A.
Pendahuluan
Pada zaman pemerintahan Belanda terdapat pungutan
pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik
Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang
ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang
ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta
Tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan
atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria[1],
terdapat hak-hak kebendaan yang tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah
diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA. Dengan demikian, sejak diundangkannya
UUPA, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut
lag
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai
pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak
dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan[2].
Secara
khusus pembentuk undang-undang, memberikan kekuatan mengikat kepada seluruh
rakyat Indonesia tentang BPHTB dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) dan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3988).
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049),
pengaturan mengenai BPHTB tidak secara khusus diatur dalam satu undang-undang.
Melalui undang-undang ini juga, pengaturan mengenai BPHTB dialihkan
pemungutannya kepada pemerintah kabupaten atau kota per 01 Januari 2010. Kota
Palembang sendiri baru memiliki peraturan khusus mengenai BPHTB sejak 01
Januari 2011 melalui Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011[3].
Pejabat pembuat akta tanah[4]
selaku pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta mengenai
perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah juga wajib melaksanakan
peraturan perundang-undangan tersebut khususnya peraturan daerah kota Palembang
tersebut bagi PPAT yang memiliki wilayah kerja di kota Palembang.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pendahuluan
tersebut di atas, terdapat suatu permasalahan, bagaimana pelaksanaan BPHTB dalam
jual beli hak atas tanah oleh PPAT di Palembang?
C. Tinjauan Pustaka
Pajak
menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919)
adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik dengan tidak ada
kontraprestasinya, yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk
memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu sasaran pemajakan yang karena
undang-undang menimbulkan utang pajak[5].
Menurut
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan jasa
timbal (kontrapretasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum[6].
Dari
pengertian pajak tersebut, tersurat 5 (lima) unsur yang melekat dalam
pengertian pajak, yaitu[7]:
1. Pembayaran
pajak harus berdasarkan undang-undang (jika tidak maka lebih tetap disebut
perampokan [taxation without
representation is a robbery]);
2. Sifatnya
dapat dipaksakan (oleh negara);
3. Tidak
ada kontraprestasi (imbalan) langsung yang
dapat dirasakan oleh pembayar pajak;
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah
(bukan swasta) baik di pusat maupun di daerah;
5. Penggunaan
pajak untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan oleh pemerintah bagi
kepentingan masyarakat umum
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan, yaitu:
1. pemindahan
hak karena jual beli; tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lain; pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran
usaha; atau hadiah.
2. pemberian hak
baru karena kelanjutan pelepasan hak; atau di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah yang menjadi
objek BPHTB adalah:
1. hak milik;
2. hak guna
usaha;
3. hak guna
bangunan;
4. hak pakai;
5. hak milik
atas satuan rumah susun; dan
6. hak
pengelolaan.
Subjek
hukum dalam BPHTB adalah waji pajak orang perorangan dan/atau badan yang
memperoleh hak atas tanah melalui perbuatan hukum dan peristiwa hukum.
Dalam BPHTB, tarif pajak
yang dikenakan adalah paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Kota Palembang
dalam Perda 2011, ditetapkan tarif BPHTB sebesar 5% (lima persen).
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun.
Tugas pokok PPAT adalah
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan
hukum sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai atas tanah Hak Milik;
7. Pemberian Hak Tanggungan;
8. Pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan.
D. Pembahasan
Dasar pengenaan
BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak yaitu berupa harga transaksi dan nilai
pasar. Perbuatan hukum jual beli dan pembelian melalui lelang menggunakan nilai
perolehan objek pajak berupa harga transaksi. Selain jual beli dan pembelian
melalui lelang digunakan nilai perolehan objek pajak berupa nilai pasar.
Nilai pasar diartikan sebagai suatu
estimasi jumlah uang pada tanggal
penilaian yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran
suatu aset antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat
menjual dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara
layak, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui, bertindak hati-hati dan
tanpa paksaan. Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang disetujui pembeli untuk dibayarkan dan
disetujui penjual untuk diterima di saat tertentu dan melalui mekanisme pasar
yang wajar[8].
Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak Daerah[9]. Seorang PPAT tidak dapat
meligitimasi perbuatan hukum pemindahan hak tanpa diselesaikannya BPHTB. Harga
transaksi yang merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang tunduk
pada pasal 1320 dan pasal 1338 Kitb Undang-undang Hukum Perdata. Oleh karena
kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli maka sistem perpajakan yang
digunakan dalam pemungutan BPHTB adalah sistem self assessment. Wajib pajak yaitu pembeli pada prinsipnya
diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya dalam
rangka BPHTB.
Dalam sistem self assessment, wajib pajak hanya boleh menghitung pajak terutang
dan melaporkannya kepada aparatur pajak yang diperkenankan untuk menentukan
kebenaran dari perhitungan pajak wajib pajak. Apabila harga transaksi tidak diketahui maka dasar pengenaan pajak yang digunakan dalam BPHTB adalah Nilai Jual Objek Pajak[10] dalam Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini juga tersurat
dalam halaman www.dispenda.palembang.go.id, yang mensyaratkan dokumen pendukung dalam pembayaran BPHTB yaitu berupa:
1.
Fotocopy identitas wajib pajak
2.
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan tahun berjalan
3.
Fotocopy sertifikat dari Badan Pertanahan
Nasional
4.
Surat Kuasa dan fotocopy identitas
penerima kuasa (apabila dikuasakan)
5.
Dokumen pendukung lainnya
Sebelum dilakukan transaksi, PPAT
melakukan pelaporan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang[11]
melalui sistem on-line. Dalam proses
ini, PPAT mengunduh data mengenai objek BPHTB yang akan dilakukan proses jual
beli melalui kantornya. Pihak Dispenda selaku aparatur pajak dalam hal
verifikasi tersebut secara de facto
dapat menganulir kesepakatan penjual dan pembeli dalam menentukan harga
transaksi. Harga transaksi yang disepakati oleh penjual dan beli dapat
dikoreksi oleh Dispenda selaku apartur pajak. Akan tetapi proses proses koreksi
tidak mengunakan Surat Ketetapan Pajak[12]
sebagai bentuk representasinya. Kedudukan Dispenda dalam hal ini dianggap
sebagai pihak yang turut memiliki kepentingan dalam suatu jual beli.
Kesepakatan harga transaksi tidak hanya ditentukan oleh pihak penjual dan
pembeli akan tetapi juga oleh aparatur pajak dalam hal ini Dispenda.
Pada prinsipnya aparatur pajak dapat menerbitkan SKP sebagai
bentuk koreksi atas perhitungan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Surat
Ketetapan Pajak merupakan alat paksa untuk wajib pajak agar melakukan kewajiban
pajak sesuai data yang akurat dan terkini, karena wajib pajak pada umumnya
menginginkan jumlah pajak yang terutang dalam BPHTB sekecil mungkin bahkan
nihil.
Apabila Dispenda telah menerbitkan SSPD maka PPAT akan turut
menandatangani surat tersebut. Kedudukan PPAT dalam surat tersebut tidak begitu
jelas seperti Dispenda sebagai pihak yang berwenang melakukan verifikasi.
Kedudukan PPAT bukanlah sebagai pihak yang mengetahui atau menyetujui harga
transaksi tersebut.
Setelah dilakukan dilakukan pembayaran BPHTB yang telah
diverifikasi oleh Dispenda dan ditandatangani oleh PPAT, pembeli akan membayar
sejumlah uang yang tersebut dalam SSPD melalui Bank Sumselbabel. Setelah
dilakukan pembayaran, akan diterbitkan Bukti Bayar BPHTB yang menjadi dasar
bagi PPAT untuk mengunduh harga transaksi sebagaimana tertera dalam SSPD dalam
Akta PPAT.
Apabila PPAT menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan tanpa menyerahkan bukti pembayaran wajib pajak berupa SSPD akan
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,- (tujuh juta
lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap pelanggaran.
E. Penutup
Keterlibatan
PPAT pada pelaksanaan BPHBT dalam jual beli dimulai sejak kesepakatan harga
transaksi. Verifikasi BPHTB dilakukan oleh penjual dan pembeli melalui PPAT
yang memiliki akses on-line kepada
Dispenda. Seorang PPAT juga turut menandatangani SSPD sebagai dasar PPAT untuk
membuat Akta PPAT.
Dalam
menentukan harga transaksi, Dispenda tidak melakukannya berdasarkan NJOP dalam
Pajak Bumi dan Bangunan, akan tetapi harga transaksi ditentukan oleh Dispenda
selaku aparatur pajak tanpa menggunakan suatu representasi tertulis yang dapat
menjadi alat paksa kepada wajib pajak. Jika memang tidak menggunakan mekanisme
sesuai dalam Perda, maka seharusnya PPAT diberikan suatu insentif atas
bantuannya memunggut pajak daerah yang melebihi apa yang tertulis dalam NJOP pada
Pajak Bumi dan Bangunan. Jika dilakukan dengan SKP yang tertulis maka kedudukan
PPAT bukan sebagai agen pembayaran aparatur pajak, akan tetapi hanya melakukan
proses agen administrasi aparatur pajak.
F. Daftar Pustaka
R.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu
Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama, 1998
Richard
Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak,
Jakarta: Salemba Empat, 2001
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah;
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat
Pembuat Akta Tanah;
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/artikel/ok-pbb/1133-nilai-pasar,
tanggal akses 23 November 2013
http://www.dispenda.palembang.go.id,
tanggal akses 23 November 2013
[1]Selanjutnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditulis “UUPA”
[2]Selanjutnya Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan ditulis “BPHTB”
[3]Selanjutnya Peraturan Daerah Kota
Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
ditulis “Perda 2011”
[4]Pejabat Pembuat Akta Tanah
selanjutnya ditulis “PPAT”
[5]R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT.
Refika Aditama, 1998, halaman 3
[7]Richard Burton dan Wirawan B.
Ilyas, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba
Empat, 2001, halaman 5
[8]http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/artikel/ok-pbb/1133-nilai-pasar,
tanggal akses 23 November 2013
[9]Surat Setoran Pajak
Daerah selanjutnya ditulis “SSPD" adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan
dengan cara lain ke Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk
oleh Walikota
[10]Nilai Jual Objek Pajak
selanjutnya ditulis “NJOP”
[11]Selanjutnya Dinas Pendapatan
Daerah Kota Palembang ditulis “Dispenda”
[12]Selanjutnya Surat Ketetapan Pajak
ditulis “SKP”