Hukum dibentuk bukan tanpa visi atau dibuat secara tak bermaksud. Hukum
pada umumnya dibentuk atau dibuat dengan visi atau tujuan untuk memenuhi rasa
keadilan, kepastian, dan ketertiban. Penganut aliran normatif positivisme,secara
dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada aspek kepastian hukum bagi para
pendukung hak dan kewajiban.
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap
suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau
disimpangkan oleh subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat
justitia et pereat mundus yang diterjemahkan
secara bebas menjadi “meskipun
dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang menjadi dasar dari asas
kepastian dianut oleh aliran positivisme.
Penganut aliran positivisme lebih
menitikberatkan kepastian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan
pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan pada
umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu perbuatan dan
peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang yang memunculkan teori
tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk memberikan kepastian
perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah kedudukan hukumnya.
Kepastian hukum
bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam
kehidupan sosial, kepastian adalah menyaratakan kedudukan subjek hukum dalam
suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian
diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang.
Pelaksanaan kepastian dikonkretkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang
berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap
subjek hukum.
Dalam hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan
hubungan hukum melalui hukum kontrak juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk
undang-undang memberikan kepastiannya melalui pasal 1338 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para
subjek hukum yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan
keleluasaan dalam memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang
terlibat dalam suatu kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam
bentuk itikad baik. Antarsubjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing
subjek hukum adalah perwujudan dari itikad baik.
Kepastian dalam melakukan kontrak tidak hanya dari suatu akibat suatu
kontrak yang hendak diinginkan, akan tetapi juga pada substansi kontrak itu
sendiri. Pembentuk undang-undang juga mewajibkan kepastian dalam merumuskan
suatu kontrak.Pasal 1342 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
kata-kata yang digunakan juga harus jelas sehingga tidak dapat menyimpang dari
penafsiran yang sudah dijelaskan. Oleh karena kontrak merupakan undang-undang
bagi para subjek hukum maka segala sesuatu yang tertulis harus pasti diartikan
oleh para subjek hukum. Jika suatu kontrak tidak memberikan kepastian dalam hal
isinya maka kedudukan subjek hukum yang lemah akan tidak terlindungi dan
menjadi tidak pasti.
Itikad baik dan penafsiran tidak sepenuhnya menjamin kedudukan yang
pasti para subjek hukum dalam suatu kontrak. Menurut Rene Descrates, seorang filsuf
dari Perancis, menyatakan bahwa kepastian hukum dapat diperoleh dari metode
sanksi yang jelas. Sanksi yang akan diberlakukan bagi para subjek hukum yang
terlibat dalam suatu kontrak bersifat tetap dan tidak diragukan. Sanksi diberikan
bukan sebagai orientasi pada hasil yang akan dituju dari suatu kontrak akan
tetapi orientasi pada proses pelaksanaan kontrak itu sendiri.
Teori Kepastian menekankan pada penafsiran dan sanksi yang jelas agar
suatu kontrak dapat memberikan kedudukan yang sama antarsubjek hukum yang
terlibat. Kepastian memberikan kejelasan dalam melakukan perbuatan hukum saat
pelaksanaan kontrak dalam bentuk prestas bahkan saat kontrak tersebut
wanprestasi