Pada prinsipnya wasiat merupakan
kemauan terakhir dari seseorang sebelum meninggal dunia. Kemauan terakhir
tersebut hanya dapat ditarik kembali oleh orang yang membuatnya. Wasiat juga dibatasi
oleh perintah undang-undang melalui lembaga “legitime portie”. Pemberian wasiat dapat di-inkorting dengan lembaga “legitime
portie” apabila pemberian wasiat melanggar kepentingan atau hak dari ahli
waris yang memiliki hak legitime portie.
Tidak seperti ahli waris dan penerima
hibah yang dapat dibatalkan apabila ahli waris atau penerima hibah membunuh
pewaris atau pemberi hibah menurut pasal 838 berhubungan dengan pasal 1688 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Dalam wasiat tidak diatur mengenai hal tersebut,
di mana hanya dinyatakan batal untuk menikmati wasiat dari pewasiat kepada
penerima wasiat yang memusnahkan atau memalsukan surat wasiat serta orang yang
dengan paksaan dan kekerasan menghalangi seseorang mencabut atau mengubah surat
wasiat yang telah dibuat (pasal 912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Wasiat
sering disebut juga sebagai hibah wasiat karena dimungkinkan bagi pewasiat
memberikan syarat untuk pelaksanaan wasiat tersebut seperti hibah. Pewasiat
dapat menyatakan kemauan terakhirnya dalam syarat-syarat tertentu seperti
wasiat yang diberikannya akan batal apabila penerima wasiat melakukan kejahatan
terhadap dirinya.
Jadi, penerima wasiat yang membunuh
pewasiat tidak serta merta menjadi batal demi hukum untuk menerima wasiat akan
tetapi syarat batal tentang batalnya surat wasiat karena penerima wasiat
membunuh pewasiat tersebut hendaknya dinyatakan dalam surat wasiat yang
pelaksanaanya mengikat penerima wasiat dan pihak lain setelah pewasiat
meninggal dunia.