Terdapat seorang keturunan Tionghoa non muslim yang
meninggalkan seorang istri dan 4 (empat) orang anaknya. Untuk membuktikan hak
dan kewenangannya, para ahli waris hendak membuat surat keterangan waris, masalahnya
siapayang berhak dan berwenang membuat Surat Keterangan Waris?
Pada prinsipnya tidak ada perundangan yang secara tersurat
menyatakan tentang lembaga yang berwenang menerbitkan Surat Keterangan Mewaris.
Dalam Surat Dirjen Agraria (Kepala Direktorat Pendapatan
Tanah) nomor Dpt/12/63/12/69 tanggal 20-12-1969 jo. Surat (ada juga yang menulis Fatwa)
Mahkamah Agung tanggal 25-3-1991 nomor KMA/041/III/1991 dan Surat Direktur
Hukum nomor MA/Kumdil/171V/K/1991 tanggal 8-5-1991 (dimana semua surat tersebut
tidak pernah penulis lihat kata per katanya atau hanya dari artikel pada http://ditjenpp.kemenkumham.go.id),
diatur kewenangan pembuat Surat Keterangan Waris, yaitu:
1.
Golongan Barat (Eropa) dan keturunan Tionghoa dibuat
oleh notaris;
2.
Golongan Pribumi dibuat oleh ahli waris disaksikan
Lurah dan diketahui Camat;
3.
Golongan asing lainnya dibuat oleh Balai Harta
Peninggalan
Jika dilihat dari lembaga yang menerbitkan surat itu, Dirjen
Agraria, seharusnya penentuan pembuat keterangan waris ini hanya diberlakuan
untuk kepentingan agraria bukan kepentingan yang lain. Kedudukan Surat atau Fatwa
dari Mahkamah Agung, dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011,
diakui sebagai perundangan apabila diperintahkan oleh perundangan yang lebih
tinggi. Fatwa Mahkamah Agung dibuat atas permintaan
suatu lembaga untuk menyelesaikan suatu masalah pada lembaga tersebut sedangkan
surat Mahkamah Agung dibuat untuk membimbing secara administratif jajaran
peradilan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah saat ini masih berlaku
golongan penduduk di Indonesia?
Golongan penduduk diberlakukan pada zaman Belanda melalui
Indische Staatregeling (IS) pasal 131 ayat 1 sub (a) jo. Pasal 163, dimana
dinyatakan bahwa golongan penduduk di Hindia Belanda adalah golongan Eropa, golongan
pribumi, dan golongan timur asing. Setelah menjadi Indonesia, terdapat
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia dan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berikut
perubahannya melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013.
Dalam kedua Undang-undang tersebut tersurat bahwa penduduk
di Indonesia hanya ada warga negara Indonesia dan warga negara asing. Warga
negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang
disahkan dengan perundangan sebagai warganegara Indonesia. Orang Indonesia asli
diartikan sebagai orang yang sejak lahir tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain atas kehendaknya selain warga negara Indonesia.
Jadi golongan penduduk di Indonesia sudah tidak memiliki dasar
hukum yang positif dan peraturan pelaksananya seharusnya tidak memiliki
kekuatan hukum lagi.
Bagaimana pengaturan pembuat keterangan waris sekarang?
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dinyatakan bahwa penentuan siapa yang menjadi ahli waris dan
bagiannya masing-masing untuk yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Bagi orang Islam, penentuan ahli waris dilakukan melalui
Pengadilan Agama bukan melalui Lurah atau Camat, karena hal tersebut
bertentangan dengan Undang-undang terkini.
Tidak ada pengaturan
secara tersurat menyatakan notaris diperkenankan membuat Keterangan Waris.
Notaris hanya memiliki kewenangan untuk membuat wasiat (pasal 16 ayat 1 huruf
[h] Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-undang nomor 2 Tahun 2014) dan
akta pemisahaan harta waris (pasal 1121 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Hanya tafsiran dari para ahli bahwa selain yang beragama Islam, keterangan
waris dibuat oleh notaris, peradilan umum hanya memiliki kewenangan jika
terjadi perselisihan tentang waris (pasal 956 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata)
Jadi menurut penulis, keterangan waris yag dibuat
berdasarkan golongan dapat dilakukan jika menyangkut agaria dan selebihnya
keterangan waris dibuat berdasarkan agama, dimana agama Islam dilakukan oleh
peradilan agama sedangkan non-Islam tidak secara jelas dinyatakan dalam
perundangan.