Jumat, 29 Juli 2011

Etika Pelacur Jabatan

Politik dan Hukum. Kata yang sering kita dengar dan baca akhir-akhir ini. Maklum berbagai isu politik selalu mengaitkan hukum untuk menjadi jalan keluar. Selalu yang terucap dalam para politisi adalah penyerahan semua masalah kepada hukum. Padahal masalah politik tidak harus diselesaikan dengan hukum.

Anggota parlemen Amerika Serikat dari Oregon, David Wu, tanggal 26 Juli 2011 mengundurkan diri akibat mengadakan hubungan seks dengan seorang wanita berumur 18 tahun. Padahal wanita yang merupakan anak dari pendonor kampanye Wu, tidak cukup bukti untuk menyeret Wu ke meja hijau. Akan tetapi Wu mengundurkan diri demi kehormatan dan nama baik keluarga. Sebelumnya Anthony Weiner, anggota konggres dari Partai Republik mengundurkan diri karena skandal foto cabulnya di ratron.

Banyak juga kita dengar pejabat di luar sana yang mengundurkan diri karena terjadi sesuatu yang dianggap tidak baik. Padahal yang mereka lakukan belum tentu kriminal. Mengirim foto cabul kita bukan kejahatan hanya pelanggaran. Tapi dengan jiwa besar, mereka mengundurkan diri. Mereka merasa tidak pantas memakan uang rakyat hanya untuk melakukan perbuatan yang konyol.

Di Indonesia, pejabat yang dituduh melakukan kejahatan balik menuduh fitnah kepada orang yang menuduhnya. Bahkan menuntut balik orang yang menuduhnya. Menunggu waktunya menjadi tersangka bahkan terdakwa untuk melepaskan semua jabatan berikut fasilitasnya. Bahkan tetap memutuskan sesuatu dari dalam jeruji besi. Mengerahkan massa untuk mencipatakan opini publik bahwa sebenarnya pelacur jabatan yang tersandung kasus merupakan orang baik. Bahkan massa yang dikerahkan mengusung agama tertentu untuk melihat sisi ketuhanannya.

Hukum selalu dijadikan kambinghitam atas setiap permasalah politik. Tidak cukup bukti akhirnya semuanya harus dihentikan. Hukum selalu bermain dan tidak akan mungkin melakukan pelanggaran bahkan kejahatan minta disaksi oleh banyak saksi. Selalu dilakukan dengan meniadakan barang bukti.

Mungkin seharusnya dalam undang-undang pemilu dan partai politik sebaiknya ditambahkan pasal tentang ujian psikologi untuk seseorang sebelum dilakukan proses kaderisasi. Orang yang secara psikologisnya tidak memiliki rasa melayani tinggi, rasa kebangsaan yang tinggi, dan berjiwa besar tidak dapat diterima sebagai anggota parti politik.

Lebih baik turun dengan kepala tegak dibandingkan diturunkan dengan kepala tertunduk. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api. Tidak ada busuk tanpa ada bangkai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar