Jumat, 20 Februari 2015

Kedudukan Akta Notaris yang Dibuat Tidak Sesuai Dengan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

A.      Kasus Posisi
Suatu ketika, notaris mendapat permintaan untuk membantu membuat akta perjanjian kredit oleh salah satu bank yang memiliki kerjasama dengan notaris. Permintaan dilayangkan oleh bank melalui surat yang disampaikan melalui staffnya.
Dalam suratnya, bank selaku kreditur menghendaki untuk dibuatkan akta perjanjian kredit (perjanjian pokok) berikut perjanjian penjaminan (accesoir). Notaris memiliki perjanjian baku yang dipergunakan oleh bank. Masing-masing bank memiliki bentuk baku yang akan dipergunakan untuk melakukan perikatan dengan debiturnya.
Surat tersebut hanya berisi tentang judul perjanjian yang digunakan, subjek hukum yang akan melakukan perikatan, objek agunan yang menjadi jaminan atas perikatan tersebut dan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian baik secara finansial (seperti bunga dan biaya-biaya) maupun non-finansial.
Notaris melalui staff  akta notaris akan mempersiapkan kepala akta, badan akta, dan akhir akta sesuai dengan permintaan kreditur dengan menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum positif yang berlaku. Setelah selesai dibuat oleh staff akta notaris maka akan kembali diperiksa oleh notaris mengenai kesesuaiannya dengan surat permintaan berikut lampiran dokumen legalitas kreditur dan debitur serta kesesuainnya dengan hukum positif yang berlaku.
Setelah dinyatakan sesuai oleh notaris maka akan dimintakan waktu dan tempat untuk pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta tersebut kepada kreditur dan debitur.
Akta perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris dalam bahasa Indonesia terdapat redaksional yang tidak mengikuti tata cara bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pada kepala akta, terdapat penulisan mengenai bulan yang dirasakan tidak mengikuti kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti penulisan bulan “Pebruari” atau “Nopember”. Selain itu terdapat juga singkatan yang menunjukkan suatu penafsiran yang berbeda seperti “... Undang-undang tentang PT....”.
  
B.      Isu Hukum
Berdasarkan kasus posisi tersebut, terdapat suatu permasalahan yaitu bagaimana kedudukan akta yang dibuat tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar?
  
C.      Analisa Hukum
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki konsep melakukan hukum adalah untuk kebaikan bersama. Manusia adalah (atau paling tidak harus menjadi makhluk yang berakal dan memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik (atau benar) untuk dilakukan dengan yang buruk (atau tidak benar) untuk dihindari dalam mencapai tujuan atau fungsi hukum.
Dalam buku Legal Theory karya W. Friedmann yang diterjemahkan oleh Mohammad Arifin dalam Teori & Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum (Susunan I), terbitan Rajawali, di Jakarta, tahun 1990, pada halaman 17 sampai dengan halaman 18, dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah memberikan bentuk dan ketertiban yang tersirat dalam 3 (tiga) karakteristik fundamental, yaitu:
1.        Stabilitas, yang merupakan hal sangat penting bagi tercapainya tujuan hukum. Akan tetapi keinginan untuk mempertahankan stabilitas seringkali membuat hukum itu menutup diri dari perubahan dan perkembangan sosial sehingga hukum akhirnya menjadi suatu hal yang ditentang oleh kekuasaan yang lebih kuat darinya yaitu kebiasaan;
2.        Formalisme, yaitu bentuk atau cara yang khas untuk mengatur hubungan sosial. Bentuk (formil) menjadi sangat penting ketimbang isi atau subtansi dari suatu hukum. Bahkan terkadang preseden, penjelasan undang-undang, klasula, fakta dan prosedur lebih menarik perhatian ketimbang subtansi yang terkandung di dalamnya;
3.        Rasa Aman Dari Kekacauan, merupakan keinginan luhur manusia untuk terhindar dari segala macam gangguan. Dalam memenuhi keinginan pribadinya, manusia pada prinsipnya menghindari perselisihan karena dalam suatu perselisihan hampir tidak ada orang yang meletakkan asas-asas hukum pada dasar-dasar etis kehidupan sosial. 
Hukum yang secara abstrak dikonkretkan melalui bahasa sehingga dapat dimengerti dan dipahami. Bahasa menjadi media untuk menyampaikan suatu hukum yang akan ditaati oleh orang yang dapat memahami dan mengerti serta mengikatnya.
Fungsi bahasa menurut Gorys Keraf dalam bukunya berjudul Komposisi, yang diterbitkan Nusa Indah di Ende tahun 1994, pada halaman 3 sampai dengan halaman 7, adalah sebagai berikut:
1.    Untuk menyatakan ekspresi, dimana bahasa dipergunakan untuk menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan untuk memaklumkan keberadaan pikiran tersebut;
2.    Sebagai alat komunikasi, dimana bahasa dipergunakan sebagai saluran penyampaian informasi, pikiran dan pengetahuan;
3.    Sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial, dimana bahasa dipergunakan sebagai pemersatu yang dapat membaurkan berbagai lapisan masyarakat dari segi adat istiadat dan kebudayaan;
4.    Sebagai alat kontrol sosial, dimana bahasa dipergunakan untuk melakukan kontrol sosial dari para penguasa serta keterlibatan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul  Perihal Kaedah Hukum, yang diterbitkan P.T. Citra Aditya Bakti di Bandung tahun 1993, pada halaman 34 sampai dengan halaman 38, menjelaskan tentang isi dan sifat dari kaedah hukum. Dari segi isinya, hukum berisikan tentang :
1.    Suruhan (Gebod);
2.    Larangan (Verbod);
3.    Kebolehan (Mogen).
Sebagai contoh, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat suruhan, larangan dan kebolehan yang tersebar di berbagai pasal-pasalnya. Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suruhan dimana suami istri yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia dalam waktu 1 (satu) tahun setelah perkawinannya disuruh mendaftarkan perkawinannya di kantor catatan sipil tempat tinggal mereka jika mereka ingin perkawinannya diakui menurut hukum perkawinan Indonesia. Mengenai larangan secara tersurat dicontohkan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana perkawinan dilarang dilakukan antara 2 (dua) orang yang antara lain memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berisikan tentang kebolehan dimana sebelum perkawinan, pria dan wanita dapat mengadakan perjanjian perkawinan secara tertulis. 
Dilanjutkan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya tersebut, dari segi sifat, hukum dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu hukum imperatif dan hukum fakultatif. Pada umumnya, hukum imperatif dipergunakan untuk memaksa sedangkan hukum fakultatif dipergunakan sebagai tambahan. Hukum imperatif tidak boleh tidak dilakukan, dan jika dikaitkan dengan contoh sebelumnya di atas maka pasal 56 ayat (2) dan pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus ditaati dan jika ditolak maka tidak dapat diakui sebagai suatu perbuatan hukum yang sah. Hukum fakultatif boleh tidak dilakukan, dan jika dikaitkan dengan contoh sebelumnya di atas maka pasal  29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak wajib atau harus dilakukan, sehingga dengan tidak dilakukannya perbuatan hukum tersebut maka perbuatan hukum tersebut sah.
Dalam hukum terdapat asas lex dura sed tamen scripta, yang diartikan secara bebas sebagai hukum yang dituliskan dalam undang-undang harus dipahami dan dimengerti. Terdapat keharusan yang diartikan sebagai mau tidak mau mengikuti perintah undang-undang atau tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah undang-undang. Sifat memaksa tersebut timbul dari hukum yang tertulis (undang-undang) bukan dari hukum yang tidak tertulis (seperti kebiasaan). Hukum tertulis memaksakan agar orang-orang patuh terhadap apa yang dituliskan dalam undang-undang. Asas ini sering diartikan sebagai hukum itu kaku karena sifatnya mengharuskan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Atas ketidakpatuhan terhadap hukum, akan diberikan hukuman. Di balik asas ini, hukum ditujukan agar terciptanya kepatuhan dan keteraturan guna kebaikan bersama[1].
Negara Republik Indonesia dalam Undang-undang Dasar 1945  memiliki tujuan (secara makro) untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan bagi setiap warga negaranya. Secara mikro khususnya dalam suatu perbuatan hukum perdata, kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang dapat menentukan dengan jelas tentang hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akta otentik merupakan suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa itu di tempat di mana akta dibuatnya dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Pegawai-pegawai umum sebagaimana  dimaksud dalam pasal 1886 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut adalah notaris, jurusita, pegawai pencatat sipil ataupun hakim.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris tersebut, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para penghadap.
Retnowulan Sutantio dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, yang diterbitkan oleh CV. Mandar Maju di Bandung, tahun 1989, pada halaman 60 sampai dengan halaman 61 menyatakan bahwa dalam pembuktian menggunakan akta otentik, didapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian yaitu:
1.    Kekuatan Pembuktian Formil, membuktikan bahwa di antara para pihak suadah menerangkan apa yang telah tertulis dalam akta yang ditandatangani para pihak;
2.    Kekuatan Pembuktian Materiil, membuktikan bahwa di antara para pihak benar-benar terjadi peristiwa sebagaimana tersebut dalam akta yang ditandatangani para pihak;
3.    Kekuatan Mengikat, bahwa antara para pihak pada tanggal dan tempat tersebut sebagaimana tertulis dalam akta yan ditandatangani para pihak, telah menghadap pengawai umum dan menerangkan apa yang ditulis kepada pihak III yang memiliki kepentingan.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang antuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan.
Notaris dalam melakukan jabatannya tunduk pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mana sebagian telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris[2].
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lain yang diatur dalam UUJN maupun undang-undang lain[3]Dalam UUJN, Notaris diberikan kewenangan untuk[4]:
1.    membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
2.    mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
3.    membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
4.    membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
5.    melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
6.    memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
7.    membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
8.    membuat Akta risalah lelang
Tersurat dari kewenangan tersebut bahwa seorang notaris (salah satunya) berwenang membuat akta autentik mengenai perjanjian.  Dalam membuat suatu perjanjian, seorang notaris juga terikat pada aturan khusus tentang syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:
1.    sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2.    kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    suatu hal yang tertentu;
4.    suatu sebab yang halal.
Kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tidak cukup untuk membuat sahnya suatu perjanjian. Suatu sebab yang halal merupakan bagian penting untuk mensahkan suatu perjanjian selain kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tersebut.
Dalam pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Suatu sebab yang halal adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Yang terlarang dalam hal ini adalah isi dari suatu perjanjian baik itu formil maupun materiel.  
Secara formil, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dimana dalam pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warganegara Indonesia. Bahkan perjanjian yang melibatkan pihak asing pun diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang dituliskan juga dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris[5].
Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, secara tegas menyatakan bahwa bahasa Indonesia hukumnya wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian. Kewajiban memiliki sifat yang imperatif atau memaksa yang tidak boleh tidak untuk dilaksanakan.
 Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris merupakan produk (akta) notaris. Asli akta yang dibuat notaris merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan dipelihara oleh notaris. Hal ini tersurat dari pengertian tentang protokol notaris yang diartikan sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan[6].
Arsip menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kerasipan adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara gramatikal dalam www.kbbi.we.id[7] (Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik) yang diakses pada tanggal 28 Maret 2014, arsip merupakan dokumen tertulis (surat, akta dan sebagainya), lisan (pidato, ceramah, dan sebagainya) atau bergambar (foto, film, dan sebagainya dari waktu yang lampau, disimpan dalam media tertulis (kertas), elektronik (pita kaset, pita video, disket komputer, dan sebagainya), biasanya dikeluarkan oleh instansi resmi, disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi.
Perjanjian sebagai arsip negara, diwajibkan untuk dibuat oleh notaris menggunakan bahasa Indonesia[8]. Bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam suatu akta adalah bahasa Indonesia resmi yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku. Bahasa Indonesia yang baku adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kata “baik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik dalam www.kbbi.web.id yang diakses pada tanggal 28 Maret 2014, diartikan sebagai elok; patut; teratur; apik; rapi; tidak ada celanya. Sedangkan kata “benar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik dalam www.kbbi.web.id yang akses pada tanggal 28 Maret 2014, diartikan sebagai sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah.
Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kepatutan yang berlaku. Dalam bahasa yang baik, pemilihan kata per kata yang akan digunakan tidak boleh melanggar asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang mengandung arti yang denotatif bukan konotatif.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan seharusnya sebagaimana terdapat dalam suatu aturan yang berlaku. Bahasa yang benar tentunya harus mengikuti kaidah ejaan yang disempurnakan secara konsisten.
Secara spesialis, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dijelaskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 054a/U/1987 tertanggal 09 September 1987[9] tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Berdasarkan keputusan menteri ini, ejaan Soewandi yang telah dipergunakan sejak tahun1947 (menggantikan ejaan van Ophuisjen) yang memiliki ciri khas penggunaan huruf “oe” sebagai pengganti huruf “u” disempurnakan.
Diawali pada kepada kepala akta yang menurut pasal 38 ayat (2) UUJN memuat tentang:
a.  judul akta;
b. nomor akta;
c.  jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d.  nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
            Kaedah penulisan judul menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar seturut ejaan yang disempurnakan antara lain adalah:
1.  huruf pertama dari suatu judul menggunakan huruf kapital kecuali kata “di”, “ke”, “dari”, ”yang”, “dan”, dan “untuk” yang tidak terletak di awal judul[10]
2.  judul tidak diakhiri dengan titik[11];
            Kaedah penulisan nomor menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar seturut ejaan yang disempurnakan adalah menggunakan angka, yang berdasarkan nomor Arab (1,2,3, dan seterusnya) atau nomor Romawi (I, II, III, dan seterusnya)[12].
            Kaedah penulisan jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar seturut ejaan yang disempurnakan adalah sebagai berikut:
1.  dalam penulisan waktu, untuk memisahkan jam dengan menit dan dengan detik menggunakan tanda titik. Contoh dalam ejaan yang disempurnakan adalah pukul 1.35.20 yang ditulis pukul satu lewat tiga puluh lima menit dua puluh detik[13].
2.  penulisan hari diawali dengan huruf kapital, dimana dicontohkan dalam ejaan yang disempurnakan adalah hari Jumat. Dalam www.kbbi.web.id yang diakses tanggal 29 Maret 2014, nama hari yang baik dan benar dalam penulisan adalah sebagai berikut:
     a.    Minggu/Ahad adalah hari pertama dalam jangka waktu 1 (satu) minggu (yang jangka waktu yang lamanya 7 [tujuh] hari)
b.    Senin/Senen adalah hari kedua dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
c.    Selasa adalah hari ketiga dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
d.    Rabu/Rebo adalah adalah hari keempat dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
e.    Kamis adalah adalah hari kelima dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
f.     Jumat adalah adalah hari keenam dalam jangka waktu 1 (satu) minggu. Kata “jum’at” tidak memiliki arti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
g.    Sabtu adalah adalah hari ketujuh dalam jangka waktu 1 (satu) minggu
3.  penulisan tanggal, bulan dan tahun dengan angka dipisahkan dengan tanda hubung. Contoh dalam ejaan yang disempurnakan adalah 8-4-1973. Seperti halnya penulisan hari, untuk penulisan bulan juga diawali dengan huruf kapital. Dalam www.kbbi.web.id yang diakses tanggal 29 Maret 2014, nama bulan yang baik dan benar dalam penulisan adalah sebagai berikut:
     a.    Januari adalah bulan pertama dalam tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
     b.    Februari adalah bulan kedua dalam tahun Masehi (28 [dua puluh delapan] hari kecuali tahun kabisat 29 [dua puluh sembilan] hari);
     c.    Maret adalah bulan ketiga dalam tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
     d.    April adalah bulan keempat dalam tahun Masehi (30 [tiga puluh] hari);
     e.    Mei adalah bulan kelima dalam tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
     f.     Juni adalah bulan keenam dalam tahun Masehi (30 [tiga puluh] hari);
     g.    Juli adalah bulan ketujuh dalam tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
     h.    Agustus adalah bulan kedelapan dalam tahun Masehi (30 [tiga puluh] hari);
     i.     September adalah bulan kesembilan dalam tahun Masehi (30 [tiga puluh] hari);
     j.     Oktober adalah bulan kesepuluh dalam tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari);
     k.    November adalah bulan kesebelas dalam tahun Masehi (30 [tiga puluh] hari);
     l.     Desember adalah bulan kedua belas dalam tahun Masehi (31 [tiga puluh satu] hari).
Dalam kbbi.web.id yang diakses tanggal 29 Maret 2014, kata “Jum’at”, “Pebruari” dan “Nopember” tidak ditemukan sebagai kata dalam bahasa Indonesia. Secara subtanstif, kata-kata tersebut secara berurutan tidak dapat disamakan dengan arti yang terkandung dalam kata “Jumat”, “Februari” dan “November”. Penulisan kata-kata yang tidak mengandung arti dalam suatu akta tentu akan membuat keterangan tentang waktu dibuatnya akta tidak dapat diketahui secara substantif.
Penulisan yang baik dan benar untuk sebuah huruf dijelaskan pada angka III tentang Penulisan Kata, huruf J tentang Angka dan Lambang Bilangan, Lampiran SK Mendikbud tersebut. Penulisan bilangan utuh dicontohkan dengan angka “222” yang ditulis “dua ratus dua puluh dua”. Pada umumnya untuk angka 222 ditulis dengan “duaratus duapuluh dua”. Dalam www.kbbi.web.id, yang diakses pada tanggal 1 April 2014, kata “duaratus” tidak ditemukan artinya, dan yang memiliki arti adalah kata “ratus” yaitu satuan bilangan kelipatan seratus yang dilambangkan dengan dua nol (00) di belakang angka 1–9.
Jika kaitkan dengan pasal 186 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa jumlah uang yang ditulis lengkap dengan huruf dan juga dengan angka, bila terdapat perbedaan maka yang berlaku adalah jumlah yang ditulis lengkap dengan huruf, maka dalam hal ini jika terjadi perbedaan dengan angka yang ditulis, maka huruf yang dipergunakan pun tidak dapat diberlakukan karena tidak susunan huruf yang menjelaskan angka tidak memiliki arti secara substantif.
Pada badan akta khususnya isi akta juga terdapat tulisan “...0,5% (nol koma lima persen)....”. Dalam penjelasan lanjutannya juga tertulis penulisan bilangan pecahan yang baik dan benar, yang mana dicontohkan dengan angka “1,2” yang ditulis “satu dua persepuluh”[14]. Jika dikaitkan dengan isu sebelumnya maka seharusnya “0,5%” ditulis menjadi “lima persepuluh persen”.
Selain harus mengikuti kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam rumusan ejaan yang disempurnakan, penulisan formil suatu akta juga mengacu pada UUJN. Tata cara penulisan suatu akta yang diatur dalam pasal 42 UUJN adalah:
1.    dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan;
2.    semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka.
Sanksi terhadap suatu akta yang secara formil tidak sesuai dengan UUJN antara lain dapat menurunkan peringkat pembuktiannya hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila notaris tersebut:
  1. tidak ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris (serta penerjemah resmi), kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya
  2. tidak menegaskan tentang pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan pada akhir Akta
  3. merubah isi akta dengan dihapus dan/atau ditulis tindih;
  4. tidak diberi tanda pengesahan lain pada sisi kiri akta atau pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembaran tambahan, dan/atau diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris atas penggantian, penambahan, pencoretan, dan penyisipan pada isi akta.
  5. melakukan Pembetulan terhadap kesalahan ketik atau tulis pada minuta yang telah ditandatangani, tidak dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.
  6. tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38[15], Pasal 39[16], dan Pasal 40[17] UUJN
  7. tidak membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris[18];
  8. tidak menyatakan bahwa tidak dilakukan pembacaan terhadap penghadap  yang menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, pada penutup Akta serta melakukan pemarafan pada setiap halaman Minuta Akta oleh penghadap, saksi, dan Notaris[19].
  9. Tidak melaksanakan ketentuan pasal 50 ayat (1)[20], ayat (2)[21], ayat (3)[22] dan ayat (4)[23]
Kesalahan substantif dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak dapat dalam suatu akta tidak akan memberikan sanksi apapun kepada notaris yang membuatnya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 
A.  Kesimpulan
Hukum (secara abstrak) dapat dimengerti dan dipahami jika dimediakan dengan bahasa (secara konkret). (Minuta) Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris merupakan arsip negara yang wajib dituliskan dalam bahasa Indonesia secara resmi yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Tata cara penulisan suatu akta notaris dilakukan turun-temurun dari pendahulu-pendahulunya. Sesuatu yang biasa belum tentu baik dan benar. Penulisan substantif kata per kata haruslah mengandung arti yang dapat berlaku dan mengikat para pihak yang mengikatkan diri. Bahkan perjanjian juga dapat mengikat bagi pihak III yang memiliki kepentingan terhadap para pihak. Syarat formil dari suatu akta lebih dipentingkan ketimbang syarat substantif (secara gramatikal).
Penulisan yang tidak mengikuti kaedah bahasa Indonesia yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dapat dimintakan batal demi hukum karena tidak mengikuti apa yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan dibatalkannya demi hukum maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.




B.  Rekomendasi
            Agar suatu akta notaris dapat memiliki kebenaran secara substantif (gramatikal) maka terdapat 2 (dua) rekomendasi untuk meminimalisir kesalahan substantif tersebut, yaitu:
1.    Program studi kenotariatan hendaknya memasukkan mata kuiah tentang Bahasa Indonesia, agar notaris sejak mahasiswa sudah dibekali dengan ilmu pengetahuan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga setelah menjadi notaris dapat membuat akta yang dapat dipertanggungjawabkan secara substantif gramatikal.
2.    Diwajibkan kepada notaris untuk mempekerjakan seorang staff yang memiliki latar belakang displin ilmu bahasa Indonesia. Staff tersebut bertugas untuk mempersiapkan dan melakukan verifikasi atas kata per kata dari suatu akta agar sesuai dengan patuh terhadap kedah bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

DAFTAR PUSTAKA

Gorys Keraf, Komposisi, Ende: Nusa Indah, 1994

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1993

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgelijk Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, diindonesiakan oleh, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989

W. Friedmann, Legal Theory, terjemahan Mohammad Arifin, Teori & Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum (Susunan I), Jakarta: Rajawali, 1990

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/pedoman_umum-ejaan_yang_disempurnakan.pdf, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 054a/U/1987 tertanggal 09 September 1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, tanggal unduh 20 Januari 2014

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/UU_2009_24.pdf, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, tanggal unduh 3 Maret 2014

http://dispenda.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=bphtb-no-1-tahun-2011, Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, tanggal akses 14 Februari 2014.

http://kbbi.we.id

http://prokum.esdm.go.id/uu/2007/uu-40-2007.pdf, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tanggal unduh 2 Desember 2013

http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/uu302004.pdf, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tanggal unduh 2 Maret 2014

http://richohandoko.wordpress.com/2011/02/15/lex-dura-sed-tamen-scripta/

http://www.bpn.go.id/DesktopModules/EasyDNNNews/DocumentDownload.ashx?portalid=0&moduleid=1671&articleid=668&documentid=701, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tanggal unduh 3 Maret 2014

http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2014/02/04/u/u/uu_no.02-2014.pdf, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tanggal unduh 2 Maret 2014

www. legalitas.org, Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) Staatsblad 1847-23, tanggal unduh 2 September 2007



[1]http://richohandoko.wordpress.com/2011/02/15/lex-dura-sed-tamen-scripta/ tanggal akses 28 Maret 2014
[2]selanjutnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mana sebagian telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, cukup ditulis “UUJN”
[3]Pasal 1 angka 1 UUJN
[4]Pasal 15 dan Pasal 16 UUJN
[5]Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
[6]Pasal 1 angka 8 dan angka 13 UUJN
[7]Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online/dalam jaringan yang mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III dari Kementerian Pendidikan Nasional atau Pusat Bahasa
[8]Pasal 43 UUJN
[9]Selanjutnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 054a/U/1987 tertanggal 09 September 1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia ditulis “SK Mendikbud”
[10]Angka II tentang Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring, huruf A, angka 12, Lampiran SK Mendikbud
[11]Angka V tentang Pemakaian Tanda Baca, huruf A tentang Titik, angka 7, Lampiran SK Mendikbud
[12]Angka III tentang Penulisan Kata, huruf J tentang Angka dan Lambang Bilangan, angka 1,  Lampiran SK Mendikbud
[13]Angka V tentang Pemakaian Tanda Baca, huruf A tentang Titik, angka 3, Lampiran SK Mendikbud
[14]Angka III tentang Penulisan Kata, huruf J tentang Angka dan Lambang Bilangan, angka 5,  Lampiran SK Mendikbud
[15]Setiap Akta terdiri atas (a.) awal Akta atau kepala Akta; (b.) badan Akta; dan (c.) akhir atau penutup Akta. Awal Akta atau kepala Akta memuat: (a.) judul Akta; (b.) nomor Akta; (c.) jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan (d.) nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Badan Akta memuat: (a.) nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; (b.) keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; (c.) isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan (d.) nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
Akhir atau penutup Akta memuat: (a.) uraian tentang pembacaan Akta; (b.) uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada; (c.) nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan (d.) uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya. Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.
[16]Penghadap harus memenuhi paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan cakap melakukan perbuatan hukum. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. Pengenalan tersebut dinyatakan secara tegas dalam Akta.
[17]Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. Saksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a.) paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah; (b.) cakap melakukan perbuatan hukum; (c.) mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta; (d.) dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan (e.) tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. Saksi harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta.
[18]Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN
[19]Pasal 16 ayat (7) UUJN
[20]Jika dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri Akta.
[21]Pencoretan dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
[22]Dalam hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan, perubahan itu dilakukan pada sisi kiri Akta.
[23]Pada penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atas pencoretan.