Sabtu, 22 September 2012

Sedikit Komentar atas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Machica Moechtar


Sejak 17 Februari 2012, pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) harus dibaca menjadi "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya". Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengubah cara pandang yang sudah bertahan kurang lebih 38 tahun yang membacanya sebagai "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya".

Adalah Hj. Aisyah Mochtar yang lebih dikenal sebagai Machica Mochtar (tertulis juga sebagai Machica binti H. Mochtar Ibrahim). Wanita kelahiran Ujung Pandang, 20 Maret 1970 ini menuntut hak konstitusionalnya atas anak di luar nikahnya yaitu Muhammad Iqbal Ramadhan dengan seorang menteri era orde baru yaitu Moerdiono. 

Putusan ini bagi sebagian orang menjadi terobosan hukum perkawinan yang luar biasa karena anak diluar perkawinan dapat diakui hak keperdataannya pada ayah biologisnya. Secara biologis memang tidak ada seorang anak dapat dilahirkan tanpa adanya percampuran antara sperma dan ovum sebelumnya. Dalam putusan, menyiratkan bahwa anak di luar perkawinan  maksudnya adalah anak yang dilahirkan dari orang tuanya yang menikah secara sah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu tanpa dicatat sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Akan tetapi anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaannya itu tidaklah dapat dikategorikan sebagai anak sah jadi bagi muda-mudi nakal sehingga melahirkan anak tanpa diikat perkawinan yang sah maka tidak dapat "terlindungi" melalui putusan ini. Akan tetapi fenomena kawin kontrak yang banyak dilakukan juga diakui anaknya jika perkawinan tersebut dilakukan sah menurut agama dan kepecayaannya itu.

Perkawinan sah menurut agama Islam menurut Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag. yang menjadi saksi ahli pada putusan tersebut, dalam Islam perkawinan adalah sah jika telah memenuhi 5 (lima) rukun yaitu ijab qabul, mempelai pria, mempelai wanita, 2 (dua) orang saksi dan wali dari mempelai wanita. Meskipun tidak dalam fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat perintah dalam Al Quran Surat an-Nisa’ untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk ulil amri)

Sudut pandang yang digunakan Mahkamah Konstitusi adalah kepentingan anak dan wanita yang “teraniaya” laki-laki. Mahfud MD dalam Koran Sindo, putusan ini berlatar belakang pengalaman teman kuliah yang menikah siri guna menghindari zinah. Oleh karena pernikahan mereka tak tercatat maka anak hasil perkawinan tersebut menghadapi kesulitan mendapatkan administrasi kependudukan. Apalagi kalau ayah biologis tak mau melakukan istbat (pengakuan) atas anak tersebut. Begitu juga Komisi Nasional Perempuan yang menyambut positif putusan ini karena sejalan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 dan meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak. Apakah kepentingan wanita yang lebih dahulu menikah secara sah menurut agama dan negara tidak dilihat kepentingannya

Saya mencoba memposisikan diri saya sebagai seorang wanita yang telah menikah secara sah berdasarkan agama tertentu lalu dicatatkan sesuai dengan ketentuan positif. Tiba-tiba dalam perjalanan perkawinan terdapat seorang wanita yang membawa anak yang mengaku bahwa anak dari pernikahan sah secara agama. Anak tersebut telah dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan anak biologis dari suami saya. Penetapan pengadilan yang menyatakan bahwa anak hasil zinah secara negara tersebut diakui sebagai anak dari suami saya. Konsekuensinya saya mau tidak mau harus ikut berbagi nafkah bahkan hak waris kepada anak tersebut karena dia memiliki hubungan keperdataan dengan suami saya. Anak ini menjadi alat untuk “merampok” hak keperdataan saya yang sudah disahkan oleh negara.

Pembuat Undang-undang merumuskan pasal 43 ayat (1) saya rasa untuk melindungi para wanita yang sangat menghormati lembaga perkawinan. Kesalahan orang tua yang tidak bertanggung jawab bukan menjadi beban bagi anak. Orang tua yang sudah matang dalam berfikir akan mengetahui konsekuensinya dalam melakukan suatu perbuatan. Pembuat undang-undang secara tersirat ingin menghukum wanita yang tidak memikirkan dampak dari perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Wanita diajak untuk memilih laki-laki yang mau bertanggung jawab di dunia dan akhirat. Jika memilih laki-laki yang tidak memikirkan tanggung jawab duniawi maka si wanitalah yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan anak yang dilahirkannya dari laki-laki yang menikahinya.

Jika dikatakan putusan merupakan kemenangan anak Indonesia yang dilahirkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab, saya katakan tidak. Putusan ini adalah kemenangan para wanita penggoda. Perkawinan itu bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal bukan untuk menghindari zinah atau mendapatkan kekayaan seperti yang mulai hembuskan para selingkuhan Agung Laksono. Kita lihat saja akan banyak muncul Machica lainnya oleh karena putusan ini. Akan banyak juga Ny. Moerdiono lainnya yang kepentingannya dilanggar berdasarkan putusan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar