Hari Jumat, 27 Juli 2012, saya pergi ke Universitas Sriwijaya menggunakan Trans Musi. Sewaktu hendak naik saya diwajibkan membeli kartu elektronik untuk menggunakan jasa Trans Musi. Jika tidak membeli kartu elektronik maka saya tidak boleh menggunakan jasa Trans Musi. Kartu elektronik seharga Rp. 10.000,- dan ongkos ke Inderalaya sebesar Rp. 7.000,- Oleh karena pramugaranya kurang bersahabat, banyak calon penumpang yang mengurungkan menggunakan Trans Musi. Memang kebanyakan mereka adalah mahasiswa.
Saya rasa menjual kartu seharusnya dengan cara yang lebih santun. Contoh saja Singapura, dengan kartu harga lebih murah dibandingkan cara tunai sehingga orang lebih tertarik menggunakan kartu. Jika harga dengan kartu dan tunai sama lalu apa benefitnya menggunakan kartu bagi penumpang? Apakah hanya dengan alasan bahwa yang tidak membeli kartu tidak ikut membantu mengembangkan Trans Musi? Selalu konsumen yang disalahkan.
Mahasiswa di depan saya sebelumnya hendak menggunakan 1 kartu untuk 5 orang, akan tetapi ditolak pramugara karena menurutnya 1 kartu 1 penumpang. Sambil bergumam dia katakan bahwa banyak mahasiswa yang tidak menempelkan kartu sehingga mereka rugi secara operasional. Setelah mendengarkan celotehan pramugara tersebut akhirnya 5 orang mahasiswa tersebut turun dan beralih menggunakan jasa angkutan lain. Saya rasa juga kurang tepat meletakkan alat sensor diseberang pintu masuk. Jika dalam kondisi padat rasanya banyak yang berlaku curang dalam menggunakan jasa Trans Musi dengan tidak menempelkan kartu di alat sensor. Seharusnya pola arus masuk dan keluar penumpang diubah seperti di negara tetangga yang suka berisik dengan kita, yaitu Singapura. Penumpang yang hendak masuk wajib melalui pintu depan. Sopir memastikan bahwa yang hendak naik menempelkan lebih dahulu kartu pada alat sensor. Pintu yang sempit dapat menjadi alat sortir dan antri yang lebih tertib. Sehingga tugas pramugara hanya memastikan penumpang keluar dengan selamat dan menjad agen penjualan isi ulang kartu.
Pulang dari Inderalaya saya kembali menggunakan Trans Musi, akan tetapi standar layanan yang digunakan berbeda. Pramugara membiarkan 1 kartu digunakan oleh 7 orang mahasiswa dengan menempelkan kartu elektronik sebanyak 7 kali. Apakah memang 1 kartu untuk 1 penumpang atau 1 kartu boleh untuk banyak penumpang? Standar Operasional Prosedur yang tidak jelas atau petugasnya yang tidak taat aturan perusahaan?
Selain itu yang membuat hati saya lebih miris adalah nilai atau norma timur yang sopan santun yang tidak tertanam dalam jiwa-jiwa mahasiswa. Petugas sudah menyatakan bahwa ini adalah Trans Musi terakhir dari Inderalaya. Jam sudah menunjukan pukul 14:23 WIB dan Trans Musi cukup lama menunggu penumpang di halte Perpustakan Universitas Sriwijaya. Banyak mahasiswa yang sudah duduk langsung menggunakan headset sambil membaca buku. Sayang, pintar saja tidak cukup kawan jika kita tidak bermoral. Seorang ibu dengan perut yang sedang hamil tidak mendapatkan tempat duduk. Saya lihat kanan-kiri ternyata tidak ada satu mahasiswa pun yang memperhatikan ibu tersebut. Saya yang telah lulus dari predikat mahasiswa lebih dari 1 dasawarsa yang lalu merelakan kursi saya untuk diberikan kepada ibu hamil itu. Bayangkan perjalanan dari Inderalaya ke Palembang berdiri dalam keadaan hamil. Trans Musi masih menunggu seorang bapak berumur sekitar 50an tahun bersama hendak ikut ke Palembang. Kembali saya dipertontonkan dengan moral mahasiswa yang kembali membiarkan bapak tua ini berdiri dengan bobot yang cukup berat selama hampir 90 menit. Saya pikir wajar mereka seperti itu karena tidak ada tanda bahwa kursi ini untuk orang tua atau cacat seperti di negara tetangga yang katanya tidak bermoral dengan mengeruk pasir tanah air kita. Pramugara pun tidak menyadarkan mahasiswa akan hal itu mereka hanya menyadarkan para mahasiswa untuk membayar sebelum duduk.
Sampai di Palembang sambil berjalan menuju motor, saya merenungkan, berapa banyak angka nol untuk melakukan studi banding ke tetangga jauh dengan hasil angka nol. Operasional moda transportasi massal kita masih jauh panggang dari api. Begitu juga dengan moralitas para kaum muda sebagai generasi penerus. Tidak usah perlu cerita bagaimana hendak mensejahterakan kalau masalah memberikan tempat duduk saya tidak bisa dilaksanakan.