Pancasila sebagai jiwa
bangsa (volkgeist) yang melandasi secara idiil pembangunan
hukum di Indonesia, termasuk
juga pembangunan hukum investasi bidang perkebunan, sebagaimana tertuang dalam sila tentang ”kemanusiaan yang
adil dan beradab”, ”kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Hukum digunakan
sebagai sarana mencapai cita-cita bangsa yang termaktub dalam sila-sila tersebut di atas. Oleh karena
Indonesia merupakan negara hukum maka dalam upaya mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat harus dibentuk
peraturan yang lebih konkret.
Penjabaran landasan idiil
dalam sila-sila tersebut dicantumkan secara umum dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945 dan Pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945. Tugas negara dalam mewujudkan negara
yang sejahtera (welfare state) diupayakan tanpa deharmonisasi jiwa bangsa yaitu dilakukan
permusyawaratan atau dilakukan secara bersama (dari semua oleh semua dan untuk
semua).
Indonesia sebagai negara
agraria yang bercita-cita menjadi negeri yang makmur maka sistem perekonomian mestilah
disusun sedemikian rupa untuk
memperkuat kedudukan tanah sebagai faktor utama produksi. Peraturan pemilikan tanah harus memperkuat kedudukan tanah sebagai
sumber kemakmuran bagi rakyat secara
umum. Tugas negara
juga membentuk peraturan yang berasaskan pemerataan pemilikan tanah (landreform) sebagai faktor produksi dalam rangka mencapai
kemakmuran rakyat.
Landasan konsep politik hukum agraria (politico legal
concept) dalam pasal 33
Undang-undang Dasar 1945 yang dirumuskan lebih konkret
oleh lembaga politik dalam pasal 2 Undang-undang
Pokok Agraria, di mana negara melalui lembaga pemerintah diberikan hak menguasai agraria sebagai bentuk dari hak tertinggi di bawah hak bangsa. Kenyataannya, pemerintah sarat dengan
kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kesejahteraan dan kemakmuran berbeda orientasinya dengan jiwa bangsa. Perbedaan
orientasi ini sangat signifikan
mempengaruhi substansi peraturan investasi bidang perkebunan bahkan
bertentangan dengan orientasi rakyat. Pengertian
menguasai diartikan secara sempit sebagai pemilik padahal Negara sebagai organisasi seluruh rakyat fungsinya hanya mengatur, dan
tidak berkedudukan sebagai pemilik, dan tanah sebenarnya milik
rakyat, sehingga
seharusnya
dikuasai oleh rakyat melalui bentuk negara.
Meskipun legitimasi
suatu negara berasal dari proses hukum dan politik, untuk dapat
membentuk sistem hukum investasi
bidang perkebunan yang harmonis, Indonesia yang rakyatnya sangat plural harus mencerminkan sistem hukum
tumbuh (living law) dan berkembang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Sistem
hukum juga tidak tumbuh dari tawar menawar politik melainkan dari nilai-nilai
dan asas-asas keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi cita-cita
luhur bangsa. Sistem hukum
yang harmonis dalam penerapannya tidak ada ketegangan yang berlebihan dan
terdapat kerjasama antarfaktor yang menghasilkan kesatuan yang kuat dalam
mencapai cita-cita luhur bangsa.
Sebagai negara berkembang,
investasi dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan perekonomian
guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penguasaan agaria khususnya tanah
perkebunan untuk kepentingan investasi perlu melindungi kepentingan rakyat
khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah agar tidak mengancam perwujudan
cita-cita bangsa. Perlindungan
hukum pada zaman globalisasi ini diidentikan dengan hak asasi manusia, sehingga
perlindungan hukum adalah kesadaraan dan kepekaan dalam melindungi atau tidak
mengganggu hak asasi manusia. Kewajiban negara melalui pemerintah untuk secara aktif
dan berkesinambungan melindungi
hak asasi manusia di
bidang ekonomi khususnya
invetasi perkebunan dituangkan dalam hukum positif. Perlindungan
hukum yang berkeadilan, berkepastian bermanfaat, serasi dan seimbang antara
masyarakat dan penanam modal sangat bermanfaat dalam menciptakan harmonisasi
pengaturan hukum dalam kegiatan investasi bidang perkebunan.
Pemerintah harusnya merespon segala situasi dan kondisi yang terjadi yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi cita-cita
bangsa yaitu welfare state. Pelaksanaan konsep kesejahteraan di Indonesia dilaksanakan melalui
serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk
meningkatkan standar dan kualitas kehidupan masyarakat. Segala kebijakan dan
program yang dilakukan oleh pemerintah, dalam dunia usaha dan civil society untuk
mengatasi masalah sosial dan dalam rangka memenuhi rakyat yang sejahtera dan
makmur.
Kenyataannya sistem ekonomi
Pancasila yang menjadi landasan idiil dilaksanakan dengan intervensi politik. Hak menguasai menjadi penyebab pengaturan
diskriminatif bidang perkebunan, dalam bentuk pemihakan negara/pemerintah pada
investor. Pemerintah
yang mempunyai hak membentuk peraturan bukanlah lembaga yang kebal terhadap
pengaruh sosial, budaya, politik, ekonomi dari berbagai kelompok dan kepentingan, terutama yang bermotif ekonomis. Secara de
facto, pelaksanaan Hak
Menguasai Negara lebih cenderung didasari tafsir bahwa, semua tanah di
Indonesia adalah milik negara.
Pemanfaatan
tanah bagi kegiatan penanaman modal bidang perkebunan sebagai pelaksanaan Hak
Menguasai Negara, bertentangan dengan nilai keadilan, dan Hak Asasi manusia di
bidang ekonomi tujuan pemanfaatan/penggunaan agraria/tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Distorsi mengenai pemaknaan hak
menguasai negara mengakibatkan atau berpotensi diterbitkannya peraturan bagi
penanaman modal atau investasi bidang perkebunan yang bertentangan dengan jiwa
bangsa. Secara nyata dari
distorsi ini adalah semakin banyaknya permasalahan
tanah bidang perkebunan antara masyarakat dan penanam modal.
Oleh karena tanah memiliki multiple value dan sangat sulit untuk digantikan
dengan benda yang lain,
maka tanah bagi bagian besar rakyat Indonesia merupakan
benda vital dan strategis. Tidak hanya rakyat, pemerintah pun memaknai tanah sebagai komoditas
yang signifikan bagi peningkatan melalui pembangunan ekonomi di bidang penanaman modal.
Undang-undang Pokok Agraria tidak
mengatur pemanfaatan tanah bagi penanaman modal di bidang perkebunanan
sebagai objek landreform, maka pemerintah mempunyai landasan hukum untuk
mengambil kebijakan yang memihak penanam modal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Penanaman Modal,
seperti pengaturan tentang
Hak guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara. Bentuk
perlakuan yang berlebihan memihak terhadap penanam modal secara subtansial telah menggangu pencapaian
cita-cita luhur bangsa. Mekanisme pengaturan jangka waktu dan perpanjangan di
muka bagi hak atas tanah bagi investasi bidang perkebunan seakaan mengokohkan
pemilik modal
dan mencederai asas fungsi sosial hak atas tanah, dan
sifat hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah, serta asas
optimalisasi pemanfataatan hak atas tanah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Masyarakat terhalangi hak akses atas tanah
perkebunannya dan hanya menjadi kelompok buruh perkebunan di tanah yang
seharusnya miliknya sendiri.
Seharusnya, pemberian hak atas tanah kepada badan hukum harus tetap
memberikan kesempatan pada generasi mendatang untuk dapat mengakses tanah
perkebunan, karena hak untuk mengakses tanah dalam rangka mengambil manfaat
tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat Indonesia dan keluarganya adalah hak asasi manusia. Pengaturan penanaman modal
perlu dan bahkan harus disempurnakan agar mengutamakan kepentingan sebesar-besar kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, terutama di bidang
perkebunan.
Undang-undang tentang Perkebunan sendiri tidak
merumuskan tentang pemerataan
pemilikan tanah perkebunan yang seharusnya menjadi bagian dari program
landreform yang diamanatkan Undang-undang Pokok Agraria sebagai tujuan pembangunan bidang perkebunan. Pemerintah memihak dan melindungi investor
dalam melaksanakan usahanya dari berbagai ancaman yang dapat timbul dari
rakyat, dengan menjamin kepastian dan keamanan
berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. Pelaku usaha perkebunan diperkenankan untuk melakukan pengamanan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh
aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat sekitarnya. Asas yang ditanamkan
Undang-undang Perkebunan ini seringkali memicu berbagai permasalahan dan sengketa hukum baik antara maryarakat dengan
investor bahkan antarkelompok dari mayarakat itu sendiri.
Rangkulan terhadap masyarakat hendak ditanamkan pemerintah melalui
Undang-undang Perkebunan dalam bentuk yang didasari oleh hubungan inti-plasma, dimana kedudukan petani tersubordinasi oleh investor. Hubungan pertanian kontrak, dalambentuk koperasi yang pada
dasarnya hanya bagian dari unit kegiatan yang dikendalikan oleh investor
untuk menguasai semua sektor mulai dari pembangunan kebun, proses produksi, pemeliharaan, pemasaran, sampai
pada penentuan harga produksi.
Seharusnya politik agraria yang populis menjadi dasar
pengaturan pemanfaatan tanah atas dasar usaha secara bersama dan kekeluargaan dalam melakukan kegiatan usaha
perkebunan agar lebih
menjamin ketersediaan pekerjaan bagi buruh perkebunan secara berkelanjutan dengan tetap membuka kesempatan kepada para masyarakat
setempat agar suatu saat dapat
memiliki tanah perkebunan
yang merupakan usaha turun temurun yang telah lama menempati tanah perkebunan.
Pemanjaan pemerintah terhadap investor
pembangunan ekonomi perkebunan yang mengeyampingkan cita-cita luhur bangsa
secara praktis menciptakan kemudahan dan kenyamanan dalam berinvestasi. Namun pemerintah tetap menyadari bahwa
kepastian hak atas tanah dan jangka
waktu suatu hak atas tanah diberikan merupakan pokok persoalan yang
harus diselesaikan untuk menarik investasi yang lebih banyak lagi. Pemerintah atas nama investasi cenderung menempatkan tanah sebagai komoditas perdagangan, sedangkan ketimbang
menempatkannya sebagai asset
yang vital dan strategis yang mempunyai hubungan langsung dengan rakyat sebagai
faktor produksi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Seharusnya pemerintah dapat menserasikan antara kepentingan investor dan rakyat terhadap
tanah. Pembentukan peraturan tentang pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan
harus secara objektif didasarkan pada fakta nyata. Indonesia membutuhkan investor namun dalam memberikan pelayanan
yang berlebihan (over service)
dapat mengancam tercapainya
tujuan luhur bangsa, yaitu sebesar-besarnya
kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Diperlukan acuan yang terukur untuk
memastikan mengenai strategi
pemanfaatan tanah yang akan diterapkan, secara signifikan dapat mengharmonisasikan segala kepentingan,
baik itu kepentingan penanam
modal, pemerintah maupun rakyat.
Seharusnya berbagai
sengketa perkebunan yang timbul karena penguasaan/pemilikan tanah diminimalisir dengan alokasi dan distribusi tanah perkebunan bagi
perusahaan dan rakyat dalam sistem usaha yang terintegrasi.
Pemerintah hendaknya melakukan penguatan
hak atas tanah bagi investor sektor perkebunan maupun bagi rakyat melalui pembentukan peraturan yang secara
tegas menetapkan kewajiban pelaksanaan inti plasma secara prorata, sedangkan pemerintah sendiri
bertindak selaku pengawas. Dengan demikian distribusi dan pemerataan hak atas
tanah dan penarikan investasi dapat dilaksanakan secara sekaligus dan saling
terlindungi kepentingannya masing-masing.
Untuk dapat melaksanakan prinsip prorata
yang “Win-Win Solution”,
maka pengaturan pemanfaatan tanah tersebut harus di atur dalam Undang-undang
Pokok Agraria yang saling berharmoni dengan Undang-undang Penanaman Modal dan
Undang-undang Perkebunan. Bentuk daya dan upaya yang harus dilakukan dalam konsep hukum“Win-Win Solution Sebagai Prinsip
Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan
Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Perkebunan” adalah:
a.
Memberikan definisi batasan yang tegas tentang hak menguasai negara;
b.
Memberikan kedudukan yang tegas bagi Hak Ulayat, dan
memberikan bukti pemilikan hak ulayat pada masyarakat hukum adat;
c.
Melaksanakan program partial landreform bidang perkebunan dengan melakukan penyeimbangan
pemilikan tanah oleh petani/pekebun dengan pemilikan tanah oleh perusahaan;
d.
Melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan Undang-undang Pokok Agraria
yang mengatur :
1). Hak
Menguasai Negara agar jelas makna dan batasannya;
2). Memberikan
pengakuan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan Memberikan Bukti Hak
Pengelolaan pada masyarakat hukum adat;
3). Mencabut
Pasal-Pasal Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan yang
bersifat diskriminatif.
4). Membentuk
peraturan tentang Hak Milik untuk memperkuat kedudukan tanah bagi masyarakat
berdasarkan hak asasi dan hubungan abadinya sebagai bagian dari bangsa/rakyat
Indonesia;
5). Melakukan
desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan secara penuh pada pemerintah
kabupaten/Kota.
Nilai keadilan dalam Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang
Penanaman Modal dan Undang-undang Perkebunan dilakukan pencabutan,
penyempurnaan dan penambahan asas dalam masing-masing undang-undang tersebut
agar pengaturan pemanfaatan tanah untuk investasi di bidang perkebunan memberikan perlindungan hukum bagi golongan ekonomi
lemah, berlandaskan
pada asas usaha bersama berdasarkan kekeluargaan yang
menjadi dasar demokrasi ekonomi Indonesia, asas sebesar-besar kemakmuran rakyat, filsafat keadilan, dan strategi untuk
mengimplementasikan keadilan dengan memberikan perlindungan hukum bagi golongan
ekonomi lemah.
Dalam kondisi
sosial-ekonomi masyarakat yang tidak seimbang, pemerintah melalui produk hukumnya seharusnya berdasarkan prinsip keadilan dapat memberikan keuntungan kepada kelompok
masyarakat yang paling lemah,
guna mewujudkan keseimbangan sosial-ekonomi dalam masyarakat, dengan tetap memperhatikan perbedaan
orientasi hukum investasi
bidang perkebunan yang juga mengutamakan pertumbuhan ekonomi, peningkatan
lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan negara/pemerintah, tanpa juga menyampingkan pemerataan
tanah perkebunan bagi petani, terciptanya pasar buruh yang murah, serta
tertutupnya akses rakyat untuk dapat memanfaatkan tanah. Orientasi hukum dari pemerintah harusnya sejalan dengan yang
diamanatkan oleh Undang-undang
Dasar 1945, dan orientasi faktual di mana sebagian besar
masyarakat hidupannya masih sangat tergantung pada tanah untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan keluarganya secara mikro.
Pemerintah sebagai pengemban amanat bangsa tidak sinkron dan
tidak konsisten mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan melalui nilai-nilai
keadilan dalam produk hukumnya yang dilaksanakan
melalui strategi politik agraria populis/neo populis, sehingga perlu dilakukan upaya
untuk kembali
merestruktur nilai-nilai dasar yang luhur dari jiwa bangsa dengan melakukan
harmonisasi hukum
investasi di bidang perkebunan melalui penerapan
konsep hukum “Win-Win Solution
Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi
Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi
Penanaman Modal Bidang Perkebunan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar