A. Kasus Posisi
Suatu
ketika, notaris mendapat permintaan untuk membantu membuat akta perjanjian
kredit oleh salah satu bank yang memiliki kerjasama dengan notaris. Permintaan
dilayangkan oleh bank melalui surat yang disampaikan melalui staffnya.
Dalam
suratnya, bank selaku kreditur menghendaki untuk dibuatkan akta perjanjian
kredit (perjanjian pokok) berikut perjanjian penjaminan (accesoir). Notaris memiliki perjanjian baku yang dipergunakan oleh
bank. Masing-masing bank memiliki bentuk baku yang akan dipergunakan untuk
melakukan perikatan dengan debiturnya.
Surat
tersebut hanya berisi tentang judul perjanjian yang digunakan, subjek hukum
yang akan melakukan perikatan, objek agunan yang menjadi jaminan atas perikatan
tersebut dan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian baik secara
finansial (seperti bunga dan biaya-biaya) maupun non-finansial.
Notaris
melalui staff akta notaris akan
mempersiapkan kepala akta, badan akta, dan akhir akta sesuai dengan permintaan
kreditur dengan menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum positif yang
berlaku. Setelah selesai dibuat oleh staff akta notaris maka akan kembali
diperiksa oleh notaris mengenai kesesuaiannya dengan surat permintaan berikut
lampiran dokumen legalitas kreditur dan debitur serta kesesuainnya dengan hukum
positif yang berlaku.
Setelah
dinyatakan sesuai oleh notaris maka akan dimintakan waktu dan tempat untuk
pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta tersebut kepada kreditur dan
debitur.
Akta
perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris dalam bahasa Indonesia terdapat
redaksional yang tidak mengikuti tata cara bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
Pada kepala
akta, terdapat penulisan mengenai bulan yang dirasakan tidak mengikuti kaedah
bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti penulisan bulan “Pebruari” atau
“Nopember”. Selain itu terdapat juga singkatan yang menunjukkan suatu
penafsiran yang berbeda seperti “... Undang-undang tentang PT....”.
B. Isu Hukum
Berdasarkan
kasus posisi tersebut, terdapat suatu permasalahan yaitu bagaimana kedudukan akta
yang dibuat tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar?
C. Analisa Hukum
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki konsep melakukan hukum adalah
untuk kebaikan bersama. Manusia adalah (atau paling tidak harus menjadi makhluk
yang berakal dan memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik (atau benar)
untuk dilakukan dengan yang buruk (atau tidak benar) untuk dihindari dalam
mencapai tujuan atau fungsi hukum.
Dalam buku Legal Theory karya
W. Friedmann yang diterjemahkan oleh Mohammad Arifin dalam Teori & Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum
(Susunan I), terbitan Rajawali, di Jakarta, tahun 1990, pada halaman 17
sampai dengan halaman 18, dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah memberikan
bentuk dan ketertiban yang tersirat dalam 3 (tiga) karakteristik fundamental,
yaitu:
1.
Stabilitas, yang
merupakan hal sangat penting bagi tercapainya tujuan hukum. Akan tetapi
keinginan untuk mempertahankan stabilitas seringkali membuat hukum itu menutup
diri dari perubahan dan perkembangan sosial sehingga hukum akhirnya menjadi
suatu hal yang ditentang oleh kekuasaan yang lebih kuat darinya yaitu
kebiasaan;
2.
Formalisme,
yaitu bentuk atau cara yang khas untuk mengatur hubungan sosial. Bentuk
(formil) menjadi sangat penting ketimbang isi atau subtansi dari suatu hukum.
Bahkan terkadang preseden, penjelasan undang-undang, klasula, fakta dan
prosedur lebih menarik perhatian ketimbang subtansi yang terkandung di
dalamnya;
3.
Rasa Aman Dari
Kekacauan, merupakan keinginan luhur manusia untuk terhindar dari segala macam
gangguan. Dalam memenuhi keinginan pribadinya, manusia pada prinsipnya
menghindari perselisihan karena dalam suatu perselisihan hampir tidak ada orang
yang meletakkan asas-asas hukum pada dasar-dasar etis kehidupan sosial.
Hukum yang secara abstrak dikonkretkan melalui bahasa sehingga dapat
dimengerti dan dipahami. Bahasa menjadi media untuk menyampaikan suatu hukum
yang akan ditaati oleh orang yang dapat memahami dan mengerti serta
mengikatnya.
Fungsi bahasa menurut Gorys Keraf dalam bukunya berjudul Komposisi, yang diterbitkan Nusa Indah
di Ende tahun 1994, pada halaman 3 sampai dengan halaman 7, adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk menyatakan
ekspresi, dimana bahasa dipergunakan untuk menyatakan secara terbuka segala
sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan untuk memaklumkan keberadaan pikiran
tersebut;
2.
Sebagai alat
komunikasi, dimana bahasa dipergunakan sebagai saluran penyampaian informasi,
pikiran dan pengetahuan;
3.
Sebagai alat
integrasi dan adaptasi sosial, dimana bahasa dipergunakan sebagai pemersatu
yang dapat membaurkan berbagai lapisan masyarakat dari segi adat istiadat dan
kebudayaan;
4.
Sebagai alat
kontrol sosial, dimana bahasa dipergunakan untuk melakukan kontrol sosial dari
para penguasa serta keterlibatan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul Perihal
Kaedah Hukum, yang diterbitkan P.T. Citra Aditya Bakti di Bandung tahun
1993, pada halaman 34 sampai dengan halaman 38, menjelaskan tentang isi dan
sifat dari kaedah hukum. Dari segi isinya, hukum berisikan tentang :
1.
Suruhan (Gebod);
2.
Larangan (Verbod);
3.
Kebolehan (Mogen).
Sebagai contoh, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terdapat suruhan, larangan dan kebolehan yang tersebar di berbagai
pasal-pasalnya. Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan suruhan dimana suami istri yang melangsungkan perkawinan
di luar Indonesia dalam waktu 1 (satu) tahun setelah perkawinannya disuruh
mendaftarkan perkawinannya di kantor catatan sipil tempat tinggal mereka jika
mereka ingin perkawinannya diakui menurut hukum perkawinan Indonesia. Mengenai
larangan secara tersurat dicontohkan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dimana perkawinan dilarang dilakukan antara 2 (dua)
orang yang antara lain memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah ataupun ke atas. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan berisikan tentang kebolehan dimana sebelum perkawinan, pria
dan wanita dapat mengadakan perjanjian perkawinan secara tertulis.
Dilanjutkan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya
tersebut, dari segi sifat, hukum dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu hukum
imperatif dan hukum fakultatif. Pada umumnya, hukum imperatif dipergunakan
untuk memaksa sedangkan hukum fakultatif dipergunakan sebagai tambahan. Hukum
imperatif tidak boleh tidak dilakukan, dan jika dikaitkan dengan contoh
sebelumnya di atas maka pasal 56 ayat (2) dan pasal 8 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan harus ditaati dan jika ditolak maka tidak dapat
diakui sebagai suatu perbuatan hukum yang sah. Hukum fakultatif boleh tidak
dilakukan, dan jika dikaitkan dengan contoh sebelumnya di atas maka pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak wajib atau harus dilakukan, sehingga dengan tidak
dilakukannya perbuatan hukum tersebut maka perbuatan hukum tersebut sah.
Dalam hukum terdapat asas lex dura
sed tamen scripta, yang diartikan secara bebas sebagai hukum yang
dituliskan dalam undang-undang harus dipahami dan dimengerti. Terdapat
keharusan yang diartikan sebagai mau tidak mau mengikuti perintah undang-undang
atau tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah undang-undang. Sifat
memaksa tersebut timbul dari hukum yang tertulis (undang-undang) bukan dari
hukum yang tidak tertulis (seperti kebiasaan). Hukum tertulis memaksakan agar
orang-orang patuh terhadap apa yang dituliskan dalam undang-undang. Asas ini
sering diartikan sebagai hukum itu kaku karena sifatnya mengharuskan berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Atas ketidakpatuhan terhadap hukum, akan
diberikan hukuman. Di balik asas ini, hukum ditujukan agar terciptanya
kepatuhan dan keteraturan guna kebaikan bersama[1].
Negara Republik Indonesia dalam Undang-undang Dasar 1945 memiliki tujuan (secara makro) untuk menjamin
kepastian, ketertiban dan perlindungan bagi setiap warga negaranya. Secara
mikro khususnya dalam suatu perbuatan hukum perdata, kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara lain, bahwa lalu lintas
hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang dapat menentukan
dengan jelas tentang hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam
masyarakat.
Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang
perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan
pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan
berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan
sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta
otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian
hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.
Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian
sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan
terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan
cepat.
Dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
akta otentik merupakan suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa itu di tempat di mana akta dibuatnya dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Pegawai-pegawai umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1886 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata tersebut adalah notaris, jurusita, pegawai pencatat sipil ataupun
hakim.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran
formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun,
Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta
Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak,
yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris
tersebut, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para penghadap.
Retnowulan Sutantio dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
yang diterbitkan oleh CV. Mandar Maju di Bandung, tahun 1989, pada halaman 60
sampai dengan halaman 61 menyatakan bahwa dalam pembuktian menggunakan akta
otentik, didapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian yaitu:
1. Kekuatan
Pembuktian Formil, membuktikan bahwa di antara para pihak suadah menerangkan
apa yang telah tertulis dalam akta yang ditandatangani para pihak;
2. Kekuatan
Pembuktian Materiil, membuktikan bahwa di antara para pihak benar-benar terjadi
peristiwa sebagaimana tersebut dalam akta yang ditandatangani para pihak;
3. Kekuatan
Mengikat, bahwa antara para pihak pada tanggal dan tempat tersebut sebagaimana
tertulis dalam akta yan ditandatangani para pihak, telah menghadap pengawai
umum dan menerangkan apa yang ditulis kepada pihak III yang memiliki
kepentingan.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang antuk
membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan
bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi
juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan
kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan.
Notaris dalam melakukan jabatannya tunduk pada Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mana sebagian
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris[2].
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memiliki kewenangan lain yang diatur dalam UUJN maupun undang-undang lain[3]. Dalam UUJN, Notaris diberikan kewenangan
untuk[4]:
1.
membuat Akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
2.
mengesahkan tanda tangan
dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
3.
membukukan surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
4.
membuat kopi dari asli
surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
5.
melakukan pengesahan
kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
6.
memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan Akta;
7.
membuat Akta yang berkaitan
dengan pertanahan; atau
8.
membuat Akta risalah lelang
Tersurat dari kewenangan tersebut bahwa seorang
notaris (salah satunya) berwenang membuat akta autentik mengenai perjanjian. Dalam membuat suatu perjanjian, seorang
notaris juga terikat pada aturan khusus tentang syarat sah suatu perjanjian
yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:
1.
sepakat mereka yang
mengikatkan diri;
2.
kecakapan untuk membuat
suatu perikatan;
3.
suatu hal yang tertentu;
4.
suatu sebab yang halal.
Kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tidak cukup
untuk membuat sahnya suatu perjanjian. Suatu sebab yang halal merupakan bagian
penting untuk mensahkan suatu perjanjian selain kesepakatan, kecakapan dan hal
tertentu tersebut.
Dalam pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Suatu sebab yang halal adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum. Yang terlarang dalam hal ini adalah isi dari suatu perjanjian baik itu
formil maupun materiel.
Secara formil, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dimana dalam
pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota
kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warganegara
Indonesia. Bahkan perjanjian yang melibatkan pihak asing pun diwajibkan
menggunakan bahasa Indonesia yang dituliskan juga dalam bahasa nasional pihak
asing dan/atau bahasa Inggris[5].
Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, secara
tegas menyatakan bahwa bahasa Indonesia hukumnya wajib digunakan dalam nota
kesepahaman atau perjanjian. Kewajiban memiliki sifat yang imperatif atau
memaksa yang tidak boleh tidak untuk dilaksanakan.
Perjanjian
yang dibuat di hadapan notaris merupakan produk (akta) notaris. Asli akta yang
dibuat notaris merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan dipelihara oleh
notaris. Hal ini tersurat dari pengertian tentang protokol notaris yang
diartikan sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus
disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan[6].
Arsip menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kerasipan adalah rekaman kegiatan atau peristiwa
dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan
daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi
kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Secara gramatikal dalam www.kbbi.we.id[7]
(Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik) yang diakses pada tanggal 28 Maret
2014, arsip merupakan dokumen tertulis (surat, akta dan sebagainya), lisan
(pidato, ceramah, dan sebagainya) atau bergambar (foto, film, dan sebagainya
dari waktu yang lampau, disimpan dalam media tertulis (kertas), elektronik
(pita kaset, pita video, disket komputer, dan sebagainya), biasanya dikeluarkan
oleh instansi resmi, disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi.
Perjanjian sebagai arsip negara, diwajibkan
untuk dibuat oleh notaris menggunakan bahasa Indonesia[8].
Bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam suatu akta adalah bahasa Indonesia
resmi yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku. Bahasa
Indonesia yang baku adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kata “baik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik
dalam www.kbbi.web.id yang diakses pada tanggal 28 Maret 2014, diartikan
sebagai elok; patut; teratur; apik; rapi; tidak ada celanya. Sedangkan kata
“benar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik dalam www.kbbi.web.id
yang akses pada tanggal 28 Maret 2014, diartikan sebagai sesuai sebagaimana
adanya (seharusnya); betul; tidak salah.
Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan
sesuai dengan kepatutan yang berlaku. Dalam bahasa yang baik, pemilihan kata
per kata yang akan digunakan tidak boleh melanggar asas kepatutan yang hidup
dalam masyarakat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang mengandung
arti yang denotatif bukan konotatif.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan
sesuai dengan seharusnya sebagaimana terdapat dalam suatu aturan yang berlaku.
Bahasa yang benar tentunya harus mengikuti kaidah ejaan yang disempurnakan
secara konsisten.
Secara spesialis, penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar dijelaskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 054a/U/1987 tertanggal 09 September 1987[9]
tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Berdasarkan keputusan menteri ini, ejaan Soewandi yang telah dipergunakan sejak
tahun1947 (menggantikan ejaan van Ophuisjen) yang memiliki ciri khas penggunaan
huruf “oe” sebagai pengganti huruf “u” disempurnakan.
Diawali pada kepada kepala akta yang menurut
pasal 38 ayat (2) UUJN memuat tentang:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
Kaedah penulisan judul menurut
bahasa Indonesia yang baik dan benar seturut ejaan yang disempurnakan antara
lain adalah:
1. huruf pertama dari suatu judul menggunakan
huruf kapital kecuali kata “di”, “ke”, “dari”, ”yang”, “dan”, dan “untuk” yang
tidak terletak di awal judul[10]
2. judul tidak diakhiri dengan titik[11];
Kaedah penulisan nomor menurut
bahasa Indonesia yang baik dan benar seturut ejaan yang disempurnakan adalah
menggunakan angka, yang berdasarkan nomor Arab (1,2,3, dan seterusnya) atau
nomor Romawi (I, II, III, dan seterusnya)[12].
Kaedah penulisan jam, hari, tanggal, bulan, dan
tahun menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar seturut ejaan yang
disempurnakan adalah sebagai berikut:
1. dalam penulisan waktu, untuk
memisahkan jam dengan menit dan dengan detik menggunakan tanda titik. Contoh
dalam ejaan yang disempurnakan adalah pukul 1.35.20 yang ditulis pukul satu
lewat tiga puluh lima menit dua puluh detik[13].
2. penulisan hari diawali dengan
huruf kapital, dimana dicontohkan dalam ejaan yang disempurnakan adalah hari
Jumat. Dalam www.kbbi.web.id yang diakses tanggal 29 Maret 2014, nama hari yang
baik dan benar dalam penulisan adalah sebagai berikut:
a. Minggu/Ahad adalah hari pertama dalam jangka
waktu 1 (satu) minggu (yang jangka waktu yang lamanya 7 [tujuh] hari)
b. Senin/Senen adalah hari kedua dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
c. Selasa adalah hari ketiga dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
d. Rabu/Rebo adalah adalah hari
keempat dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
e. Kamis adalah adalah hari kelima dalam jangka waktu 1 (satu)
minggu
f. Jumat adalah adalah hari keenam
dalam jangka waktu 1 (satu) minggu. Kata “jum’at” tidak memiliki arti dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
g. Sabtu adalah adalah hari ketujuh dalam jangka waktu 1 (satu)
minggu
3. penulisan tanggal, bulan dan tahun
dengan angka dipisahkan dengan tanda hubung. Contoh dalam ejaan yang
disempurnakan adalah 8-4-1973. Seperti halnya penulisan hari, untuk penulisan
bulan juga diawali dengan huruf kapital. Dalam www.kbbi.web.id yang diakses
tanggal 29 Maret 2014, nama bulan yang baik dan benar dalam penulisan adalah
sebagai berikut:
a. Januari adalah bulan pertama dalam tahun
Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
b. Februari adalah bulan kedua dalam tahun
Masehi (28 [dua puluh delapan] hari kecuali tahun kabisat 29 [dua puluh
sembilan] hari);
c. Maret adalah bulan ketiga dalam tahun Masehi
(31 [tiga puluh satu] hari);
d. April adalah bulan keempat dalam tahun Masehi
(30 [tiga puluh] hari);
e. Mei adalah bulan kelima dalam tahun Masehi
(31 [tiga puluh satu] hari);
f. Juni adalah bulan keenam dalam tahun Masehi
(30 [tiga puluh] hari);
g. Juli adalah bulan ketujuh dalam tahun Masehi
(31 [tiga puluh satu] hari);
h. Agustus adalah bulan kedelapan dalam tahun
Masehi (30 [tiga puluh] hari);
i. September adalah bulan kesembilan dalam
tahun Masehi (30 [tiga puluh] hari);
j. Oktober adalah bulan kesepuluh dalam tahun
Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
k. November adalah bulan kesebelas dalam tahun Masehi
(30 [tiga puluh] hari);
l. Desember adalah bulan kedua belas dalam
tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari).
Dalam kbbi.web.id
yang diakses tanggal 29 Maret 2014, kata “Jum’at”, “Pebruari” dan
“Nopember” tidak ditemukan sebagai kata dalam bahasa Indonesia. Secara
subtanstif, kata-kata tersebut secara berurutan tidak dapat disamakan dengan
arti yang terkandung dalam kata “Jumat”, “Februari” dan “November”. Penulisan
kata-kata yang tidak mengandung arti dalam suatu akta tentu akan membuat
keterangan tentang waktu dibuatnya akta tidak dapat diketahui secara
substantif.
Penulisan yang baik dan benar untuk sebuah huruf
dijelaskan pada angka III tentang Penulisan Kata, huruf J tentang Angka dan
Lambang Bilangan, Lampiran SK Mendikbud tersebut. Penulisan bilangan utuh
dicontohkan dengan angka “222” yang ditulis “dua ratus dua puluh dua”. Pada
umumnya untuk angka 222 ditulis dengan “duaratus duapuluh dua”. Dalam
www.kbbi.web.id, yang diakses pada tanggal 1 April 2014, kata “duaratus” tidak
ditemukan artinya, dan yang memiliki arti adalah kata “ratus” yaitu satuan
bilangan kelipatan seratus yang dilambangkan dengan dua nol (00) di belakang
angka 1–9.
Jika kaitkan dengan pasal 186 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa jumlah uang yang ditulis lengkap
dengan huruf dan juga dengan angka, bila terdapat perbedaan maka yang berlaku
adalah jumlah yang ditulis lengkap dengan huruf, maka dalam hal ini jika
terjadi perbedaan dengan angka yang ditulis, maka huruf yang dipergunakan pun
tidak dapat diberlakukan karena tidak susunan huruf yang menjelaskan angka
tidak memiliki arti secara substantif.
Pada badan akta khususnya isi akta juga terdapat
tulisan “...0,5% (nol koma lima persen)....”. Dalam penjelasan lanjutannya juga
tertulis penulisan bilangan pecahan yang baik dan benar, yang mana dicontohkan
dengan angka “1,2” yang ditulis “satu dua persepuluh”[14].
Jika dikaitkan dengan isu sebelumnya maka seharusnya “0,5%” ditulis menjadi
“lima persepuluh persen”.
Selain harus mengikuti kaedah bahasa Indonesia
yang baik dan benar dalam rumusan ejaan yang disempurnakan, penulisan formil
suatu akta juga mengacu pada UUJN. Tata cara penulisan suatu akta yang diatur
dalam pasal 42 UUJN adalah:
1. dituliskan
dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak
menggunakan singkatan;
2. semua
bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam
akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus
didahului dengan angka.
Sanksi terhadap suatu akta yang secara formil tidak
sesuai dengan UUJN antara lain dapat menurunkan peringkat pembuktiannya hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila
notaris tersebut:
- tidak ditandatangani
oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris (serta penerjemah resmi),
kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan
dengan menyebutkan alasannya
- tidak menegaskan
tentang pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan pada
akhir Akta
- merubah isi akta
dengan dihapus dan/atau ditulis tindih;
- tidak diberi tanda
pengesahan lain pada sisi kiri akta atau pada akhir akta sebelum penutup
akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembaran
tambahan, dan/atau diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris atas penggantian,
penambahan, pencoretan, dan penyisipan pada isi akta.
- melakukan Pembetulan
terhadap kesalahan ketik atau tulis pada minuta yang telah ditandatangani,
tidak dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan
dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta
Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara
pembetulan.
- tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38[15],
Pasal 39[16],
dan Pasal 40[17]
UUJN
- tidak membacakan Akta
di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang
saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di
bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,
dan Notaris[18];
- tidak menyatakan bahwa
tidak dilakukan pembacaan terhadap penghadap yang menghendaki agar Akta tidak
dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami
isinya, pada penutup Akta serta melakukan pemarafan pada setiap halaman
Minuta Akta oleh penghadap, saksi, dan Notaris[19].
- Tidak melaksanakan
ketentuan pasal 50 ayat (1)[20],
ayat (2)[21],
ayat (3)[22]
dan ayat (4)[23]
Kesalahan
substantif dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak dapat dalam suatu akta
tidak akan memberikan sanksi apapun kepada notaris yang membuatnya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Hukum
(secara abstrak) dapat dimengerti dan dipahami jika dimediakan dengan bahasa
(secara konkret). (Minuta) Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris merupakan
arsip negara yang wajib dituliskan dalam bahasa Indonesia secara resmi yaitu
bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Tata cara
penulisan suatu akta notaris dilakukan turun-temurun dari
pendahulu-pendahulunya. Sesuatu yang biasa belum tentu baik dan benar. Penulisan
substantif kata per kata haruslah mengandung arti yang dapat berlaku dan
mengikat para pihak yang mengikatkan diri. Bahkan perjanjian juga dapat
mengikat bagi pihak III yang memiliki kepentingan terhadap para pihak. Syarat
formil dari suatu akta lebih dipentingkan ketimbang syarat substantif (secara
gramatikal).
Penulisan
yang tidak mengikuti kaedah bahasa Indonesia yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan dapat dimintakan batal demi hukum karena tidak mengikuti apa
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan dibatalkannya demi
hukum maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
B. Rekomendasi
Agar
suatu akta notaris dapat memiliki kebenaran secara substantif (gramatikal) maka
terdapat 2 (dua) rekomendasi untuk meminimalisir kesalahan substantif tersebut,
yaitu:
1.
Program studi kenotariatan hendaknya
memasukkan mata kuiah tentang Bahasa Indonesia, agar notaris sejak mahasiswa
sudah dibekali dengan ilmu pengetahuan tentang bahasa Indonesia yang baik dan
benar, sehingga setelah menjadi notaris dapat membuat akta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara substantif gramatikal.
2.
Diwajibkan kepada notaris untuk
mempekerjakan seorang staff yang memiliki latar belakang displin ilmu bahasa
Indonesia. Staff tersebut bertugas untuk mempersiapkan dan melakukan verifikasi
atas kata per kata dari suatu akta agar sesuai dengan patuh terhadap kedah
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Gorys Keraf, Komposisi, Ende: Nusa Indah, 1994
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal
Kaedah Hukum, Bandung: P.T. Citra
Aditya Bakti, 1993
R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata=Burgelijk Wetboek: dengan tambahan Undang-undang
Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, diindonesiakan oleh, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV. Mandar
Maju, 1989
W. Friedmann, Legal Theory, terjemahan Mohammad
Arifin, Teori & Filsafat Hukum:
Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum (Susunan I), Jakarta: Rajawali, 1990
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/pedoman_umum-ejaan_yang_disempurnakan.pdf,
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
054a/U/1987 tertanggal 09 September 1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia, tanggal unduh 20 Januari 2014
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/UU_2009_24.pdf,
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, tanggal unduh 3 Maret 2014
http://dispenda.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=bphtb-no-1-tahun-2011,
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan, tanggal akses 14 Februari 2014.
http://kbbi.we.id
http://prokum.esdm.go.id/uu/2007/uu-40-2007.pdf,
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tanggal unduh 2
Desember 2013
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/uu302004.pdf,
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tanggal unduh 2
Maret 2014
http://richohandoko.wordpress.com/2011/02/15/lex-dura-sed-tamen-scripta/
http://www.bpn.go.id/DesktopModules/EasyDNNNews/DocumentDownload.ashx?portalid=0&moduleid=1671&articleid=668&documentid=701,
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, tanggal unduh 3 Maret 2014
http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2014/02/04/u/u/uu_no.02-2014.pdf,
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tanggal unduh 2 Maret 2014
www. legalitas.org, Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) Staatsblad 1847-23, tanggal unduh 2
September 2007
[1]http://richohandoko.wordpress.com/2011/02/15/lex-dura-sed-tamen-scripta/
tanggal akses 28 Maret 2014
[2]selanjutnya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mana sebagian
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, cukup ditulis “UUJN”
[3]Pasal 1 angka 1 UUJN
[4]Pasal 15 dan Pasal 16 UUJN
[5]Pasal 31 ayat (2) Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan
[6]Pasal 1 angka 8 dan angka 13 UUJN
[7]Kamus Besar Bahasa Indonesia
versi online/dalam jaringan yang mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III dari Kementerian Pendidikan Nasional atau Pusat Bahasa
[8]Pasal 43 UUJN
[9]Selanjutnya Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 054a/U/1987
tertanggal 09 September 1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia ditulis “SK Mendikbud”
[10]Angka II tentang Pemakaian Huruf
Kapital dan Huruf Miring, huruf A, angka 12, Lampiran SK Mendikbud
[11]Angka V tentang Pemakaian Tanda
Baca, huruf A tentang Titik, angka 7, Lampiran SK Mendikbud
[12]Angka III tentang Penulisan Kata,
huruf J tentang Angka dan Lambang Bilangan, angka 1, Lampiran SK Mendikbud
[13]Angka V tentang Pemakaian Tanda
Baca, huruf A tentang Titik, angka 3, Lampiran SK Mendikbud
[14]Angka III tentang Penulisan Kata,
huruf J tentang Angka dan Lambang Bilangan, angka 5, Lampiran SK Mendikbud
[15]Setiap Akta terdiri atas (a.) awal Akta atau kepala Akta; (b.) badan Akta;
dan (c.) akhir atau penutup Akta. Awal Akta atau kepala Akta memuat: (a.) judul
Akta; (b.) nomor Akta; (c.) jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan (d.) nama
lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Badan Akta memuat: (a.) nama lengkap,
tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat
tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; (b.) keterangan
mengenai kedudukan bertindak penghadap; (c.) isi Akta yang merupakan kehendak
dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan (d.) nama lengkap, tempat dan
tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari
tiap-tiap saksi pengenal.
Akhir atau penutup Akta memuat: (a.) uraian tentang
pembacaan Akta; (b.) uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan
atau penerjemahan Akta jika ada; (c.) nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta;
dan (d.) uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,
pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya. Akta Notaris Pengganti
dan Pejabat Sementara Notaris, juga memuat nomor dan tanggal penetapan
pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.
[16]Penghadap harus memenuhi paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun
atau telah menikah; dan cakap melakukan perbuatan hukum. Penghadap harus
dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah
dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap
lainnya. Pengenalan tersebut dinyatakan secara tegas dalam Akta.
[17]Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua)
orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. Saksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut: (a.) paling rendah berumur 18 (delapan belas)
tahun atau sebelumnya telah menikah; (b.) cakap melakukan perbuatan hukum; (c.)
mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta; (d.) dapat membubuhkan tanda tangan
dan paraf; dan (e.) tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. Saksi
harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan
tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. Pengenalan
atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas
dalam Akta.
[18]Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN
[19]Pasal 16 ayat (7) UUJN
[20]Jika dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka,
pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan
yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan
pada sisi kiri Akta.
[21]Pencoretan dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain
oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
[22]Dalam hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan, perubahan itu
dilakukan pada sisi kiri Akta.
[23]Pada
penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atas
pencoretan.