A. Kasus Posisi
Komisi Pengawas Persaingan
Usaha atau KPPU, memutuskan telah terjadi persekongkolan dalam tender proyek
pembangunan dua gedung di Rumah Sakit Umum Sulawesi Tenggara dan memberikan
denda kepada dua kontraktor yang terlibat. Kedua kontraktor yang menjadi
terlapor adalah PT Waskita Karya dan PT Adhi Karya. Di samping itu, Panitia
Pengadaan Barang/Jasa APBD (Pengadaan Jasa Konstruksi/Konsultan) Lingkup Rumah
Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2011 juga menjadi terlapor
dalam dugaan persekongkolan ini. Selain
itu KPPU menjatuhkan denda kepada Waskita Karya dan Adhi Karya. Sebagaimana
diketahui, pada 2011 Rumah Sakit Umum (RSU) Sulawesi Tenggara melakukan tender
dalam proyek pembangunan Standard dan Non Standar Gedung Perawatan Kelas I dan
VIP atau Gedung Perawatan, serta tender pembangunan Standard dan Non Standar
Gedung Pelayanan di rumah sakit tersebut. Dalam paket gedung perawatan dan gedung
pelayanan terdapat masing-masing 6 (enam) perusahaan yang menjadi peserta
tender. Dari proses ini, majelis menyatakan telah terjadi persekongkolan
horizontal antara kedua perusahaan dan persekongkolan vertikal antara keduanya
dengan panitia tender. Dicapai kesepakatan untuk memenangkan paket yang
diinginkan, sehingga majelis menilai kedua perusahaan mengatur tinggi rendahnya
nilai penawaran yang diajukan[2].
B. Permasalahan
Berdasarkan kasus posisi tersebut
di atas timbul suatu pertanyaan, bagaimana persekongkolan tender dalam praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat di Indonesia?
C. Tinjauan Pustaka
Larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia diatur dalam
Undang-undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-undang yang diumumkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 ini diundang untuk
mencapai tujuan luhurnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.
Mencegah
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
d.
Terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dalam rangka
mencapai tujuan luhurnya tersebut, undang-undang yang berlaku positif sejak 05
Maret 2000 ini menganut asas keseimbangan yang dinyatakan dalam pasal 2, yaitu negara dan pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan ekonomi harus
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 angka 5, adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Sesuai dengan
judul undang-undang yaitu “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”, undang-undang ini mengelompokan pelarangan menjadi 3 (tiga) jenis
yaitu:
1.
Perjanjian yang dilarang (pasal 4 –
pasal 16)
2.
Kegiatan yang dilarang (pasal 19 – pasal
24)
3.
Posisi dominan (pasal 25 – pasal 29)
Perjanjian
yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam
bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya
persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[3].
Larangan persekongkolan dinyatakan
dalam pasal 22 – pasal 24, akan tetapi khusus untuk persekongkolan tender
diatur dalam pasal 22, yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol
dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
D. Pembahasan
Pada umumnya dalam persekongkolan terdapat suatu karakteristik yang khusus
yaitu terdapat sedikitnya 2 (dua) pelaku usaha yang saling bekerja sama
melakukan perbuatan melawan hukum. Para pelaku usaha yang terlibat dalam
persekongkolan akan mengadakan perjanjian yang sifatnya rahasia dengan tujuan
yang sifatnya konotatif atau negatif[4].
Persekongkolan
dalam hukum internasional disebut sebagai conspiracy.
Persekongkolan tender diidentikan sebagai kolusi karena[5]:
1.
bekerja sama
dengan pemerintah yang merupakan pusat dari regulasi kekuasaan dari suatu
negara dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara;
2.
searah
pertumbuhan perusahaan dan konglomerasi yang sangat kuat dan besar;
3.
tidak banyak
orang yang memiliki kesempatan dan dapat mengembangak usaha besar;
4.
terdapat
kerjasama tertentu antara pemerintah dengan pelaku-pelaku usaha tertentu;
5.
kekuasaan
menjadi pusat bisnis (central of business)
sehingga kemajuan dan perkembangan sebuah usaha dari pelaku usaha sangat
dipengaruhi oleh pemerintah
Dari kasus
yang ditangani oleh KPPU selama tahun 6 (enam) tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012, sebanyak 97
(sembilan puluh tujuh) dari 173 (seratus tujuh puluh tiga) kasus atau 56% (lima
puluh enam persen) kasus diputuskan oleh KPPU sebagai kasis perkara yang
merupakan persekongkolan tender sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22. Dari 97
(sembilan puluh tujuh) perkara persekongkolan tender tersebut, total bernilai
sebesar kurang lebih Rp. 12.350.000.000.000,- (dua belas triliun tiga ratus
lima puluh milyar Rupiah). Sebanyak 75 (tujuh puluh lima) kasus sudah
diputuskan terjadi persekongkolan tender dengan nilai tender sebesar Rp.
8.600.000.000.000,- (delapan triliun enam ratus milyar Rupiah). Proyek-proyek tersebut merupakan gabungan dari
pelaku usaha swasta dan badan usaha milik negara dengan sumber pendanaan dari
anggaran pendapatan belanja negara sebanyak 28 (dua puluh delapan) kasus dan
anggaran pendapatan belanja daerah sebanyak 47 (empat puluh tujuh) kasus.
Bahkan dalam kurun waktu tersebut juga tercatat sebanyak 77% (tujuh puluh tujuh
persen) atau 164 (seratus enam puluh empat) laporan tertulis dari 212 (dua
ratus dua belas) laporan tertulis yang diterima KPPU adalah laporan
persekongkolan tender dan sisanya sebanyak 48 (empat puluh delapan) merupakan
laporan tertulis non tender[6].
Dari data
yang dipublikasikan oleh KPPU, tersurat bahwa persekongkolan tender sangat
mendominasi kasus-kasus persekongkolan dalam kurun waktu 6 (enam) tahun
terakhir. Nilai trilunan rupiah ini menyebabkan inefisiensi yang dilakukan
pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sangat menghambat pembangunan masyarakat khususnya dalam
penciptaan persaingan antarpelaku usaha yang sehat.
Tender secara yuridis formil melalui
penjelasan pasal 22, diartikan sebagai tawaran mengajukan harga untuk memborong
suatu pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, tender diperluas artinya menjadi tata cara pemilihan penyedia
barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia
barang/jasa yang terdaftar dengn cara menyampaikan sekali penawaran dalam waktu
yang tealah ditentukan. Secara lex
spesialis, tender dipersamakan dengan pelelangan.
Dalam tender tidak hanya terdapat unsur pelaku usaha saja akan tetapi
terdapat “pelaku lain”. Berdasarkan keterlibatan pelaku lain tersebut, maka terdapat
3 (tiga) bentuk persekongkolan, yaitu[7]:
1.
Bentuk pertama
adalah persekongkolan horizontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh
para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan
sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau
menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah
diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang atau
dengan mendapatkan sejumlah uang sebagai sesuai kesepakatan diantara para
penawar tender.
2.
Bentuk kedua adalah
persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut
dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini,
biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan
bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut.
3. Bentuk ketiga adalah persekongkolan horizontal dan vertikal, yakni persekongkolan
antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau
pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan
jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait
dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi
pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup.
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tender adalah memberikan kesempatan
yang sama bagi semua penawar, sehingga menghasilkan harga yang seminimal
mungkin dengan hasil yang semaksimal mungkin. Meskipun harga sangat minimal
atau murah bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan pemenang dalam pengadaan
barang atau jasa[8].
Mekanisme penawaran tender menganut asas yang sama praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yaitu asas keseimbangan. Tiap pelaku usaha yang
menjadi peserta tender memiliki kedudukan yang sama dalam mencapai
kepentingannya.
Untuk menentukan
terjadinya ketidakseimbangan yang terjadi antarpelaku usaha selaku peserta
tender, dapat dilakukan dengan pendekatan secara rule of reason. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan
yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi
mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah
suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung
persaingan.
Secara terminologi formil, biasanya dalam redaksional ayat-ayat dalam
undang-undang tersirat dari kalimat “... yang dapat mengakibatkan ....”[9]. Oleh
karena dalam persekongkolan tender tertulis “yang dapat mengakibatkan” maka
dalam penentuan karakteristik persekongkolan tender harus melalui evaluasi
sebelum dinyatakan mengganggu keseimbangan kepentingan ekonomi antarpelaku
usaha selaku peserta tender.
Kasus posisi bermula dari tender pembngunan standar dan
non standar gedung perawatan kelas I dan VIP dengan nilai sebesar Rp. 68.700.000.000,-
(enam puluh delapan milyar tujuh ratus juta Rupiah) dan pembangunan standar dan
non standar gedung pelayanan dengan nilai sebesar Rp. 91.913.000.000,-
(sembilan puluh satu milyar sembilan ratus tiga belas juta Rupiah), keduanya
dilaksanakan di Rumah Sakit Sulawesi Tenggara dengan tahun anggaran 2011. Setelah melalui proses tender, maka pada tanggal 02 Mei
2011, diputuskan bahwa pemenang tender pembangunan standar dan non standar gedung
perawatan adalah PT. Waskita Karya (Persero) dengan harga penawaran sebesr Rp.
66.712.000.000,- (enam puluh enam milyar tujuh ratus dua belas juta Rupiah).
Sedangkan pemenang tender pembangunan standar dan non standar gedung pelayanan
adalah PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dengan harga penawaran sebesar Rp. 89.510.000.000,- (delapan puluh sembilan
milyar lima ratus sepuluh juta Rupiah).
Dalam persidangan, KPPU menuduhkan terjadinya
persekongkolan secara horizontal antara PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT.
Adhi Karya (Persero) Tbk. Persekongkolan secara horizontal tersirat dari softcopy dokumen penawaran yang memiliki
tanggal yang sama yaitu 12 April 2010 pukul 08.48 dan penulis elektronik yang
sama yaitu “obleh”. Hal ini menunjukan bahwa PT. Waskita Karya (Persero) dengan
PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. telah memperoleh dokumen penawaran atau membuat
dokumen penawaran berasal dari sumber yang sama.
Dalam kasus ini terjadi juga
persekongkolan vertikal antara panitia tender dengan peserta tender. Terkait
harga satuan penawaran baik yang ditawar pada masing-masing paket pekerjaan itu
adalah hak para peserta tender, akan tetapi panitia tender tetap menyatakan sah
selama harga penawaran secara keseluruhan (total) tidak melebihi nilai yang
tersedia. Panitia tender juga tidak bisa mencampuri urusan permintaan surat
dukungan mengenai gas medik, kesemuanya diserahkan kepada para peserta tender,
yang penting surat dukungan tersebut ditandatangani oleh Direktur, sesuai
dengan dokumen tender. Panitia tender menggugurkan perserta tender lainnya
awalnya karena tidak ada brosur, lalu diralat karena surat dukungan gas medik
bukan ditandatangani oleh Direktur jadi menyalahi dokumen tender.
Majelis juga menetapkan terjadi
pemenuhan pasal 22 tentang persekongkolan tender dengan memenuhi unsur-unsur:
a. kerjasama
antara dua pihak atau lebih;
b. secara
terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan
peserta lainnya
c. membandingkan
dokumen tender sebelum penyerahan
d. menciptakan
persaingan semu
e. menyetujui
dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan
f. tidak
menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta
tender tertentu
g. pemberian
kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung
maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara
melawan hukum
Akhirnya majelis memutuskan bahwa
Panitia Tender, PT. Waskita Karya (Persero) dengan PT. Adhi Karya (Persero)
Tbk. telah memenuhi unsur persekongkolan dalam pasal 22. Hukuman untuk panitia
tender adalah tidak boleh melaksanakan tender dalam waktu 2 (dua) tahun, menghukum
PT. Waskita Karya (Persero) membayar denda sebesar Rp. 3.168.820.000,- (tiga
milyar seratus enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh ribu Rupiah) dan
menghukum PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. membayar denda sebesar Rp.
4.475.525.000,- (empat milyar empat ratus tujuh puluh lima juta lima ratus dua
puluh lima ribu Rupiah).
Secara formil putusan KPPU bukanlah
putusan lembaga peradilan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 01 K/KPPU/2002 tertanggal 30 Desember 2002 tersurat[10]:
1. bahwa
KPPU bukanlah badan hukum yang berwenang bertindak di muka pengadilan (standi in judictio) sehingga tidak dapat
menjadi pihak dalam suatu gugatan perdata
2. bahwa
KPPU bukanlah lembaga peradilan maka tidak memperoleh kewenangan secara khusus
dari peraturan perundang-undangan untuk memuat irah-irah
3. bahwa
dalam putusan KPPU telah melampaui kewenangannya sehingga putusannya cacat huku
dan oleh karenanya batal demi hukum
E. Kesimpulan
Praktek
monopoli dan persaingan usaha di Indonesia harus taat pada prinsip keseimbangan.
Keadaan seimbang ini berlaku antarpelaku usaha. Kepentingan pelaku usaha adalah
menguntungkan diri sendiri
semaksimal mungkin tidak boleh menggangu kepentingan ekonomi
antarpelaku usaha. Semua
kepentingan dapat bersinergi memberikan sumbangsih yang besar dalam pencapaian
kesejahteraan bersama berdasarkan asas keseimbangan yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
Karakteristik
persekongkolan yang sering terjadi dan dilakukan oleh para pelaku usaha adalah
persekongkolan tender. Persekongkolan ini dilakukan tidak hanya oleh
antarpelaku usaha akan tetapi juga melibatkan pihak pemerintah. Negara dalam
hal ini diwakili oleh KPPU memutuskan terjadinya persekongkolan antarpelaku
usaha dengan melibatkan panitia tender. Pelaku usaha dikenakan sanksi denda dan
panitia tender hanya berupa sanksi administratif. Panitia tender tidak ikut
menanggung kerugian ekonomi akibat perbuatannya.
Meskipun Indonesia telah memiliki KPPU, kecendrungan
persekongkolan tender tetap akan meningkat karena putusannya yang diuji melalui
rule of reason, tetap hanya sebagai
macan kertas.
F. Daftar
Pustaka
Andi Fahmi Lubis
dkk, Hukum Persaingan Usaha dalam Teks
dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009
Ditha
Wiradiputra, Perjanjian Dilarang,
Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2008
Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende: Nusa Indah,
1994
Marwah M. Diah dan Joni Emirzon, Aspek-aspek Hukum Persaingan Bisnis
Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi
Dominan yang Dilarang), Universitas Sriwijaya, 2003
Mustafa
Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha
(Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3817
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia, Perkara Nomor 04/KPPU-L/2012, tertanggal 25 April 2013
http://www.kppu.go.id/id/kppu-terdapat-persekongkolan-tender-di-proyek-rsu-sulawesi-tenggara-2/,
tanggal akses: 02 Juni 2013
http://www.kppu.go.id/id/86-triliun-nilai-persekongkolan-tender/,
tanggal akses: 02 Juni 2013
[1] Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Mario
Anthony Tedja - 02122502042 (penulis) pada blog http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/pelaku-usaha-dan-negara-dalam.html,
12 April 2013, 7:58AM
[2] http://www.kppu.go.id/id/kppu-terdapat-persekongkolan-tender-di-proyek-rsu-sulawesi-tenggara-2/,
tanggal akses: 02 Juni 2013
[3] Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2008
[4] Andi
Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha
dalam Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009,
halaman 147 - 148
[5] Mustafa
Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha
(Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010, halaman 165 - 166
[6] http://www.kppu.go.id/id/86-triliun-nilai-persekongkolan-tender/,
tanggal akses: 02 Juni 2013
[7] Andi
Fahmi Lubis dkk, Op. Cit., halaman
152
[8] Ibid., halaman 149
[9] Ibid halaman 56
[10] Marwah
M. Diah dan Joni Emirzon, Aspek-aspek
Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis
yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang), Universitas Sriwijaya,
2003, halaman 98