Sejak 17
Februari 2012, pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) harus dibaca menjadi "Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya". Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
yang mengubah cara pandang yang sudah bertahan kurang lebih 38 tahun yang
membacanya sebagai "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya".
Adalah
Hj. Aisyah Mochtar yang lebih dikenal sebagai Machica Mochtar (tertulis juga
sebagai Machica binti H.
Mochtar Ibrahim). Wanita kelahiran Ujung Pandang, 20 Maret 1970 ini menuntut
hak konstitusionalnya atas anak di luar nikahnya yaitu Muhammad Iqbal
Ramadhan dengan seorang menteri era orde baru yaitu Moerdiono.
Putusan
ini bagi sebagian orang menjadi terobosan hukum perkawinan yang luar biasa
karena anak diluar perkawinan dapat diakui hak keperdataannya pada ayah
biologisnya. Secara biologis memang tidak ada seorang anak dapat dilahirkan
tanpa adanya percampuran antara sperma dan ovum sebelumnya. Dalam putusan, menyiratkan
bahwa anak di luar perkawinan maksudnya adalah anak yang dilahirkan dari
orang tuanya yang menikah secara sah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu
tanpa dicatat sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Akan
tetapi anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut agama dan
kepercayaannya itu tidaklah dapat dikategorikan sebagai anak sah jadi bagi
muda-mudi nakal sehingga melahirkan anak tanpa diikat perkawinan yang sah maka
tidak dapat "terlindungi" melalui putusan ini. Akan tetapi fenomena kawin kontrak
yang banyak dilakukan juga diakui anaknya jika perkawinan tersebut dilakukan
sah menurut agama dan kepecayaannya itu.
Perkawinan sah menurut agama
Islam menurut Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag. yang menjadi saksi ahli
pada putusan tersebut, dalam Islam perkawinan adalah sah jika telah memenuhi 5
(lima) rukun yaitu ijab qabul, mempelai pria, mempelai wanita, 2 (dua) orang
saksi dan wali dari mempelai wanita. Meskipun tidak dalam fiqh,
tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat perintah dalam Al Quran Surat an-Nisa’ untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk ulil amri)
Sudut pandang yang digunakan Mahkamah
Konstitusi adalah kepentingan anak dan wanita yang “teraniaya” laki-laki. Mahfud
MD dalam Koran Sindo, putusan ini berlatar belakang pengalaman teman kuliah yang menikah siri guna menghindari
zinah. Oleh
karena pernikahan mereka tak tercatat maka anak
hasil perkawinan tersebut menghadapi kesulitan mendapatkan administrasi
kependudukan. Apalagi kalau ayah biologis tak mau melakukan istbat (pengakuan) atas anak tersebut. Begitu juga Komisi
Nasional Perempuan yang menyambut
positif putusan ini karena sejalan dengan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 dan meneguhkan pelaksanaan jaminan
hak konstitusional bagi anak. Apakah kepentingan wanita yang lebih dahulu menikah secara sah menurut
agama dan negara tidak dilihat kepentingannya
Saya mencoba memposisikan diri saya sebagai seorang
wanita yang telah menikah secara sah berdasarkan agama tertentu lalu dicatatkan
sesuai dengan ketentuan positif. Tiba-tiba dalam perjalanan perkawinan terdapat
seorang wanita yang membawa anak yang mengaku bahwa anak dari pernikahan sah
secara agama. Anak tersebut telah dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan anak biologis dari suami saya. Penetapan pengadilan yang
menyatakan bahwa anak hasil zinah secara negara tersebut diakui sebagai anak
dari suami saya. Konsekuensinya saya mau tidak mau harus ikut berbagi nafkah
bahkan hak waris kepada anak tersebut karena dia memiliki hubungan keperdataan
dengan suami saya. Anak ini menjadi alat untuk “merampok” hak keperdataan saya
yang sudah disahkan oleh negara.
Pembuat Undang-undang merumuskan pasal 43 ayat (1)
saya rasa untuk melindungi para wanita yang sangat menghormati lembaga
perkawinan. Kesalahan orang tua yang tidak bertanggung jawab bukan menjadi
beban bagi anak. Orang tua yang sudah matang dalam berfikir akan mengetahui
konsekuensinya dalam melakukan suatu perbuatan. Pembuat undang-undang secara
tersirat ingin menghukum wanita yang tidak memikirkan dampak dari perbuatan
yang tidak bertanggung jawab. Wanita diajak untuk memilih laki-laki yang mau
bertanggung jawab di dunia dan akhirat. Jika memilih laki-laki yang tidak
memikirkan tanggung jawab duniawi maka si wanitalah yang hanya memiliki
hubungan keperdataan dengan anak yang dilahirkannya dari laki-laki yang
menikahinya.
Jika dikatakan putusan merupakan kemenangan anak
Indonesia yang dilahirkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab, saya katakan
tidak. Putusan ini adalah kemenangan para wanita penggoda. Perkawinan itu
bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal bukan
untuk menghindari zinah atau mendapatkan kekayaan seperti yang mulai hembuskan
para selingkuhan Agung Laksono. Kita lihat saja akan banyak muncul Machica
lainnya oleh karena putusan ini. Akan banyak juga Ny. Moerdiono lainnya yang
kepentingannya dilanggar berdasarkan putusan ini.