Selasa, 29 Oktober 2013

TANGGUNG JAWAB, HUBUNGAN HUKUM, DAN MEKANISME DALAM LEASING


Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English karya A. S. Hornby, “lease” diartikan sebagai “contract by which the owner of land or building (the lessor) agrees to let another (the lessee) have to use of it for certain time for a fixed money payment (called rent)”. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1196/KMK.01/1991, leasing atau sewa guna usaha diartikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. 
Dari pengertian tersebut, tersurat bahwa subjek hukum dari lembaga leasing, pada prinsipnya hanya terdapat 2 (dua) pihak yaitu pemilik benda (lessor) dan pihak yang menyewa yang memiliki opsi untuk membeli/memiliki benda yang disewanya (lessee). Lessor dalam memenuhi kebutuhan lessee tidak sepenuhnya berdiri sendiri akan tetapi juga dibantu oleh Supplier selaku penjual barang yang hendak disewa oleh lessee dan kreditur selaku pihak yang memberikan bantuan pendanaan lessor dalam membeli barang yang hendak disewakan kepada lessee.
Tanggung jawab dari lessor, pada prinsipnya menyerahkan barang yang akan disewa guna usahakan oleh lesse sesuai dengan permintaan dan perjanjian antara lessor dan lesse. Apabila yang disewa guna usahakan adalah benda tidak bergerak maka bukti pemilikannya juga menjadi tanggung jawab lessor untuk menyimpannya dengan sebaik-baiknya, agar pada saat sejumlah uang lunas dibayar atas sewa objek dan lessee memilih untuk menjadikan hak miliknya, maka bukti pemilikan itu dapat dialihkan. Secara hak kebendaan, lessor juga bertanggung jawab bahwa benda yang disewa guna usahakan juga bebas dari sengketa atau pembebanan hak preferen guna melindungi kepentingan lessee yang mungkin akan menjadi hak miliknya jika semua kewajiban dan jangka waktunya perjanjiannya dengan lessor berakhir. Lessor memiliki kewajiban untuk menatausahakan segala administrasi sehubungan perjanjian dengan lessee  untuk kepentingan kreditur dalam hal pengawasan pinjamannya kepada lessor. Lessor dan tidak memiliki kewajiban membuat perjanjian leasing dengan lessee. Akan tetapi secara de facto, perjanjian sewa guna usaha menjadi kewajiban lessor untuk membuat perjanjian secara baku (standar contract) untuk kepentingan lessor dan lessee. Oleh karena kepemilikan atas nama lessor, pada umumnya, lessor juga bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran pajak atas objek leasing termasuk pajak penghasilan apabila lessee memilih opsi untuk membeli objek leasing.
Lessee memiliki tanggung jawab yang lebih banyak daripada lessor dalam leasing. Lessee dalam leasing memiliki bertanggung jawab sebagai berikut:
1.    Menjaga dan memelihara objek leasing bahkan memperbaikinya apabila terjadi kerusakan;
2.    Membayar sejumlah uang, tapi tidak terbatas, atas:
a.       Biaya sewa selama masa sewa (angsuran), dan biaya pembelian jika memilih opsi untuk membeli, kepada lessor;
b.      Biaya premi asuransi kepada perusahaan asuransi untuk mengalihkan resiko;
c.       Biaya notaris, bea meterai, biaya pembebaan hak preferan atas objek leasing pada saat terjadinya perikatan antara lessor dan lesse, dan biaya penagihan, biaya pengacara, serta biaya sehubungan dengan penyitaan apabila terjadinya wanprestasi;
d.      Biaya balik nama ke atas lessee apabila lessee memilih opsi untuk memiliki/membeli objek leasing sebelumnya.
Tanggung jawab supplier dalam leasing adalah menyediakan barang yang hendak dibeli oleh lessor atau disewa oleh lessee sesuai permintaan dari lessor dan lessee. Selain itu juga, supplier berkewajiban menyerahkan objek leasing seketika setelah dilunasi oleh lessor. Sedangkan tanggung jawab kreditur, menyediakan sejumlah uang sesuai permintaan dan kesepakatan dengan lessor.
Hubungan hukum yang terjadi antara supplier dengan lessor adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Supplier bertindak selaku penjual yang menjual objek yang akan dijadikan objek leasing dan lessor bertindak selaku pembeli dari objek yang dijual oleh supplier. Setelah kegiatan jual beli terlaksana antara supplier dengan lessor, maka hubungan hukum selanjutnya terjadi adalah antara lessor dan lesse. Kedudukan lessor dalam leasing sebagai pihak yang menyewakan barang miliknya sekaligus sebagai lembaga intermediasi yang antara lessee dan supplier dalam hal terdapatnya hak opsi. Objek leasing merupakan jaminan pelaksanaan prestasi yang diperjanjikan oleh lessor dan lessee.
Dalam hal pembelian objek leasing dari supplier tidak sepenuhnya dilakukan oleh lessor, dimana uang pembelian lessor dari supplier dari pihak III dalam hal ini kreditur, maka kedudukan lessor dengan kreditur sebagai hubungan pinjam meminjam. Kreditur memiliki hak tagih kepada lessor dengan jaminan berupa piutang yang dimiliki lessor terhadap lessee.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pengaturan Pembelian Kembali (Buyback) Saham Dalam Pasar Modal di Indonesia

A.    Pendahuluan
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan[1] Nomor 1/SEOJK.04/2013 tertanggal 27 Agustus 2013, dinyatakan bahwa kondisi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013 mengalami tekanan yang tercermin dari harga Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia yang mengalami penurunan cukup signifikan. Penuruan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia sejak tanggal 20 Mei 2013 sampai dengan tanggal 27 Agustus 2013 sebesar 1.247,134 (seribu dua ratus empat puluh tujuh seratus tiga puluh empat perseribu) pon atau sebesar 23,91% (dua puluh tiga sembilan puluh satu perseratus persen).
            Dalam IDX Monthly Statistics Bulan Mei 2013 yang diumumkan oleh Bursa Efek Indonesia[2], tercatat bahwa pada tanggal 20 Mei 2013, Indeks Harga Saham Gabungan mencapai nilai tertinggi ditutup pada posisi 5.214,976 (lima ribu dua ratus empat belas sembilan ratus tujuh puluh enam perseribu) poin. Dalam IDX Monthly Statistics Bulan Agustus 2013[3], tercatat posisi Indeks Harga Saham Gabungan turun ke posisi 3.967,842 (tiga ribu sembilan ratus enam puluh tujuh delapan ratus empat puluh dua perseribu) poin.
            Tekanan perekonomian yang cukup kuat terhadap pasar modal ini, direspon oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menerbitkan suatu peraturan untuk mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan. Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 23 Agustus 2013 menerbitkan Peraturan Nomor 2/POJK.04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan. Peraturan ini diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan mempermudah sekitar 459 (empat ratus lima puluh sembilan) emiten atau perusahaan publik dalam melakukan aksi korporasi dalam pembelian kembali saham (buyback) tanpa melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perusahaan yang berlaku.

B.     Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan pembelian kembali saham dalam pasar modal di Indonesia?
  
C.    Pembahasan
Weston, Mitchel, dan Mulherin mendefinisikan buyback saham atau share repuchase sebagai suatu tindakan perusahaan publik yang membeli sahamnya sendiri baik melalui proses tender offer, open market atau melakukan negosiasi pembelian kembali dari blockholder[4].
            Secara tersurat, pengaturan mengenai buyback, diintepretasikan dalam Bagian Kedua tentang Perlindungan Permodalan dan Kekayaan Perseroan pasal 37 sampai dengan pasal 40 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas[5].
            Perseroan terbatas dapat membeli kembali saham yang dikeluarkannya dengan ketentuan sebagai berikut[6]:
1.  pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih[7] suatu perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan, dan
2.  jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan tidak melebihi dari 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan dalam perseroan.
            Pembelian kembali saham perseroan tidak akan mengakibatkan pengurangan modal kecuali jika saham tersebut ditarik kembali. Perseroan harus terlebih dahulu mengusahakan agar penjualan saham kepada pihak ketiga sebelum dibeli kembali oleh perseroan agar kekayaan bersih tetap lebih besar dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan, dan jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan tidak melebihi dari 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan dalam perseroan.
Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar saham yang dibeli perseroan dibeli dengan harga yang wajar jika pemegang saham tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham dan perseroan berupa tindakan[8]:
1.    Perubahan anggaran dasar
2.    Pengalihan atau penjaminan sebagian besar (lebih dari 50% [lima puluh persen]) kekayaan perseroan
3.    Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
            Pembelian kembali saham oleh perseroan memiliki jangka waktu keberlakuan yaitu hanya selama 3 (tiga) tahun. Dalam jangka waktu tersebut, perseroan diberikan kesempatan untuk mencari pihak yang akan membeli saham yang dimilikinya. Jika dalam jangka waktu tersebut perseroan tidak memiliki pembeli atas saham yang dimilikinya maka saham tersebut akan ditarik kembali dengan cara pengurangan modal.
            Pada prinsipnya pembelian kembali saham oleh perseroan hanya boleh dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham. Akan tetapi Rapat Umum Pemegang Saham dapat menyerahkan kewenangannya kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Jangka waktu ini tidak mutlak karena dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau bahkan ditarik kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham sewaktu-waktu dari Dewan Komisaris.
            Saham yang dibeli kembali oleh perseroan tidak memiliki hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham sehingga tidak dapat diperhitungkan dalam jumlah kuorum. Selain itu, perseroan selaku pemegang saham yang dibeli kembali tidak berhak menerima deviden atas saham yang dimilikinya.
Pembelian kembali saham secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan kekayaan bersih suatu perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan, atau jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan melebihi dari 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan dalam perseroan, adalah batal demi hukum.
Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar saham yang dibeli perseroan dibeli dengan harga yang wajar jika pemegang saham tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham dan perseroan berupa tindakan:
4.    Perubahan anggaran dasar
5.    Pengalihan atau penjaminan sebagian besar (lebih dari 50% [lima puluh persen]) kekayaan perseroan
6.    Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
            Secara umum, ketentuan pembelian saham kembali yang diatur dalam UUPT tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak diatur lain oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal[9]. Khusus untuk perseroan publik berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yaitu UUPM (sebagai lex generalis) berikut segala peraturan yang berada di bawahnya (sebagai lex specialis). Pada prinsipnya hanya perseroan publik yang dapat melakukan kegiatan di pasar modal. Kekhususan kegiatan permodalan perseroan publik membuatnya berbeda dengan perseroan sehingga perlu diadakan pengaturan khusus mengenai perseroan publik.
            Pembentuk undang-undang menjelaskan bahwa pengaturan khusus yang diperkenankan tunduk pada ketentuan di luar Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah ketentuan tentang[10]:
1.    sistem penyetoran modal,
2.    pembelian kembali saham perseroan,
3.    hak suara dan
4.    penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Selain ketentuan tersebut di atas, perseroan publik tetap tunduk pada atau bertentangan dengan UUPT.
Dalam UUPM sebagai lex generalis, tidak dinyatakan mengenai pembelian kembali saham oleh perseroan publik. Dalam pasal 28 ayat (3) UUPM hanya mengatur ketentuan pembelian kembali saham reksa dana berbentuk perseroan, dimana pembelian kembali saham reksa dana berbentuk perseroan dan pengalihannya dapat dilakukan tanpa mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham tidak diperlukan karena pembelian kembali saham-saham yang telah dikeluarkan oleh reksa dana dan pengalihan lebih lanjut saham dapat terjadi setiap saat sehingga akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
Secara lex specialis, pengaturan mengenai pembelian kembali saham telah diterbitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal melalui Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-105/BL/2010 tertanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Lampiran Keputusan tersebut khususnya Nomor XI.B.2 merupakan peraturan khusus tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik.
Pada prinsipnya, perusahaan publik diperkenankan untuk membeli kembali saham yang telah dikeluarkannya setelah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali saham perusahaan publik tidak diperkenankan apabila:
1.    dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek. Masyarakat pemodal sangat memerlukan informasi mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek yang tercermin dari kekuatan penawaran jual dan penawaran beli Efek sebagai dasar untuk mengambil keputusan investasi dalam Efek. Sehubungan dengan itu, ketentuan ini melarang adanya tindakan yang dapat menciptakan gambaran semu mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek, antara lain melakukan transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan pemilikan; atau melakukan penawaran jual atau penawaran beli Efek pada harga tertentu, di mana Pihak tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak lain yang melakukan penawaran beli atau penawaran jual Efek yang sama pada harga yang kurang lebih sama[11].
2.    dilakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek. Ketentuan ini melarang dilakukannya serangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa Pihak yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek yang semu di  Bursa Efek karena tidak didasarkan pada kekuatan permintaan jual atau beli Efek yang sebenarnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain[12].
3.    orang dalam[13] dari Emiten atau Perusahaan Publik yang mempunyai informasi:
a.       melakukan pembelian atau penjualan atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan. Larangan bagi orang dalam untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan didasarkan atas pertimbangan bahwa kedudukan orang dalam seharusnya mendahulukan kepentingan Emiten, Perusahaan Publik, atau pemegang saham secara keseluruhan termasuk di dalamnya untuk tidak menggunakan informasi orang dalam untuk kepentingan diri sendiri atau Pihak lain[14];
b.      mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek dimaksud. Orang dalam dari suatu Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan transaksi dengan perusahaan lain juga dikenakan larangan untuk melakukan transaksi atas Efek dari perusahaan lain tersebut, meskipun yang bersangkutan bukan orang dalam dari perusahaan lain tersebut. Hal ini karena informasi mengenai perusahaan lain tersebut lazimnya diperoleh karena kedudukannya pada Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan transaksi dengan perusahaan lain tersebut[15];
c.       memberi informasi kepada Pihak mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek. Orang dalam dilarang mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian dan atau penjualan atas Efek dari Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan, walaupun orang dalam dimaksud tidak memberikan informasi orang dalam kepada Pihak lain, karena hal ini dapat mendorong Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan Efek berdasarkan informasi orang dalam. Selain itu, orang dalam dilarang memberikan informasi orang dalam kepada Pihak lain yang diduga akan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan pembelian dan atau penjualan Efek. Dengan demikian, orang dalam mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi agar informasi tersebut tidak disalahgunakan oleh Pihak yang menerima informasi tersebut untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek[16].
Apabila terdapat pihak yang melakukan perbuatan seperti yang dinyatakan dalam angka 1,2, dan 3 tersebut di atas, maka sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar Rupiah) dapat diterapkan[17].
Pelaksanaan pembelian kembali saham wajib diselesaikan paling lama 18 (delapan belas) bulan setelah tanggal persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali saham oleh perusahaan publik dapat dilakukan melalui Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek. Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa Efek, maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.  transaksi beli dilakukan melalui satu Anggota Bursa Efek; dan
2.  harga penawaran untuk membeli kembali saham harus lebih rendah atau sama dengan harga transaksi yang terjadi sebelumnya.
            Dalam hal pembelian kembali saham, Perusahaan wajib mengumumkan kepada masyarakat dan menyampaikan kepada Badan Pengawan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan mengenai:
1.  penjelasan dilakukannya pembelian kembali saham Perusahaan;
2.  nama pemegang saham yang sahamnya dapat dibeli kembali oleh Perusahaan;
3.  harga saham serta tata cara penentuan harga tersebut; dan
4.  jangka waktu pelaksanaan pembelian kembali saham tersebut.
Perusahaan wajib melaporkan hasil pembelian kembali saham kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan secara berkala setiap 6 (enam) bulan, yaitu pada bulan Juni dan Desember tiap tahunnya. Penyampaian laporan tersebut paling lambat disampaikan
Emiten atau Perusahaan Publik yang sahamnya dicatatkan pada Bursa Efek dilarang membeli kembali sahamnya, jika akan mengakibatkan berkurangnya jumlah saham pada suatu tingkat tertentu yang mungkin mengurangi secara signifikan likuiditas saham di Bursa Efek.
Saham hasil pembelian kembali oleh perusahaan publik dapat dialihkan kembali dengan cara, antara lain:
1.    dijual baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek;
2.    ditarik kembali dengan cara pengurangan modal;
3.    pelaksanaan Employee Stock Option Plan atau Employee Stock Purchase Plan; dan/atau;
4.    pelaksanaan konversi Efek Bersifat Ekuitas.
5.    Pelaksanaan waran
Orang dalam dilarang melakukan transaksi atas saham Perusahaan tersebut pada hari yang sama dengan pembelian kembali saham atau penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan oleh Perusahaan melalui Bursa Efek.
            Perusahaan publik diperkenankan juga untuk melakukan pembelian kembali saham tanpa mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Alasan pembenar dari tindakan tersebut adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.04/2013 tertanggal 23 Agustus 2013 tentang  Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan.
            Perusahaan publik tidak dapat serta merta melakukan pembelian kembali sahamnya tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham dapat dilakukan apabila kondisi pasar modal berfluktuasi secara signifikan. Kondisi pasar modal yang signifikan adalah kondisi dimana indeks harga saham gabungan di bursa efek selama 3 (tiga) hari berturut-turut secara kumulatif turun sebanyak 15% (lima belas persen) atau lebih; atau kondisi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Permulaan dan berakhirnya kondisi lainnya akan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
            Pembelian kembali saham oleh perusahaan publik oleh karena kondisi pasar modal yang fluktuatif secara signifikan, paling banyak 20% (dua puluh persen) dari modal yang disetor perusahaan publik tersebut. Peruahaan publik dapat melakukan pembelian kembali saham setelah menyampaikan keterbukaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari bursa setelah terjadinya kondisi pasar modal yang berfluktuasi secara signifikan. Jangka waktu pembelian kembali saham oleh perusahaan publik hanya dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah keterbukaan informasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
            Keterbukaan informasi yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan  dalam rangka pembelian kembali saham dalam kondisi ini, paling tidak memuat informasi sebagai berikut:
1.    Perkiraan jadwal, biaya pembelian kembali saham, dan perkiraan jumlah nilai nominal seluruh saham yang akan dibeli kembali;
2.    Perkiraan menurunnya pendapatan perusahaan sebagai akibat pelaksanaan pembelian kembali saham dan dampak atas biaya pembiayaan perusahaan;
3.    Proforma laba per saham perusahaan setelah rencana pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan mempertimbangkan menurunnya pendapatan;
4.    Pembatasan harga saham untuk pembelian kembali saham;
5.    Pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham;
6.    Metode yang akan digunakan untuk membeli kembali saham; dan
7.    Pembahasan dan analisa manajemen mengenai pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan usaha dan pertumbuhan perusahaan di masa mendatang.
Keterbukaan informasi tidak hanya disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan tetapi juga kepada masyarakat paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum dilaksanakannya pembelian kembali saham.
Perusahaan publik yang melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan adanya perubahan nilai nominal saham hasil pembelian kembali, maka perhitungan harga pembelian kembali saham disesuaikan dengan mengikuti perbandingan antara nilai nominal saham pada saat pembelian kembali dengan nilai nominal saham hasil aksi korporasi.
Saham hasil pembelian kembali yang dikuasai perusahaan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak selesainya pembelian kembali saham wajib mengalihkan kembali dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan menyelesaikan pengalihan kembali saham dalam waktu 1 (satu) tahun.

D.    Kesimpulan
Perseroan secara umum diatur dalam UUPT dan Perusahaan publik didelegasikan dalam UUPM. Kewenangan pembelian kembali saham perseroan diatur dalam UUPT. Pembelian kembali saham perusahaan publik dikesampingkan dari UUPT untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pasar modal.
Pembelian kembali saham perusahaan publik dilakukan dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pembelian kembali saham publik hanya dapat dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham apabila telah terjadi kondisi pasar modal yang berfluktuasi secara signifikan.

E.     Daftar Pustaka



Undang-undang Nomor  8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-105/BL/2010 tertanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik, Nomor XI.B.2

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.04/2013 tertanggal 23 Agustus 2013 tentang  Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan



[1]Berdasarkan pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak 31 Desember 2012 , fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
[5]Selanjutnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas cukup ditulis “UUPT
[6]Lihat pasal 37 ayat (1) UUPT
[7]Kekayaan bersih adalah seluruh jumlah harta kekayaan perseroan dikurangi dengan seluruh jumlah kewajiban perseroan sesuai dengan laporan keuangan terbaru yang disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir (penjelasan pasal 37 ayat [1] huruf a UUPT)
[8]Lihat Pasal 62 ayat (1) UUPT
[9]Selanjutnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal cukup ditulis “UUPM
[10]Lihat penjelasan pasal 154 ayat (1) UUPT.
[11]Penjelasan Pasal 91 UUPM
[12]Penjelasan Pasal 92 UUPM
[13]Dalam penjelasan Pasal 95 UUPM dinyatakan bahwa “Orang Dalam” adalah (i) komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik; (ii) pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik; (iii) orang perseorangan yang karena kedudukan (atau jabatannya dalam lembaga, intitusi dan badan pemerintahan) atau profesinya atau karena hubungan usahanya (atau hubungan kemitraan seperti hubungan nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan dan kreditur) dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi yng materinya dimiliki oleh orang dalam yang belum tersedia untuk umum; atau Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf (i), huruf (ii), atau huruf (iii) di atas.
[14]Penjelasan Pasal 95 huruf a UUPM
[15]Penjelasan Pasal 95 huruf b UUPM
[16]Penjelasan Pasal 96 UUPM
[17]Lihat Pasal 104 UUPM 

Rabu, 23 Oktober 2013

KONFIGURASI HUKUM KREDIT SINDIKASI DALAM PERBANKAN INDONESIA


A.      PENDAHULUAN
Sektor perbankan dalam menunjang pelaksanaan pembangunan khususnya yang berskala besar, baik swasta maupun pemerintah, memberikan sistem perkreditan dalam bentuk sindikasi. Kredit sindikasi pada awalnya dikembangkan dalam pasar modal di negara Amerika Serikat pada tahun 1950an, sedangkan evolusinya pada pasar modal internasional terjadi baru pada tahun 1960an[1].
Kredit sindikasi di Indonesia awalnya kurang berkembang karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh bank-bank di Indonesia, yang lebih suka memberikan kredit kepada banyak debitur daripada memberikan kredit dalam jumlah besar terhadap satu debitur saja[2].
Meningkatnya persaingan usaha mengakibatkan perbankan Indonesia untuk berkolaborasi dalam kredit sindikasi. Mulanya 2 (dua) bank, lalu di antara 3 (tiga) atau 4 (empat) bank bahkan belasan atau puluhan bank untuk membiayai proyek-proyek yang berskala besar[3].
Dalam laman www.investor.co.id pada tanggal 19 September 2013, dengan judul “Bank Tetap Bidik Kredit Sindikasi (BNI Pimpin Pembiayaan Rp. 5,76 triliun)”, diberitakan oleh Grace Dwitiya Amianti[4] bahwa perbankan tetap menerima permintaan komitmen kredit baru untuk proyek besar di tengah kondisi ekonomi yang melambat. Dalam rangka diversifikasi resiko dan menuruti ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), perbankan melakukan kredit bernominl bsar dengan mekanisme kredit sindikasi. Sebanyak 3 (tiga) bank yaitu PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan Bangkok Bank Plc. Cabang Jakarta bersama dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonsia (LPEI) menyalurkan kredit sindikasi sebesar Rp. 5.270.000.000.000,- (lima triliun dua ratus tujuh puluh milyar Rupiah) untuk produsen semen PT. Cemindo Gemilang dengan tenor selama 11 (sebelas) tahun dengan grace period. Dalam kredit sindikasi tersebut PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. memberikan porsi yang sama yaitu masing-masing mengucurkan Rp. 1.920.000.000.000,- (satu triliun sembilan ratus dua puluh milyar Rupiah) disusul Bangkok Bank Plc. Cabang Jakarta menyalurkan dana sebesar Rp. 958.600.000.000,- (sembilan ratus lima puluh delapan milyar enam ratus juta Rupiah) dan terakhir LPEI menyediakan dana sebesar Rp. 479.300.000.000,- (empat ratus tujuh puluh sembilan milyar tiga ratus juta Rupiah). Dalam kredit sindikasi ini, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. bertindak selaku co-lead manager bersama PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan Bangkok Bank Plc. Cabang Jakarta, dan sebagai agent.

B.       PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana konfigurasi hukum kredit sindikasi dalam perbankan Indonesia?

C.      PEMBAHASAN
Kredit dalam pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berhubungan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut Stanley Hurn[5] yang diterjemahkan secara bebas oleh penulis[6], kredit sindikasi adalah suatu kredit yang diterbitkan oleh dua atau lebih lembaga pembiayaan, berdasarkan ketentun-ketentuan dan syarat-syarat yang sama yang dinyatakan dalam suatu dokumen kredit yang sama dan diadministrasikan oleh satu agen. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, sindikasi adalah suatu sindikasi antara peserta-peserta yang terdiri dari lembaga-lembaga pemberi kredit yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kredit kepada suatu perusahaan yang memerlukan kredit untuk membiayai suatu proyek, sedangkan yang dimaksud kredit sindikasi adalah kredit yang oleh sindikasi kredit[7].
Subjek hukum dalam kegiatan kredit sindikasi, melibatkan beberapa pihak. Secara garis besar, para pihak yang bertindak dalam kredit sindikasi dapat dibedakan sebagai berikut:
1.  Borrower atau Debitur, yaitu pihak yang menerima pinjaman dan umumnya berbentuk perseroan terbatas, karena perseroan terbatas lebih menitikberatkan pada tanggung jawab sebagai badan hukum yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan masing-masing pemegang saham;
2.  Lead Manager atau Leader adalah pihak yang mencari bank-bank peserta kredit sindikasi dan menawarkan suatu proyek kepada bank-bank peserta kredit sindikasi. Oleh karena pinjaman yang diberikan kepada debitur terlalu besar, maka Lead Manager akan memberikan sisa sebagian kecil dari permintaan kredit kepada bank-bank lain untuk berpartisipasi dalam kredit sindikasi. Ada kalanya lead manager dalam suatu kredit sindikasi lebih dari satu sehingga disebut “co-lead manager” atau “joint lead manager[8].
3.  Lenders atau Kreditor, pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur. Oleh karena kedudukannya sebagai pemberi pinjaman, maka lead manager secara praktis juga berkedudukan sebagai Kreditor/Lenders[9].
4.  Bank Agen atau Facility and Security Agent, adalah bank yang mengatur segala sesuatu dari proses pemberian sampai dengan pengawasan setelah kredit sindikasi diberikan kepada debitur. Bank Agen merupakan pihak yang mewakili kepentingan serta bertindak untuk dan atas nama para kreditur atau merupakan kuasa dari lenders. Bank Agen pada prinsipnya bertugas mengatur administrasi operasional dari kredit sindikasi. Secara praktis perbankan, kedudukan Bank Agen adalah lead manager[10].
Kredit sindikasi terbentuk oleh beberapa bank secara bersama-sama. Bank-bank akan menunjuk satu bank sebagai leader dengan pertimbangan bank sebagai leader mempunyai pengalaman, kemampuan dan reputasi untuk membentuk suatu kredit sindikasi berhasil seperti yang diharapkan[11]. Leader dapat pula terbentuk karena merasa ketidakmampuannya membiayai suatu kredit yang komplek, rumit dan membutuhkan dana besar atas permohonan debitur sehingga memerlukan bantuan dari bank-bank lain untuk membantunya pembiayaan debiturnya dengan membentuk “management group” atau “bidding group” yang bertugas mencari bank-bank yang mau dan mampu membantu leader.
Leader dan bank-bank lain akan membuat “underwritting commitment” yang pada prinsipnya bersedia memberikan sebagian besar dana yang diperlukan leader untuk debitur[12]. Leader dalam rangka pembentukan kredit sindikasi haruslah terlebih dahulu mendapat madat, yaitu kewenangan yang diberikan debitur kepada leader atau management group untuk membentuk suatu sindikasi yang terdiri dari bank-bank yang menyediakan fasilitas pembiayaan yang dibutuhkan oleh debitur. Mandat diberikan dapat atas inisiatif dari leader kepada debitur atau sebaliknya debitur dapat juga berusaha mencari management group yang akan bersindikasi dengan leader. Penerimaan mandat dari debitur kepada leader  berupa penerimaan dari leader atas permohonan kredit oleh debitur. Dengan diterimanya penawaran dari leader tentang usulan pembiayaan secara sindikasi oleh debitur, sejak saat itulah debitur memberikan mandat kepada leader untuk mengorganisasikan management group.
Setelah mendapatkan mandat, leader akan menyiapkan perangkat dokumen hukum yang diperlukan dalam kredit sindikasi berupa information memorandum dan perjanjian kredit sindikasi. Umumnya suatu information memorandum memuat tentang rincian pinjaman, tentang financial condition dari debitur dan business profile dari debitur[13]. Bersama dengan debitur, leader akan menyiapkan perjanjian kredit sindikasi. Pada proses penyiapan dilakukan perjanjian kredit dilakukan juga penunjukkan satu Bank Agen.
Setelah penandatangan perjanjian kredit sindikasi dilaksanakan, baik leader maupun lenders, bersama-sama dengan debitur akan mengumumkan terbentuknya kredit sindikasi dengan membuat press release atau press conference dan memasang iklan sebagai bentuk publisitas.
Tujuan dari publisitas ini adalah memberitahukan atau menginformasikan kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengukur tingkat resiko dari debitur. Selain itu, tujuan publisitas ini diadakan untuk tujuan pemantauan dan menarik opini publik terhadap kredit sindikasi yang diberikan dalam jumlah yang sangat besar.
Secara praktis perbankan, leader memegang peran penting dalam struktur kredit sindikasi sehingga seringkali leader juga mengambil kedudukan sebagai facility agent dan security agent[14]. Adakalanya yang menjadi bank agen adalah satu bank yang bebas (independent bank) atau bank yang tidak menjadi anggota dalam kredit sindikasi.
Pada umumnya, leader dan bank agen merupakan atau dijabat oleh satu bank yang sama. Hanya saja leader bertugas membentuk sindikasi sampai dengan penandatanganan perjanjian kredit sindikasi sedangkan bank agen bertugas dalam penggunaan fasilitas kredit setelah penandatanganan perjanjian kredit sindikasi.
Bank agen yang melakukan administrasi penggunaan fasilitas kredit sering disebut sebagai facility agent sedangkan yang bertugas melakukan proses administrasi dan dokumentasi jaminan serng disebut sebagai security agent (agen jaminan atau agen sekuritas).  Kedudukan bank agen mewakili mewakili lenders selama masa jangka waktu (tenor) perjanjian kredit sindikasi. Kedudukn bank agn sangat penting bagi lenders, karena jika bank agen merupakan bank sangat berpengalaman dalam kredit sindikasi maka kepesertaan dan partisipasi lenders dalam kredit sindikasi semakin baik dari segi kualitas dan kuantitas.
Tugas-tugas yang menjadi kewajiban bank agen dilaksanakan dengan memedomani syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ternyata dalam perjanjian kredit sindikasi. Bank agen dalam melaksanakan tugasnya dalam kredit sindikasi merupakan kuasa dari lenders yang tidak dapat dicabut kecuali dicabut sendiri oleh bank agen, atau terdapatnya ketentuan “power of remove[15]l” atau bank agen ingkar janji.  
Dalam kredit sindikasi, lazimnya juga ditandatangani perjanjian keagenan (facility agent agreement), perjanjian keagenan jaminan (security agent agreement), perjanjian pembagian jaminan (sharing security agreement), perjanjian penjaminan, perjanjian subordinasi, perjanjian penanggungan, dan pengakuan utang[16].
Kegiatan pendaftaran jaminan, secara praktis perbankan, dilakukan oleh agen jaminan selaku kuasa dari lenders dengan mencantumkan keseluruhan nama lenders  berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996[17] dan pasal 8 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999[18].
Jika terjadi problem loan dalam kredit sindikasi, maka yang bertugas dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan agar debitur dapat melaksanakan kewajibannya sesuai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit sindikasi adalah bank agen.
Berdasarkan konsep kredit sindikasi maka hanya bank agen yang dapat mengajukan gugatan terhadap debitur karena segala perbuatan hukum kredit sindikasi diwakili dan dikuasakan kepada bank agen.
Pada prinsipnya, agen jaminan tanpa melalui jalur peradilan dapat melakukan eksekusi terhadap jaminan yang dikuasainya. Baik hak tanggungan maupun jaminan fidusia memiliki hak eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.
Setelah penjualan jaminan dilakukan, agen jaminan akan membuka rekening jaminan untuk memasukkan seluruh hasil yang didapat dari penjuaan jaminan. Agen jaminan akan mengkalkulasi jumlah hasil penjualan dan disampaikan kepada lenders. Tentang pembagian hasil penjualan tersebut, agen jaminan akan melakukan pembagian hasil penjualan jaminan menurut prinsip pari passu dan pro rata. Prinsip pari passu menjamin bahwa tingkatan atau kedudukan hak antara bank agen dan lenders adalah sama atas jaminan. Tidak ada keistimewaan atau prioritas kepada bank agen dalam memperoleh penjualan atas jaminan.
Lenders dapat menjual partisipasinya dalam kredit sindikasi kepada pihak lain jika terjadi problem loan. Dalam penjualan partisipasi dalam kredit sindikasi lenders, memerlukan persetujuan bank agen bahkan terkadang dalam praktek perbankan juga memerlukan persetujuan debitur[19].
Terhadap jaminan berupa hak tanggungan dan jaminan fidusia, penjualan partisipasi dilakukan dengan cessie, subrogasi dan novasi menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata diperkenankan juga oleh pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996[20] dan pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999[21]. Secara praktis penjualan piutang haruslah diketahui oleh bank agen yang akan memberitahukan kepada lender(s) lain terdapat lender(s) yang telah melakukan penjualan partisipasi dalam kredit sindikasi. Kepada debitur, perlu dilakukan pemberitahuan dalam hal cessie, dan perlu dimintakan persetujuan dalam hal novasi, karena kedudukan novasi yang merupakan perjanjian segi tiga. Dalam hal subrogasi tidak memerlukan pemberitahuan kepada debitur oleh lender(s) yang menjual partisipasinya dalam kredit sindikasi, akan tetapi secara praktis akan diberitahukan kepada debitur oleh bank agen.

D.      KESIMPULAN
Dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga intermediasi, bank diberikan kewenangan untuk mendistribusikan kredit kepada masyarakat. Dalam melaksanakan pendistribusian kredit kepada masyarakat, bank diperkenankan untuk berkolaborasi dengan bank lainnya. Kolaborasi tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem sindikasi yang memiliki pihak lenders dan leader/bank agen. Semua tugas administrasi kredit sindikasi dilakukan oleh bank agen. Jika terjadi problem loan yang memiliki tugas untuk menyelesaikannya pun diberikan kepada bank agen. Lenders dapat mengundurkan diri dari kredit sindikasi dengan cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.


E.       DAFTAR PUSTAKA

Arief Surowidjojo, “Aspek Hukum Yang Harus Diperhatikan Dalam Kredit Sindikasi”, Kredit Sindikasi, eds. Emmy Yuhasserie dan Tri Harnowo (Jakarta: Pusat Pengajian Hukum, 2003)

Fauzi Lesmana, Studi tentang Perjanjian Sindikasi Dalam Hubungannya Dengan Kredit Bank (Hasil Penelitian Kepustakaan, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 1994)

Herlina Suryati Bachtiar, Aspek Legal Kredit Sindikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2000)

Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi: Proses Pembentukan dan Aspek Hukum (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997)






[1]Ravi C. Tennekoon, The Law and Regulation of International Finance (London: Butterworths, 1991) halaman 45 dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi: Proses Pembentukan dan Aspek Hukum (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), halaman 1
[2]Fauzi Lesmana, Studi tentang Perjanjian Sindikasi Dalam Hubungannya Dengan Kredit Bank (Hasil Penelitian Kepustakaan, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 1994) halaman 4 
[3]Herlina Suryati Bachtiar, Aspek Legal Kredit Sindikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2000) halaman 2
[5]Stanlay Hurn, Syndicated Loans (New York: Woodhead-Faulkner, 1990) halaman 1, dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, halaman 2
[6]a syndicated loan is a loan made by two or more lending institutions, on similiar terms and conditions, using common documentation and administered by a common agent
[7]Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., halaman 2
[8]Ibid., halaman 25
[9]Fauzi Lesmana, Op. Cit., halaman 25
[10]Ibid.
[11]Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., halaman 18
[12]Ibid.
[13]Ibid. halaman 22
[14]Arief Surowidjojo, “Aspek Hukum Yang Harus Diperhatikan Dalam Kredit Sindikasi”, Kredit Sindikasi, eds. Emmy Yuhasserie dan Tri Harnowo (Jakarta: Pusat Pengajian Hukum, 2003), halaman 55
[15]Klasula yang memberikan kekuasaan kepada lenders untuk menarik kembali kuasa yang telah diberikan kepada bank agen tanpa persetujuan bank agen.
[16]Arief Surowidjojo, Op. Cit.
[17]Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau suatu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.
[18]Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut.
[19]Robert Burgess, Corporate Finance Law (London: Sweet&Maxwell, 1992), halaman 21 dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, halaman 79
[20]Jika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan atau sebab-sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
[21]Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditor baru.