Minggu, 01 Desember 2013

Penerima Wasiat Yang Membunuh Pewasiat

Pada prinsipnya wasiat merupakan kemauan terakhir dari seseorang sebelum meninggal dunia. Kemauan terakhir tersebut hanya dapat ditarik kembali oleh orang yang membuatnya. Wasiat juga dibatasi oleh perintah undang-undang melalui lembaga “legitime portie”. Pemberian wasiat dapat di-inkorting dengan lembaga “legitime portie” apabila pemberian wasiat melanggar kepentingan atau hak dari ahli waris yang memiliki hak legitime portie.
Tidak seperti ahli waris dan penerima hibah yang dapat dibatalkan apabila ahli waris atau penerima hibah membunuh pewaris atau pemberi hibah menurut pasal 838 berhubungan dengan pasal 1688 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam wasiat tidak diatur mengenai hal tersebut, di mana hanya dinyatakan batal untuk menikmati wasiat dari pewasiat kepada penerima wasiat yang memusnahkan atau memalsukan surat wasiat serta orang yang dengan paksaan dan kekerasan menghalangi seseorang mencabut atau mengubah surat wasiat yang telah dibuat (pasal 912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Wasiat sering disebut juga sebagai hibah wasiat karena dimungkinkan bagi pewasiat memberikan syarat untuk pelaksanaan wasiat tersebut seperti hibah. Pewasiat dapat menyatakan kemauan terakhirnya dalam syarat-syarat tertentu seperti wasiat yang diberikannya akan batal apabila penerima wasiat melakukan kejahatan terhadap dirinya.

Jadi, penerima wasiat yang membunuh pewasiat tidak serta merta menjadi batal demi hukum untuk menerima wasiat akan tetapi syarat batal tentang batalnya surat wasiat karena penerima wasiat membunuh pewasiat tersebut hendaknya dinyatakan dalam surat wasiat yang pelaksanaanya mengikat penerima wasiat dan pihak lain setelah pewasiat meninggal dunia. 

Kedudukan Isteri Yang Mewaris Tanpa Keturunan Dalam Hukum Perdata

Pada prinsipnya, hubungan pewaris dan ahli waris dilihat dari sudut pandang persamaan darah (bloedverwantchap). Hal ini termaktub dalam pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dimana kedudukan isteri yang tidak memiliki kesamaan darah dengan pewaris tidak memiliki hak mewaris dari pewaris. Orang tua, kakek-nenek dan keluarga sedarah garis lurus ke atas dengan pewaris merupakan ahli waris dari pewaris. Kedudukan ahli waris dalam pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah atas dasar kesamaan darah dengan pewaris. Pertalian atau kesamaan darah antara suami dan isteri tidak ada sehingga tidak mungkin menjadi ahli waris dari suaminya.
Secara de facto, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara suami dan isteri yang erat bahkan melebihi hubungan antara pewaris dengan keluarga sedarahnya. Setelah menikah, seorang isteri bahkan akan memiliki ikatan batin yang lebih erat ketimbang sesama darah dari suaminya. Fakta ini menimbulkan suatu rasa keadilan bahwa isteri adalah pantas diberikan warisan dari pewaris (suaminya). Atas dasar asas keadilan, pembentuk undang-undang melalui Staatblad 1935-486, menambahkan pasal 852a pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (saat itu Burgelijk Wetboek) yang memberikan isteri kedudukan sebagai ahli waris bersama keturunan pewaris.
Prinsip awal kewarisan adalah menggunakan kesamaan darah. Dalam pasal 852a Kitab Undang-undang Hukum Perdata pun menggunakan prinsip kesamaan darah (keturunan) dengan mengikutsertakan ikatan perkawinan (isteri) sebagai ahli waris. Kedudukan ahli waris atas dasar pertalian darah tidak hanya tampil mewaris sendirian akan tetapi berdampingan dengan ahli waris atas dasar ikatan perkawinan. Apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan, seharusnya isteri mewaris dengan pertalian darah lainnya dengan suaminya yaitu kesamaan darah dalam garis lurus ke atas.

Jadi seorang janda yang tidak memiliki kesamaan darah dan ditinggal mati oleh suaminya tanpa meninggalkan keturunan pada prinsipnya secara historical, tidak dapat tampil sebagai ahli waris tunggal akan tetapi mewaris bersama keluarga sedarah garis lurus ke atas dari pewaris. 

Perbuatan Hukum Suami Pada Saat Pisah Ranjang Dengan Isteri

Pada prinsipnya dengan menikahnya seorang laki-laki dan perempuan maka tercampur harta mereka selama perkawinan mereka berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kawin yang dibuat oleh mereka sesaat sebelum terjadinya perkawinan mereka. Dalam hal pisah ranjang, secara formil, perkawinan tidak menjadi bubar sebelum mendapatkan putusan pengadilan.   
Sebelum melakukan perbuatan hukum untuk menjual harta perkawinan, suami yang telah pisah ranjang dengan isterinya dapat meminta persetujuan dari isterinya bentuk akta otentik. Persetujuan isteri secara notariil akta dapat dilakukan dengan locus dan tempos (tempat dan waktu)  yang tidak bersamaan dengan perbuatan hukum yang dilakukan suami. Akan tetapi tempos, dilakukan sebelum perbuatan hukum suaminya dinyatakan dalam akta notaris.
Apabila persetujuan isteri tidak dapat dimintakan (secara terpisah dan notariil akta), maka berdasarkan undang-undang dilakukan dengan persetujuan yang dipaksakan melalui putusan pengadilan.
Akan tetapi notaris dapat melakukan rechtvinding dengan kewenangan yang dimilikinya yaitu untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Dalam hal ini, notaris dapat membuat suatu akta pernyataan dari suami yang pada prinsipnya melakukan perbuatan penjualan atas harta kekayaannya tanpa disetujui oleh isterinya karena dalam keadaan pisah ranjang yang akan dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan talak atau perceraian dengan isterinya serta menyatakan bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan hukum yang dilakukannya tersebut. Dalam melakukan akta penyataan, dihadirkan juga 2 (dua) saksi pengenal yang dapat diambil sumpahnya untuk menyatakan bahwa isterinya tidak dapat dihadirkan untuk menyetujui oleh karena dalam keadaan pisah ranjang dan akta tersebut dapat dijadikan bukti dalam sidang perceraian yang mungkin dilakukan oleh suami isteri tersebut.

Jadi, apabila terdapat seorang suami yang hendak menjual harta perkawinannya (tanpa perjanjian kawin) dengan tidak menghadirkan isterinya karena telah pisah ranjang dan meja tetapi belum diputus perkawinannya karena cerai, seorang notaris dapat memintakan akta persetujuan isterinya terlebih dahulu atau menggunakan kewenangannya membuat akta pernyataan yang dihadiri oleh 2 (dua) saksi pengenal untuk melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan isterinya. Selama tidak disangkal, maka akta pernyataan tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.