Salah
satu hal baru atau invosi dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan
menerbitkan Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) sebagai perbaikan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 adalah kewajiban perseroan yang menjalankan usaha di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang sering disebut sebagai Corporate Social Responsibility
(CSR). Setelah menunggu hampir 5 (lima) tahun, akhirnya Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP
47/2012) yang telah memenuhi asas publisitas dengan diumumkan melalui Lembaran
Negara Republik Indoensia Tahun 2012 Nomor 89, Tambahan 5305.
Selama
1693 (seribu enam ratus sembilan puluh tiga) hari kalender, para praktisi
maupun akademisi memberikan ketentuan “di bawah tangan” atas aturan CSR.
Berbagai forum diskusi bahkan perdebatan dilakukan untuk memberikan unggahan
kepada Pemerintah. Pelaku dunia usaha menilai bahwa ketentuan CSR dalam UU
40/2012 sebagai biaya tambahan yang harus dikeluarkan yang bermuara pada
berkurangnya pendapatan atau keuntungan perusahaan. Roh dari ketentuan CSR ini
sebenarnya ingin menciptakan hubungan saling menguntungkan antara perusahaan
dengan masyarakat sekitar perusahaan. Dikatakan sebagai komensalisme jika
masyarakat diuntungkan dengan keberadaan suatu perusahaan di lingkungannya dan perusahaan
pun tidak ditambah beban dalam melaksanakan kewajiban CSR.
Ketentuan
“di bawah tangan” yang ingin di”otentik”an oleh pelaku dunia usaha adalah
bagaimana perusahaan tidak diberikan beban tambahan melalui CSR melainkan
diberikan kompensasi dalam bentuk pengurangan pajak atau singkatnya kewajiban
CSR dikategorikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak seperti di
negara-negara maju kebanyakan.
Tanggal
14 April 2012, Pemerintah merespon diskusi dan perdebatan CSR dengan menerbitkan
PP 47/2012. Secara moral, setiap perusahaan memiliki tanggung jawab menciptakan
hubungan serasi dan seimbang dengan masyarakat sekitar tapi yang memiliki
kewajiban CSR adalah perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola, memanfaatkan dan
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam (pasal 2 berhubungan dengan
pasal 3).
Harapan
para pelaku dunia usaha tidak sepenuhnya kesampaian karena pasal 5 PP 47/2012 menyatakan
bahwa realisasi anggaran pelaksanaan CSR suatu perusahaan diperhitungkan secara
patut dan wajar sebagai biaya perseroan. Batasan patut dan wajar tidak
dijelaskan dalam PP 47/2012 dalam bentuk persentase atau angka yang bersifat
tiering. Kepatutan dan kewajaran tersebut diambangkan kembali secara luas oleh
pembuat peraturan.
Sifat
terencana juga dituangkan dalam PP 47/2012 dimana dalam merumuskan program CSR,
perusahaan wajib menuangkannya dalam rencana anggaran tahunan perusahaan yang
memerlukan persetujuan Komisaris dan dituangkan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham. Program CSR harus benar-benar telah dianggarkan sebelum perusahaan
melaksanakan kegiatan. Padahal seperti diketahui Indonesia merupakan daerah
rawan bencana tapi sumbangan dalam bentuk bantuan terhadap korban bencana tidak
dapat dikategorikan sebagai CSR jika dibenturkan dengan PP 47/2012. Fungsi
penyimbang perusahaan dalam terjadinya bencana hanya diartikan sebagai
perbuatan sosial dari badan yang berorientasi bisnis dan memegang prinsip-prinsip
ekonomi.
Sifat
wajib yang ditekankan dalam PP 47/2012 menimbulkan konsekuensi sanksi (punishment) yang diletakkan dalam pasal
7. “Sanksi positif” berupa reward juga
diberikan kepada perusahaan yang telah melaksanakan CSR dengan memberikan dalam
penghargaan atau fasilitas. Memang tidak secara gamblang bentuk penghargaan
atau fasilitas yang dimaksud. Harapan pelaku dunia usaha dapat menjadi unggahan
bagi penerbit peraturan lebih khusus di bawah peraturan pemerintah. Kalaupun
nanti diterbitkan aturan sesuai harapan pelaku dunia usaha yaitu penghargaan
atau fasilitas pengurangan penghasilan kena pajak, maka seharusnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU
36/2008) khususnya pasal 6 ayat (1) dan pasal 9
ayat (1), kecuali CSR tersebut diberikan dalam bentuk bea siswa atau magang
atau pelatihan.
Dalam
memenuhi asas kesetaraan seharusnya penerima CSR dapat dikenakan pajak
penghasilan. Pengenaan pajak penghasilan menurut Gunadi selaku Guru Besar
Perpajakan Universitas Indonesia (Bisnis Indonesia: 2007) didasarkan pada
prinsip penambahan
kemampuan ekonomis penerima
CSR.
Yang
menjadi benang merah CSR adalah bagaimana suatu perusahaan yang tumbuh dan
berkembang di suatu kehidupan masyarakat dan juga menumbuh kembangkan
masyarakat. Bagi perusahaan diharapkan
pelaksanaan CSR tidak memberatkan keuangan atau profibilitas perusahaan
sehingga antara masyarakat sekitar dan perusahaan setidaknya terbentuk
simbiosis komensalisme bahkan mutualisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar