Sering kita dengar bahwa Indonesia adalah Negara
Hukum, tapi kenyataannya pernyatan ini hanya sebuah retorika. Bagaimana tidak
saya katakan ini. Begitu tersiar kabar bahwa Menteri Dalam Negeri mencabut
Peraturan Daerah tentang minuman keras, semua pihak langsung mengecam. Dari
Ulama (http://nasional.vivanews.com/news/read/279044-perda-miras-dicabut--mui-undang-ormas-islam) sampai dengan politisi yang
menjadi wakil rakyat (http://politik.vivanews.com/news/read/279030-politisi-pks-kecam-pencabutan-9-perda-miras).
sumber gambar : republika.co.id |
Kalau kita tidak mau dikatakan bangsa yang
tidak cerdas hendaknya perlu ditelaah lebih dahulu apakah benar peraturan
daerah itu dapat dicabut oleh seorang Menteri?
Pengujian terhadap Peraturan Daerah dapat
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah. Pengujian oleh pihak yudikatif
sering disebut judicial review dengan dasar hukum pasal 24A Undang-undang Dasar
1945 berhubungan dengan pasal 11 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004. Sedangkan pengujian oleh pemerintah disering disebut
sebagai executive review dengan dasar hukumnya yaitu pasal 114 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 berhubungan dengan pasal 136, pasal 145 dan pasal 218
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Judicial Review dapat dilakukan atas keberatan
pihak-pihak tertentu dengan kata lain, mahkamah agung menunggu datangnya
permohonan dari pihak yang keberatan. Jika ada yang memohon maka prinsip dari
judicial review ini adalah menyelesaikan konflik yang timbul oleh karena
diterbitkannya peraturan di bawah undang-undang. Setelah pengujian selesai maka
akan terbit putusan yang memutuskan tentang peraturan tersebut dibatalkan atau
tidak. Putusan Mahkamah tentang pembatalan peraturan akan dieksekusi oleh DPRD bersama
Kepala Daerah setempat. Putusan Mahkamah ini tidak dapat dilakukan upaya hukum
apapun.
Execuitve Review dilakukan dalam rangka pengawasan
preventif dan represif pemerintah pusat terhadap daerah dalam menjalankan
otonomi daerahnya. Yang ditunjuk sebagai lembaga pelaksana review ini adalah
Departemen Dalam Negeri dibantu oleh departemen-departemen terkait seperti
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan/atau Departemen Keuangan. Karena
sifatnya mengawasi maka review yang dilakukan tidak bersifat pasif seperti
Judicial Review yang menunggu keberatan dari pihak tertentu. Pengawasan yang
dilakukan adalah dengan menguji sinkronisasi antara peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika bertentangan maka peraturan daerah
akan dibatalkan dengan peraturan presiden. Peraturan Presiden ini menjadi dasar
hukum DPRD bersama kepala daerah setempat untuk mencabut peraturan daerah
tersebut. Jika ada pihak yang keberatan
dengan peraturan presiden tersebut maka para pihak dapat mengajukan judicial
review atas pembatalan tersebut demi kepentingan umum.
Jadi menurut Negara Hukum yang sangat kita
cintai ini, pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah melalui
executive review dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah setempat. Meskipun
telah diterbitkan peraturan presiden jika DPRD dan kepala daerah setempat tidak
melaksanakan peraturan presidennya maka peraturan daerah tersebut tetap
berlaku.
Sayangnya masyarakat tidak percaya dengan
pemerintah yang dulu dipercaya mereka sebanyak 62%. Anarki adalah jalan hukum
karena anarki tidak pernah dihukum. Padahal pengrusakan atas nama apapun tidak
dibenarkan oleh hukum Negara kita (lihat pasal 201 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana)
Setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah selalu
salah menurut rakyat meskipun itu benar secara hukum. Saya kasihan sekali
dengan para pendiri bangsa ini karena Negara hukum yang mereka hendak capai
dari dulu dengan mengdepankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan
dalam permusyawaratan telah sangat melenceng dan bahkan menjadi “kerakyatan”
yang dipimpin oleh kebrutalan anarki dalam pemaksaan kehendak tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar