Kamis, 01 November 2012

Resume oleh Mario Anthony Tedja (02122502042) atas “Win-Win Solution Sebagai Prinsip Pemanfaatan Tanah Dalam Investasi Bidang Perkebunan Yang Mensejahterakan Rakyat” Oleh: Firman Muntaqo



Pancasila sebagai jiwa bangsa (volkgeist) yang melandasi secara idiil pembangunan hukum di Indonesia, termasuk juga pembangunan hukum investasi bidang perkebunan, sebagaimana tertuang dalam  sila tentang ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hukum digunakan sebagai sarana mencapai cita-cita bangsa yang termaktub dalam sila-sila tersebut di atas. Oleh karena Indonesia merupakan negara hukum maka dalam upaya mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus dibentuk peraturan yang lebih konkret. Penjabaran landasan idiil dalam sila-sila tersebut dicantumkan secara umum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Tugas negara dalam mewujudkan negara yang sejahtera (welfare state) diupayakan tanpa deharmonisasi jiwa bangsa yaitu dilakukan permusyawaratan atau dilakukan secara bersama (dari semua oleh semua dan untuk semua).
Indonesia sebagai negara agraria yang bercita-cita menjadi negeri yang makmur maka sistem perekonomian mestilah disusun sedemikian rupa untuk memperkuat kedudukan tanah sebagai faktor utama produksi. Peraturan pemilikan tanah harus memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat secara umum. Tugas negara juga membentuk peraturan yang berasaskan pemerataan pemilikan tanah (landreform) sebagai faktor produksi dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat.
Landasan konsep politik hukum agraria (politico legal concept) dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang dirumuskan lebih konkret oleh lembaga politik dalam pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria, di mana negara melalui lembaga pemerintah diberikan hak menguasai agraria sebagai bentuk dari hak tertinggi di bawah hak bangsa. Kenyataannya, pemerintah sarat dengan kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kesejahteraan dan kemakmuran berbeda orientasinya dengan jiwa bangsa. Perbedaan orientasi ini sangat signifikan mempengaruhi substansi peraturan investasi bidang perkebunan bahkan bertentangan dengan orientasi rakyat. Pengertian menguasai diartikan secara sempit sebagai pemilik padahal Negara sebagai organisasi seluruh rakyat fungsinya hanya mengatur, dan tidak berkedudukan sebagai pemilik, dan tanah sebenarnya milik rakyat, sehingga seharusnya dikuasai oleh rakyat melalui bentuk negara.
Meskipun legitimasi suatu negara berasal dari proses hukum dan politik, untuk dapat membentuk sistem hukum investasi bidang perkebunan yang harmonis, Indonesia yang rakyatnya sangat plural harus mencerminkan sistem hukum tumbuh (living law) dan berkembang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sistem hukum juga tidak tumbuh dari tawar menawar politik melainkan dari nilai-nilai dan asas-asas keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi cita-cita luhur bangsa. Sistem hukum yang harmonis dalam penerapannya tidak ada ketegangan yang berlebihan dan terdapat kerjasama antarfaktor yang menghasilkan kesatuan yang kuat dalam mencapai cita-cita luhur bangsa.
Sebagai negara berkembang, investasi dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan perekonomian guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penguasaan agaria khususnya tanah perkebunan untuk kepentingan investasi perlu melindungi kepentingan rakyat khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah agar tidak mengancam perwujudan cita-cita bangsa. Perlindungan hukum pada zaman globalisasi ini diidentikan dengan hak asasi manusia, sehingga perlindungan hukum adalah kesadaraan dan kepekaan dalam melindungi atau tidak mengganggu hak asasi manusia. Kewajiban negara melalui pemerintah untuk secara aktif dan berkesinambungan melindungi hak asasi manusia di bidang ekonomi khususnya invetasi perkebunan dituangkan dalam hukum positif. Perlindungan hukum yang berkeadilan, berkepastian bermanfaat, serasi dan seimbang antara masyarakat dan penanam modal sangat bermanfaat dalam menciptakan harmonisasi pengaturan hukum dalam kegiatan investasi bidang perkebunan.
Pemerintah harusnya merespon segala situasi dan kondisi yang terjadi yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi cita-cita bangsa yaitu welfare state. Pelaksanaan konsep kesejahteraan di Indonesia dilaksanakan melalui serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan masyarakat. Segala kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dalam dunia usaha dan civil society untuk mengatasi masalah sosial dan dalam rangka memenuhi rakyat yang sejahtera dan makmur.
            Kenyataannya sistem ekonomi Pancasila yang menjadi landasan idiil dilaksanakan dengan intervensi politik. Hak menguasai menjadi penyebab pengaturan diskriminatif bidang perkebunan, dalam bentuk pemihakan negara/pemerintah pada investor. Pemerintah yang mempunyai hak membentuk peraturan bukanlah lembaga yang kebal terhadap pengaruh sosial, budaya, politik, ekonomi dari berbagai kelompok dan kepentingan, terutama yang bermotif ekonomis. Secara de facto, pelaksanaan Hak Menguasai Negara lebih cenderung didasari tafsir bahwa, semua tanah di Indonesia adalah milik negara.
Pemanfaatan tanah bagi kegiatan penanaman modal bidang perkebunan sebagai pelaksanaan Hak Menguasai Negara, bertentangan dengan nilai keadilan, dan Hak Asasi manusia di bidang ekonomi tujuan pemanfaatan/penggunaan agraria/tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Distorsi mengenai pemaknaan hak menguasai negara mengakibatkan atau berpotensi diterbitkannya peraturan bagi penanaman modal atau investasi bidang perkebunan yang bertentangan dengan jiwa bangsa. Secara nyata dari distorsi ini adalah semakin banyaknya permasalahan tanah bidang perkebunan antara masyarakat dan penanam modal.
Oleh karena tanah memiliki multiple value dan sangat sulit untuk digantikan dengan benda yang lain, maka tanah bagi bagian besar rakyat Indonesia merupakan benda vital dan strategis. Tidak hanya rakyat, pemerintah pun memaknai tanah sebagai komoditas yang signifikan bagi peningkatan melalui pembangunan ekonomi di bidang penanaman modal.
Undang-undang Pokok Agraria tidak mengatur pemanfaatan tanah bagi penanaman modal di bidang perkebunanan sebagai objek landreform, maka pemerintah mempunyai landasan hukum untuk mengambil kebijakan yang memihak penanam modal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Penanaman Modal, seperti pengaturan tentang Hak guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara. Bentuk perlakuan yang berlebihan memihak terhadap penanam modal secara subtansial telah menggangu pencapaian cita-cita luhur bangsa. Mekanisme pengaturan jangka waktu dan perpanjangan di muka bagi hak atas tanah bagi investasi bidang perkebunan seakaan mengokohkan pemilik modal dan mencederai asas fungsi sosial hak atas tanah, dan sifat hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah, serta asas optimalisasi pemanfataatan hak atas tanah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Masyarakat terhalangi hak akses atas tanah perkebunannya dan hanya menjadi kelompok buruh perkebunan di tanah yang seharusnya miliknya sendiri.
Seharusnya, pemberian hak atas tanah kepada badan hukum harus tetap memberikan kesempatan pada generasi mendatang untuk dapat mengakses tanah perkebunan, karena hak untuk mengakses tanah dalam rangka mengambil manfaat tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat Indonesia dan keluarganya adalah hak asasi manusia. Pengaturan penanaman modal perlu dan bahkan harus disempurnakan agar mengutamakan kepentingan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang perkebunan.
 Undang-undang tentang Perkebunan sendiri tidak merumuskan tentang pemerataan pemilikan tanah perkebunan yang seharusnya menjadi bagian dari program landreform yang diamanatkan Undang-undang Pokok Agraria sebagai tujuan pembangunan bidang perkebunan. Pemerintah memihak dan melindungi investor dalam melaksanakan usahanya dari berbagai ancaman yang dapat timbul dari rakyat, dengan menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. Pelaku usaha perkebunan diperkenankan untuk melakukan pengamanan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat sekitarnya. Asas yang ditanamkan Undang-undang Perkebunan ini seringkali memicu berbagai permasalahan dan sengketa hukum baik antara maryarakat dengan investor bahkan antarkelompok dari mayarakat itu sendiri.
Rangkulan terhadap masyarakat hendak ditanamkan pemerintah melalui Undang-undang Perkebunan dalam bentuk yang didasari oleh hubungan inti-plasma, dimana kedudukan petani tersubordinasi oleh investor. Hubungan pertanian kontrak, dalambentuk koperasi yang pada dasarnya hanya bagian dari unit kegiatan yang dikendalikan oleh investor untuk menguasai semua sektor mulai dari pembangunan kebun, proses produksi, pemeliharaan, pemasaran, sampai pada penentuan harga produksi.
Seharusnya politik agraria yang populis menjadi dasar pengaturan pemanfaatan tanah atas dasar usaha secara bersama dan kekeluargaan dalam melakukan kegiatan usaha perkebunan agar lebih menjamin ketersediaan pekerjaan bagi buruh perkebunan secara berkelanjutan dengan tetap membuka kesempatan kepada para masyarakat setempat agar suatu saat dapat memiliki tanah perkebunan yang merupakan usaha turun temurun yang telah lama menempati tanah perkebunan.
Pemanjaan pemerintah terhadap investor pembangunan ekonomi perkebunan yang mengeyampingkan cita-cita luhur bangsa secara praktis menciptakan kemudahan dan kenyamanan dalam berinvestasi. Namun pemerintah tetap menyadari bahwa kepastian hak atas tanah dan jangka waktu suatu hak atas tanah diberikan merupakan pokok persoalan yang harus diselesaikan untuk menarik investasi yang lebih banyak lagi. Pemerintah atas  nama investasi cenderung menempatkan tanah sebagai komoditas perdagangan, sedangkan ketimbang menempatkannya sebagai asset yang vital dan strategis yang mempunyai hubungan langsung dengan rakyat sebagai faktor produksi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Seharusnya pemerintah dapat menserasikan antara kepentingan investor dan rakyat terhadap tanah. Pembentukan peraturan tentang pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan harus secara objektif didasarkan pada fakta nyata. Indonesia membutuhkan investor namun dalam memberikan pelayanan yang berlebihan (over service) dapat mengancam tercapainya tujuan luhur bangsa, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan acuan yang terukur untuk memastikan mengenai strategi pemanfaatan tanah yang akan diterapkan, secara signifikan dapat mengharmonisasikan segala kepentingan, baik itu kepentingan penanam modal, pemerintah maupun rakyat.
Seharusnya berbagai sengketa perkebunan yang timbul karena penguasaan/pemilikan tanah diminimalisir dengan alokasi dan distribusi tanah perkebunan bagi perusahaan dan rakyat dalam sistem usaha yang terintegrasi. Pemerintah hendaknya melakukan penguatan hak atas tanah bagi investor sektor perkebunan maupun bagi rakyat melalui pembentukan peraturan yang secara tegas menetapkan kewajiban pelaksanaan inti plasma secara prorata, sedangkan pemerintah sendiri bertindak selaku pengawas. Dengan demikian distribusi dan pemerataan hak atas tanah dan penarikan investasi dapat dilaksanakan secara sekaligus dan saling terlindungi kepentingannya masing-masing.
Untuk dapat melaksanakan prinsip prorata yang “Win-Win Solution”, maka pengaturan pemanfaatan tanah tersebut harus di atur dalam Undang-undang Pokok Agraria yang saling berharmoni dengan Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan. Bentuk daya dan upaya yang harus dilakukan dalam konsep hukum“Win-Win Solution Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Perkebunan” adalah:
a.    Memberikan definisi batasan yang tegas tentang hak menguasai negara;
b.    Memberikan kedudukan yang tegas bagi Hak Ulayat, dan memberikan bukti pemilikan hak ulayat pada masyarakat hukum adat;
c.    Melaksanakan program partial landreform bidang perkebunan dengan melakukan penyeimbangan pemilikan tanah oleh petani/pekebun dengan pemilikan tanah oleh perusahaan;
d.   Melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur :
1).   Hak Menguasai Negara agar jelas makna dan batasannya;
2).   Memberikan pengakuan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan Memberikan Bukti Hak Pengelolaan pada masyarakat hukum adat;
3).   Mencabut Pasal-Pasal Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan yang bersifat diskriminatif.
4).   Membentuk peraturan tentang Hak Milik untuk memperkuat kedudukan tanah bagi masyarakat berdasarkan hak asasi dan hubungan abadinya sebagai bagian dari bangsa/rakyat Indonesia;
5).   Melakukan desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan secara penuh pada pemerintah kabupaten/Kota.
Nilai keadilan dalam Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan dilakukan pencabutan, penyempurnaan dan penambahan asas dalam masing-masing undang-undang tersebut agar pengaturan pemanfaatan tanah untuk investasi di bidang perkebunan memberikan  perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah, berlandaskan pada asas usaha bersama berdasarkan kekeluargaan yang menjadi dasar demokrasi ekonomi Indonesia, asas sebesar-besar kemakmuran rakyat, filsafat keadilan, dan strategi untuk mengimplementasikan keadilan dengan memberikan perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah.
Dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang tidak seimbang, pemerintah melalui produk hukumnya seharusnya berdasarkan prinsip keadilan dapat  memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat yang paling lemah, guna mewujudkan keseimbangan sosial-ekonomi dalam masyarakat, dengan tetap memperhatikan perbedaan orientasi hukum investasi bidang perkebunan yang juga  mengutamakan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan negara/pemerintah, tanpa juga menyampingkan pemerataan tanah perkebunan bagi petani, terciptanya pasar buruh yang murah, serta tertutupnya akses rakyat untuk dapat memanfaatkan tanah. Orientasi hukum dari pemerintah harusnya sejalan dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, dan orientasi faktual di mana sebagian besar masyarakat hidupannya masih sangat tergantung pada tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya secara mikro.
Pemerintah sebagai pengemban amanat bangsa tidak sinkron dan tidak konsisten mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan melalui nilai-nilai keadilan dalam produk hukumnya yang dilaksanakan melalui strategi politik agraria populis/neo populis, sehingga perlu dilakukan upaya untuk kembali merestruktur nilai-nilai dasar yang luhur dari jiwa bangsa dengan melakukan harmonisasi hukum investasi di bidang perkebunan melalui penerapan konsep hukum “Win-Win Solution Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi  Penanaman Modal Bidang Perkebunan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar