Rabu, 06 Oktober 2010

Naik Kereta Api... Tut... Tut... Tut...

Tanggal 17 Agustus 2010, saya harus kembali ke Medan dari Rantau Prapat. Saya memilih menggunakan jasa kereta api. Informasi dari orang sekitaran, kereta api bertolak pukul 23:00 WIB dan tiba di Medan subuh tanggal 17 Agustus 2010. Jam tangan saya masih menunjukkan pukul 20:15 WIB dan pedagang kaki lima di depan stasiun menyatakan bahwa loket penjualan baru dibuka pukul 21:00 WIB. Saya harus menunggu sekitar 45 menit.
Di depan loket telah berdiri 2 orang lak-laki dengan pakaian seperti berandalan. Sambil memegang rokok mereka menduduki meja loket penjualan tiket dan pagar pembatas antrian. Celotehan mereka terlihat sangat tidak berpendidikan. Kata-kata kasar terus keluar dari mulut mereka. Tak lama masuk lagi 2 orang temannya yang tanpa basa-basi langsung berdiri di depan loket dan membaur dengan 2 orang laki-laki yang lebih dulu berdiri di depan loket itu. Kedua orang yang baru datang ini lebih berumur daripada 2 orang pertama sebelumnya. Salah satu dari mereka sepertinya cukup disegani oleh 3 orang lainnya.
Orang disegani ini berpakaian sedikit elegan, dengan kemeja dan celana berbahan kain disertai telepon genggam di saku kemeja. Sebagai orang awam di Rantauprapat, aku tetap antri di depan loket meskipun 4 orang berandal itu tak hentinya mengepulkan asap rokok. Orang yang disegani itu kemudian menghubungi seseorang melalui telepon genggamnya. Dia menanyakan berapa gerbong kereta api eksekutif (mengunakan AC) yang akan diberangkat malam ini ke Medan. Pasti dia menghubungi seseorang yang bekerja di PT. Kereta Api Indonesia.
Ternyata mereka adalah calo tiket. Tidak ada petugas stasiun satu pun yang berjaga di area loket penjualan tiket di stasiun Rantauprapat itu. Para calon penumpang mulai ramai duduk di ruang tunggu tanpa mau berdiri dan antri di depan loket.
Pada kaca loket tertulis maksimal pembelian tiket sebanyak 3 tiket/orang/hari. Jam sudah menunjukan pukul 21:05 WIB, dan tak lama tirai penutup salah satu dari 3 loket dibuka dan semua orang yang duduk di ruang tunggu langsung berdiri dan mulai antri. Tiket pertama dibeli oleh 4 orang calo. "Medan, 3 orang, AC, tempat duduk pisah" kata tiap orang calo itu. Petugas PT. KAI itu terlihat sudah kenal dengan mereka dan tanpa malu-malu menyapa mereka.
Setelah saya mendapatkan tiket seharga Rp. 80.000,- saya keluar dari antrian dan melihat calo yang disegani itu duduk di salah satu becak motor menjajakan 3 tiket yang dibelinya tadi dengan harga Rp. 100.000,- kepada orang yang baru datang.
Kecelakan kereta api di Pemalang mengingatkan saya pada pengalaman saya di atas. Masalah calo adalah perkara kecil yang tidak pernah dapat diselesaikan oleh PT. KAI. Calo hanya teratasi hanya pada musim mudik, selebihnya dibiarkan menjamur dengan alasan cari makan. Masalah pengaturan dan perawatan jalur kereta api adalah perkara besar memerlukan keahlian khusus. Jika kita tidak dapat mengatasi masalah kecil apalagi dibebani untuk mengatasi perkara besar. Orientasi hanya pada kuantitas atau banyaknya penjualan tiket ketimbang kualitas pelayanan.
Sesekali cobalah melihat bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh Kereta Tanah Melayu (KTM) atau PT. KAI-nya Malaysia di KL Sentral. Pelayanan pembelian tiket bak pelayanan perbankan. Tidak ada asap rokok selama menunggu pembelian karcis. Customer service akan memberikan nomor antri loket sesuai tujuan kita. Tak perlu berdiri karena cukup duduk dan tunggu nomor kita tampil layar. Mengenai harga tidak terlalu jauh beda. Untuk perjalanan kereta malam dari Kuala Lumpur dan tiba pagi hari di Singapore seharga 30an ringgit atau sekitar sekitar sembilan puluhan ribu.
Indonesiaku sayang Indonesiaku malang