Selasa, 26 Maret 2013

Antara Birokratis dan Ekonomis Trans Musi

Banyak pemberitaan tentang penggunaan smart card untuk pembayaran jasa Trans Musi yang negatif. Penumpang yang harus beralih ke angkutan umum karena tidak membawa uang lebih untuk membeli smart card. Penumpang yang tidak kebagian smart card karena persediaannya sudah habis sehingga tidak dapat menggunakan jasa Trans Musi. Seharusnya orang dipermudah untuk menggunakan mass public transport tapi di Palembang justru kebalikannya.

Tidak perlu jauh-jauh untuk studi banding, cukup pergi ke Singapura. Kita dapat melihat bagaimana sistem pembayaran yang digunakan. Setiap penumpang diperkenankan membayar menggunakan karcis ataupun dengan smart card. Penggunaan smart card tentunya akan lebih murah atau mendapatkan diskon daripada membayar menggunakan karcis. Hal ini mendorong penumpang untuk menggunakan smart card dan terus-menerus menggunakan mass public transport yang berujung berkurangnya kemacetan dan polusi udara.

Sumber: http://organda-indonesia.blogspot.com/2013/01/10-bus-di-ibukota-negara-di-dunia.html
Penumpang tidak dipaksa menggunakan smart card dan memberikan pilihan kepada penumpang yang cerdas  ekonomi. Penumpang yang sering menggunakan mass public transport tentunya akan memilih smart card dan penumpang kambuhan tentunya akan membeli karcis. Penyelenggara menggunakan pendekatan ekonomis ketimbang birokratis. Trans Musi yang dikelola oleh perusahaan menggunakan pendekatan birokratis ketimbang ekonomis, sehingga tidak menjadi massal seutuhnya.

Selain itu, biaya yang dikenakan tidak sebanding dengan fasilitas yang didapat. Penumpang masih tetap berbagi jalan dengan kendaraan lain karena tidak ada jalur khusus. Harga jasa Trans Musi tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan. Waktu yang saya tempuh dari Terminal Alang-alang Lebar ke Palembang Trade Center pada hari libur dapat mencapai 40an (empat puluhan) menit. Jika saya menggunakan motor, jarak itu ditempuh dalam waktu 20an (dua puluhan) menit. Secara ekonomi hal ini kurang efisien dan efektif.

Sumber : http://www.klialcct-limo.com/information-11-KUALA%20LUMPUR%20PUBLIC%20TRANSPORT.htm

Untuk hal ini mungkin dapat belajar ke Malaysia, dimana saya pernah menumpang mass public transport yang menggunakan sistem 1 day 1 ticket. Kita hanya membayar satu kali dalam sehari untuk melakukan perjalanan menggunakan mass public transport yang sama tanpa perlu membayar lagi. Hanya dengan menunjukan tiket yang saya beli sebelumnya, saya dapat menggunakan semua rute yang tersedia. Jika tiket hilang barulah saya harus membayar kembali. Harga tiket itu hanya 2RM (dua Ringgit Malaysia) atau sekitar Rp. 7.000,- (tujuh ribu Rupiah). Dalam 1 (satu) hari saya dapat turun naik mass public transport sebanyak 4 (empat) kali hanya dengan membayar Rp. 7.000,- (tujuh ribu Rupiah). Bandingkan jika saya menggunakan Trans Musi, uang yang harus saya keluarkan adalah Rp. 16.000,- (enam belas ribu Rupiah). Mass public transport tetangga kita lebih ramah dan peka terhadap kebutuhan penumpang di sana. Saya pun jika ada seperti itu di Palembang tentu akan menggunakan mass public transport ketimbang kendaraan pribadi.

Pendekatan ekonomis jauh yang dilakukan oleh tetangga kita lebih baik ketimbang pendekatan birokratis. Penumpang diberikan pilihan yang cerdas diajarkan oleh tetangga kita bukan dipaksa seperti yang diajarkan oleh penyelenggara di sini. Jika mass public transport sudah merakyat tentunya efek dominonya pada berkurangnya kemacetan, berkurangnya polusi, biaya perawatan jalan menjadi rendah, dan pendapatan asli daerah lebih meningkat. Tentunya hal positif ini juga berdampak negatif bagi perusahaan otomotif, perusahaan pembiayaan, kontraktor jalan yang tergerus pendapatannya.

Dilema yang kita pilih adalah tidak perlu merakyat akan tetapi "menguntungkan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar