Minggu, 24 November 2013

PELAKSANAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DALAM JUAL BELI HAK ATAS TANAH OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI PALEMBANG


A.      Pendahuluan
Pada zaman pemerintahan Belanda terdapat pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta Tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria[1], terdapat hak-hak kebendaan yang tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA. Dengan demikian, sejak diundangkannya UUPA, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lag
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan[2].
Secara khusus pembentuk undang-undang, memberikan kekuatan mengikat kepada seluruh rakyat Indonesia tentang BPHTB dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) dan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988).
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), pengaturan mengenai BPHTB tidak secara khusus diatur dalam satu undang-undang. Melalui undang-undang ini juga, pengaturan mengenai BPHTB dialihkan pemungutannya kepada pemerintah kabupaten atau kota per 01 Januari 2010. Kota Palembang sendiri baru memiliki peraturan khusus mengenai BPHTB sejak 01 Januari 2011 melalui Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011[3].
Pejabat pembuat akta tanah[4] selaku pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta mengenai perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah juga wajib melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut khususnya peraturan daerah kota Palembang tersebut bagi PPAT yang memiliki wilayah kerja di kota Palembang.

B.       Permasalahan
            Berdasarkan uraian pendahuluan tersebut di atas, terdapat suatu permasalahan, bagaimana pelaksanaan BPHTB dalam jual beli hak atas tanah oleh PPAT di Palembang?

C.      Tinjauan Pustaka
            Pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik dengan tidak ada kontraprestasinya, yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu sasaran pemajakan yang karena undang-undang menimbulkan utang pajak[5].
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontrapretasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum[6].
Dari pengertian pajak tersebut, tersurat 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu[7]:
1.    Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang (jika tidak maka lebih tetap disebut perampokan [taxation without representation is a robbery]);
2.    Sifatnya dapat dipaksakan (oleh negara);
3.    Tidak ada kontraprestasi  (imbalan) langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar pajak;
4.     Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah (bukan swasta) baik di pusat maupun di daerah;
5.    Penggunaan pajak untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan oleh pemerintah bagi kepentingan masyarakat umum
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan, yaitu:
1.  pemindahan hak karena jual beli; tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; atau hadiah.
2.  pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak; atau di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah:
1.  hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak milik atas satuan rumah susun; dan
6.  hak pengelolaan.
            Subjek hukum dalam BPHTB adalah waji pajak orang perorangan dan/atau badan yang memperoleh hak atas tanah melalui perbuatan hukum dan peristiwa hukum.
Dalam BPHTB, tarif pajak yang dikenakan adalah paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Kota Palembang dalam Perda 2011, ditetapkan tarif BPHTB sebesar 5% (lima persen).  
            Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun.
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
1.  Jual beli;
2.  Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7. Pemberian Hak Tanggungan;
8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

D.      Pembahasan
            Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak yaitu berupa harga transaksi dan nilai pasar. Perbuatan hukum jual beli dan pembelian melalui lelang menggunakan nilai perolehan objek pajak berupa harga transaksi. Selain jual beli dan pembelian melalui lelang digunakan nilai perolehan objek pajak berupa nilai pasar.
            Nilai pasar diartikan sebagai suatu estimasi jumlah uang pada tanggal penilaian yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui, bertindak hati-hati dan tanpa paksaan. Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang disetujui pembeli untuk dibayarkan dan disetujui penjual untuk diterima di saat tertentu dan melalui mekanisme pasar yang wajar[8].
            Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak Daerah[9]. Seorang PPAT tidak dapat meligitimasi perbuatan hukum pemindahan hak tanpa diselesaikannya BPHTB. Harga transaksi yang merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang tunduk pada pasal 1320 dan pasal 1338 Kitb Undang-undang Hukum Perdata. Oleh karena kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli maka sistem perpajakan yang digunakan dalam pemungutan BPHTB adalah sistem self assessment. Wajib pajak yaitu pembeli pada prinsipnya diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya dalam rangka BPHTB.
            Dalam sistem self assessment, wajib pajak hanya boleh menghitung pajak terutang dan melaporkannya kepada aparatur pajak yang diperkenankan untuk menentukan kebenaran dari perhitungan pajak wajib pajak. Apabila harga transaksi tidak diketahui maka dasar pengenaan pajak yang digunakan dalam BPHTB adalah Nilai Jual Objek Pajak[10] dalam Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini juga tersurat dalam halaman www.dispenda.palembang.go.id, yang mensyaratkan dokumen pendukung dalam pembayaran BPHTB yaitu berupa:
1.    Fotocopy identitas wajib pajak
2.    Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun berjalan
3.    Fotocopy sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional
4.    Surat Kuasa dan fotocopy identitas penerima kuasa (apabila dikuasakan)
5.    Dokumen pendukung lainnya
            Sebelum dilakukan transaksi, PPAT melakukan pelaporan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang[11] melalui sistem on-line. Dalam proses ini, PPAT mengunduh data mengenai objek BPHTB yang akan dilakukan proses jual beli melalui kantornya. Pihak Dispenda selaku aparatur pajak dalam hal verifikasi tersebut secara de facto dapat menganulir kesepakatan penjual dan pembeli dalam menentukan harga transaksi. Harga transaksi yang disepakati oleh penjual dan beli dapat dikoreksi oleh Dispenda selaku apartur pajak. Akan tetapi proses proses koreksi tidak mengunakan Surat Ketetapan Pajak[12] sebagai bentuk representasinya. Kedudukan Dispenda dalam hal ini dianggap sebagai pihak yang turut memiliki kepentingan dalam suatu jual beli. Kesepakatan harga transaksi tidak hanya ditentukan oleh pihak penjual dan pembeli akan tetapi juga oleh aparatur pajak dalam hal ini Dispenda.
Pada prinsipnya aparatur pajak dapat menerbitkan SKP sebagai bentuk koreksi atas perhitungan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak merupakan alat paksa untuk wajib pajak agar melakukan kewajiban pajak sesuai data yang akurat dan terkini, karena wajib pajak pada umumnya menginginkan jumlah pajak yang terutang dalam BPHTB sekecil mungkin bahkan nihil.
Apabila Dispenda telah menerbitkan SSPD maka PPAT akan turut menandatangani surat tersebut. Kedudukan PPAT dalam surat tersebut tidak begitu jelas seperti Dispenda sebagai pihak yang berwenang melakukan verifikasi. Kedudukan PPAT bukanlah sebagai pihak yang mengetahui atau menyetujui harga transaksi tersebut.
Setelah dilakukan dilakukan pembayaran BPHTB yang telah diverifikasi oleh Dispenda dan ditandatangani oleh PPAT, pembeli akan membayar sejumlah uang yang tersebut dalam SSPD melalui Bank Sumselbabel. Setelah dilakukan pembayaran, akan diterbitkan Bukti Bayar BPHTB yang menjadi dasar bagi PPAT untuk mengunduh harga transaksi sebagaimana tertera dalam SSPD dalam Akta PPAT.
Apabila PPAT menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tanpa menyerahkan bukti pembayaran wajib pajak berupa SSPD akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap pelanggaran.

E.       Penutup
Keterlibatan PPAT pada pelaksanaan BPHBT dalam jual beli dimulai sejak kesepakatan harga transaksi. Verifikasi BPHTB dilakukan oleh penjual dan pembeli melalui PPAT yang memiliki akses on-line kepada Dispenda. Seorang PPAT juga turut menandatangani SSPD sebagai dasar PPAT untuk membuat Akta PPAT.
Dalam menentukan harga transaksi, Dispenda tidak melakukannya berdasarkan NJOP dalam Pajak Bumi dan Bangunan, akan tetapi harga transaksi ditentukan oleh Dispenda selaku aparatur pajak tanpa menggunakan suatu representasi tertulis yang dapat menjadi alat paksa kepada wajib pajak. Jika memang tidak menggunakan mekanisme sesuai dalam Perda, maka seharusnya PPAT diberikan suatu insentif atas bantuannya memunggut pajak daerah yang melebihi apa yang tertulis dalam NJOP pada Pajak Bumi dan Bangunan. Jika dilakukan dengan SKP yang tertulis maka kedudukan PPAT bukan sebagai agen pembayaran aparatur pajak, akan tetapi hanya melakukan proses agen administrasi aparatur pajak.

F.       Daftar Pustaka
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama, 1998

Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2001

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;

Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,


http://www.dispenda.palembang.go.id, tanggal akses 23 November 2013




[1]Selanjutnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditulis “UUPA”
[2]Selanjutnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditulis “BPHTB”
[3]Selanjutnya Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditulis “Perda 2011”
[4]Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya ditulis “PPAT”
[5]R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama, 1998, halaman 3
[6]Ibid. halaman 5-6
[7]Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2001, halaman 5
[9]Surat Setoran Pajak Daerah selanjutnya ditulis “SSPD" adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota
[10]Nilai Jual Objek Pajak selanjutnya ditulis “NJOP”
[11]Selanjutnya Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang ditulis “Dispenda”
[12]Selanjutnya Surat Ketetapan Pajak ditulis “SKP”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar