan kartel dinyatakan dalam
pasal 11, dimana dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
D. Pembahasan
Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama, terdapat
konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga.
Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi
konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan
diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu
adanya kompromi diantara anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari
anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil[3].
Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di
dalam perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung
di dalam pasar tersebut. Karena apabila hanya sebagian kecil saja
pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian
kartel
tidak akan efektif dalam mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan
pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat
di dalam perjanjian kartel[4].
Kartel lahir
pada struktur pasar dengan pelaku usaha yang oligopoli, dimana hanya terdapat
beberapa pelaku usaha. Dengan keterbatasan pelaku usaha maka para pelaku usaha
dimungkinkan melakukan berkolaborasi untuk menentukan harga produk dan jumlah
produksi. Dengan jumlah pelaku usaha yang tidak banyak maka para pelaku usaha
akan lebih mudah bersatu dan menguasai pasarnya[5].
Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di
dalam perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung
di dalam pasar tersebut. Karena apabila hanya sebagian kecil saja
pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian
kartel
tidak akan efektif dalam mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena
kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha
yang tidak terlibat di dalam perjanjian kartel[6].
Untuk menentukan
terjadinya ketidakseimbangan yang terjadi antara pelaku usaha dan masyarakat
dalam kartel, dapat dilakukan dengan pendekatan secara rule of reason. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan
yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi
mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah
suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung
persaingan.
Secara terminologi formil, biasanya dalam redaksional ayat-ayat dalam
undang-undang tersirat dari kalimat “... yang dapat mengakibatkan ....”[7]. Oleh
karena dalam kartel tertulis “yang dapat mengakibatkan” maka dalam penentuan
karakteristik kartel harus melalui evaluasi sebelum dinyatakan mengganggu
keseimbangan kepentingang ekonomi pelaku usaha dengan masyarakat.
Pasar perbankan
di Indonesia sifatnya heterogen yaitu terdapat banyak pelaku usaha yang
melakukan usaha perbankan. Semakin banyak pelaku usaha maka semakin baik
persangan usaha yang terjadi dalam pasar tersebut. Tercatat sekitar 4 (empat)
bank persero yang dimiliki negara, 35 (tiga puluh lima) bank swasta nasional devisa,
15 (lima belas) bank campuran, 10 (sepuluh) bank asing, 26 (dua puluh enam)
bank pembangunan daerah, 30 (tiga puluh) bank swasta nasional non devisa[8] dan 1644
(seribu enam ratus empat puluh empat)[9].
Ini belum termasuk bank syariah dan unit syariah yang juga bertindak sebagai
pelaku usaha dalam dunia perbankan di Indonesia. Dengan ribuan bank yang
berkecimpung dalam dunia perbankan di Indonesia menunjukkan bahwa karakteristik
pasar perbankan di Indonesia bukanlah pasar yang sifatnya oligopoli melainkan
pasar yang heterogen.
Pada
umumnya kartel
dilakukan oleh asosiasi
dagang bersama dengan anggotanya. Melalui asosiasinya, para pelaku usaha yang berhimpun dalam
suatu asosiasi akan menyusun standardisasi antarsesama pelaku usaha dalam
memudahkan kegiatan usaha mereka[10]. Asosiasi tersebut membuat suatu aturan bahkan
disahkan oleh negara untuk
memudahkan pelaku-pelaku usaha yang memiliki kedekatan dengan pemerintah selaku
perpanjangan tangan dari negara. Aturan-aturan yang disepakati bersama itu dapat
mempengaruhi keseimbangan
produksi dan pemasaran yang ujungnya bermuara pada harga yang tidak wajar oleh
karena hukum pasar.
Dunia
perbankan di Indonesia memiliki badan pengawas sekaligus pengatur yaitu Bank
Indonesia. Bank Indonesia bertugas tidak hanya melakukan supervisi akan tetapi
juga melakukan pengaturan terhadap bank-bank yang melakukan operasional di
Indonesia. Tujuan dari tugas Bank Indonesia ini adalah untuk mencapai
kestabilan nilai tukar rupiah yang bermuara pada kestabilan perekonomian
Indonesia.
Bank
Indonesia memiliki kewenangan menentukan tingkat suku bunga maksimal yang
dipergunakan untuk semua bank dibawah pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia.
Dalam mengatur modal dari dana pihak III, Bank Indonesia menetapkan tingkat
suku bunga setiap bulannya untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia
secara makro. Dalam pasal 43 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004, dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan
dilaksanakan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk menetapkan kebijakan
umum dalam bidang monoter[11]. Dewan
Gubernur Bank Indonesia beranggota Gubernur Bank Indonesia dan 4 (empat) orang
Deputi Gubernur, bukan beranggotakan para pelaku usaha dari pasar perbankan di
Indonesia.
Kedudukan
Bank Indonesia dalam hal ini bukanlah sebagai suatu asosiasi yang merupakan
perkumpulan dari para pelaku usaha di bidang perbankan. Bank Indonesia
merupakan lembaga berbadan hukum yang memiliki hak dan kewenangan untuk
mengatur dan mengawasi dunia perbankan di Indonesia. Bank Indonesia dalam
melakukan pengawan dan pengaturan, bertindak berdasarkan Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-undang. Segala perbuatan dan kewenangan tentang pengawasan dan
pengaturan perbankan dilakukan atas legitimasi yang diakui secara yuridis
formil.
Tingkat
suku bunga atau sering disebut BI Rate
berdasarkan data yang dipublikasikan pada Biro Pusat Statistik[12],
tersurat bahwa sejak Januari 2010 hingga Desember 2012
menunjukkan kecenderungan terus turun. Pada Januari 2010, BI Rate berada di angka 6,5% (enam lima
persepuluh persen) sedangkan pada Desember 2012 tercatat berada di angka 5,75
(lima tujuh puluh lima perseratus persen). Kenaikan BI Rate hanya terjadi pada bulan Februari hingga Oktober 2011, dimana
angka BI Rate ditetapkan oleh Bank
Indonesia pada angka 6,75% (enam tujuh puluh lima perseratus persen). Kondisi
penururan BI Rate yang terjadi sejak
Januari 2010 hingga Desember 2012 ini menunjukan bahwa modal dari dana pihak
III yang dihimpun oleh bank-bank dari masyarakat selalu ditekan oleh Bank
Indonesia. Tujuan dari hal ini adalah memberikan keseimbangan keuntungan dari
pelaku bisnis
perbankan dengan masyarakat umum.
Penurunan
bunga atas modal dari pihak III ini juga berbanding lurus dengan penurunan suku
bunga pinjaman atau kredit. Berdasarkan statistik dari Biro Pusat Statistik[13],
Januari 2010 tingkat suku bunga kredit untuk semua segmen dan semua perbankan
berada di kisaran 11,34% (sebelas tiga puluh empat perseratus persen) sampai
dengan 16,32% (enam belas tiga puluh dua perseratus persen). Pada Desember
2012, tingkat suku bunga tersebut berada di kisaran 9,47% (sembilan empat puluh
tujuh perseratus persen) sampai dengan 13,78% (tiga belas tujuh puluh delapan
perseratus persen).
Hal
ini menunjukan bahwa dunia perbankan tidak bersepakat antarbank untuk
merekayasa permintaan kredit akan tetapi berkompetisi atau bersaing secara
sehat. Suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia, ditata kelola oleh
bank-bank menjadi suatu produk kredit yang beragam tingkat suku bunganya.
Fungsi intermediasi bank sebagai perantara proses pembayaran dari debitur
kepada nasabah penyimpan dilaksanakan dengan perhitungan finansial
masing-masing internal bank.
Hukum
pasar yang berlaku secara umum adalah apabila permintaan barang meningkat tanpa
diimbangi dengan pemasaran yang banyak atau sedikit maka akan menciptakan harga yang tinggi atas
barang tersebut. Keadaan ini direkayasa oleh pelaku usaha untuk menciptakan
keadaan tidak seimbang antara masyarakat dan pelaku usaha. Harga yang meningkat
memberikan keuntungan yang tidak wajar kepada pelaku usaha sedangkan di pihak
masyarakat harus menambah pengeluaran. Dalam praktek kartel,
para pelaku usaha melakukan kerjasama secara horizontal untuk menentukan dan
menetapkan harga dan jumlah produksi dalam pasarnya.
Secara
makro, pelaku usaha dalam hal ini hanya meningkatkan kesejahteraannya sendiri
tanpa memperhatikan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat secara umum dan
luas. Pelaku usaha juga menciptakan keadaaan yang tidak kondusif dengan rekayasa
pasar. Keuntungan yang menjadi tujuan akhir pelaku usaha dalam
kartel. Masyarakat
harus mengeluarkan pengeluaran lebih untuk suatu barang kebutuhan yang secara
faktor produksi tidak mengalami kenaikan biaya produksi secara signifikan.
Dunia perbankan Indonesia
berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia 2012[14],
keuntungan perbankan secara makro naik sebesar 23,7% (dua puluh tiga tujuh
persepuluh persen) dari tahun sebelumnya. Keuntungan tersebut bukan hanya dari
bunga kredit (sebesar 51,9% [lima puluh satu sembilan perepuluh persen]) akan
tetapi dari pendapatan operasional non bunga sebesar 23,3% (dua puluh tiga tiga
persepuluh persen), pendapatan nonoperasional sebesar 4,1% (empat satu
persepuluh persen), pendapatan dari surat berharga sebesar 6,3% (enam tiga
persepuluh persen) dan pendapatan lainnya sebesar 14,4% (empat beas empat
persepuluh persen). Peningkatan pendapatan ini justru dibukukan ketika suku
bunga kredit menurun sebesar 0,68% (enam puluh delapan perseratus persen).
Dunia perbankan tidak meningkatkan pendapatannya ketika bunga kredit naik akan
tetapi tetap tumbuh ketika suku bunga kredit diisukan sebagai bentuk kartel
dalam dunia perbankan di Indonesia.
E. Kesimpulan
Praktek
monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan.
Keadaan seimbang ini berlaku antara rakyat dengan pelaku usaha dan antarpelaku
usaha itu sendiri. Kepentingan pelaku usaha untuk menguntungkan diri sendiri
semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan rakyat untuk hidup
sejahtera. Semua kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar
dalam pencapaian kesejahteraan rakyat apabila dilakukan secara berdasarkan asas
keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Karakteristik
perbankan di Indonesia sifatnya
heterogen dan diawasi oleh suatu badan hukum yang dibentuk oleh undang-undang
yaitu Bank Indonesia. Penentuan
aturan dilakukan
oleh Bank Indonesia bukan dilakukan oleh suatu asosiasi yang terdiri dari para pelaku usaha yang
biasa dilakukan dalam praktek
kartel. Penentuan aturan yang diawasi dan diatur yang
seharusnya menjadi penyeimbang dari kegiatan ekonomi antara pelaku usaha dan
masyarakat yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Penentu kebijakan dapat
sungguh fokus mencapai tujuan mensejahterakan rakyat dengan menggunakan asas
keseimbangan.
Kecendrungan penurunan suku bunga yang dilakukan dunia
perbankan menunjukkan bahwa dunia perbankan tetap memperhatikan keseimbangan
kepentingan antara bank selaku pelaku usaha dengan masyarakat. Peningkatan
pendapatan yang dibukukan oleh dunia perbankan tidak hanya dengan menggerus
atau mengalihkan keuntungan dari masyarakat kepada sebesar-besarnya keuntungan
perbankan di Indonesia.
F. Daftar
Pustaka
Andi Fahmi Lubis
dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks
dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009, halaman 107
Ditha
Wiradiputra, Perjanjian Dilarang,
Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2008
Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende: Nusa Indah,
1994
Mustafa
Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha
(Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3817
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berhubungan dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-undang
http://bank-id.blogspot.com/2011/08/daftar-bank-sentral-bumn-dan-swasta-di.html,
tanggal akses: 01 Juni 2013
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/EA0E9CE7-48EE-4C1B-A326-32E5F0C602A5/28812/LPI2012Finaledit12042014.pdf,
halaman 147
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Keuangan+Publikasi+Bank/Alamat+Bank/
Alamat+bpr/rekap.htm, tanggal akses: 01 Juni 2013
http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Agenda+Kegiatan+BI/Rapat+Dewan+Gubernur/,
tanggal akses: 01 Juni 2013
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=13¬ab=16,
tanggal akses: 10 April 2013
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/05/24/mnau0h-kartel-perbankan-diharap-segera-berakhir-bila-ingin-bersaing,
tanggal akses: 01 Juni 2013
[1] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/05/24/mnau0h-kartel-perbankan-diharap-segera-berakhir-bila-ingin-bersaing,
tanggal akses: 01 Juni 2013
[2] Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2008
[3] Andi
Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha
dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009,
halaman 107
[4] Ibid
[5] Ibid, halaman 106
[6] Ibid
[7] Ibid halaman 56
[8] http://bank-id.blogspot.com/2011/08/daftar-bank-sentral-bumn-dan-swasta-di.html,
tanggal akses: 01 Juni 2013
[9] http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Keuangan+Publikasi+Bank/Alamat+Bank/
Alamat+bpr/rekap.htm, tanggal akses: 01 Juni 2013
[10] Mustafa
Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha
(Teori dan Praktiknya di Indonesia), Jakarta: Rajawali Pers, 2010, halaman
105
[11] http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Agenda+Kegiatan+BI/Rapat+Dewan+Gubernur/,
tanggal akses: 01 Juni 2013
[12] http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=13¬ab=16,
tanggal akses: 10 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar