Selasa, 17 September 2013

Nilai Spiritualistis-Kolektifistis dan Nilai Individualistis-Materialistis dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001

A.  Nilai Spiritualitis Kolektifistis
Pasal 8 dan pasal 9 menyiratkan setelah jangka waktu paten berakhir maka atas invensi dipergunakan oleh siapa saja untuk kemaslahatan luas, seperti obat generik yang telah habis hak patennya, maka negara dapat menggunakannya untuk masyarakat umum agar dapat menikmati harga obat yang lebih murah karena tidak lagi membayar imbalan dan/atau biaya tahunan atas paten tersebut.

Pasal 12 ayat (1): “Pihak yang berhak memperoleh Paten atau suatu Invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.”

Pihak pemberi kerja telah menyisihkan sejumlah dananya untuk mempekerjakan inventor. Dalam melakukan pekerjaannya, inventor didukung pendananya oleh pemberi kerja. Secara tidak langsung pemberi kerja juga telah memberikan fasilitas kepada inventor untuk bekerja secara maksimal menemukan invasi. Jika pemberi kerja adalah sebuah perusahaan, dengan menjadi pemegang Paten maka hasilnya tersebut sedikit banyak juga dapat membantu meningkatkan keuangan perusahaan dan bermuara juga pada peningkatan kualitas karyawan-karyawannya. Jika pemberi kerja adalah pribadi maka pasal ini memiliki unsur individualists-materialistis

Pasal 16 ayat (3) dimana hak ekslusif yang dimiliki pemegang paten sedikit dikecualikan dari apabila pemakaian Paten tersebut untuk digunakan kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis yang mungkin nantinya dapat bermanfaat bagi masyarkat umum, sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten. Keeksklusifan pemegang paten dibatasi atau kecualikan apabila digunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan atau analisis yang bermanfaat kemaslahatan masyarakat umum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi pihak yang betul-betul memerlukan penggunaan Invensi semata-mata untuk penelitian dan pendidikan. Di samping itu, yang dimaksud dengan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan atau analisis, mencakup juga kegiatan untuk keperluan uji diekivalensi atau bentuk pengujian lainnya. Yang dimaksud dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang Paten adalah agar pelaksanaan atau penggunaan Invensi tersebut tidak digunakan untuk kepentingan yang mengarah kepada eksploitasi untuk kepentingan komersial sehingga dapat merugikan bahkan dapat menjadi kompetitor bagi Pemegang Paten.

Pasal 46 ayat (1): “Setelah berkonsultasi dengan instansi Pemerintah yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara, apabila diperlukan, Direktorat Jenderal dengan persetujuan Menteri dapat menetapkan untuk tidak mengumumkan Permohonan apabila menurut pertimbangannya, pengumuman Invensi tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan Negara.”

Pasal 46 tersebut berhubungan dengan pasal 99 dan pasal 101, karena masalah pertahanan dan keamanan Negara merupakan masalah yang menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa, dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional merupakan hal yang mendasar, wajarlah apabila Pemerintah atau pihak ketiga diberikan izin oleh Pemerintah untuk melaksanakan Paten yang terkait. Pengaturan ini pun dimungkinkan menurut ketentuan dalam Article 31 Persetujuan TRIPs. Contoh lisensi yang terkait dengan pertahanan dan keamanan Negara, antara lain bahan peledak, senjata api, dan amunisi. Yang dimaksud dengan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional mencakup, antara lain bidang kesehatan seperti obat-obat yang masih dilindungi Paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang berjangkit secara luas (endemi), bidang pertanian misalnya pestisida yang sangat dibutuhkan untuk menanggulangi gagalnya hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu Paten adalah untuk menjamin kelangsungan hidup perekonomian negara serta mengupayakan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat di negara yang bersangkutan.

Pasal 75 ayat (3): “Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat”

Pemegang paten dalam melaksanakan hak ekslusifnya harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Melalui negara, pemegang paten yang tidak mengindahkan kemaslahatannya bagi masyarakat umum dapat dialihkan melalui lembaga lisensi wajib yang ramah terhadap kemaslahatan umum.

Pasal 91 ayat (1) huruf c: “Pemberian lisensi wajib ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya pelaksanaan Paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberian lisensi-wajib yang bersangkutan atau sejak tanggal pemberian lisensi wajib pertama dalam hal diberikan beberapa lisensi-wajib.”

Yang dimaksud dengan ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya pelaksanaan Paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat adalah bahwa walaupun telah diberikan lisensi wajib pemberian lisensi wajib tersebut tidak diikuti dengan pelaksanaannya sehingga produk yang sangat dibutuhkan masyarakat tersebut tidak terpenuhi dan maksud pemberian lisensi-wajib tersebut tidak terlaksana. Misalnya, pemberian lisensi-wajib untuk memproduksi obat tetapi tidak dilaksanakan secara efektif sehingga jumlah yang diproduksi tetap sedikit dan harga obat tetap mahal.

B.  Nilai Individualistis-Materialistis
Pasal 8 dan Pasal 9 memberikan jangka waktu hak esklusif kepada inventor untuk memanfaatkan nilai ekonomis dari invensinya. Inventor selama 20 (dua puluh) tahun dan 10 (sepuluh) tahun untuk paten sedeharna untuk memanfaatkan nilai ekonomis invensinya secara ekslusif. Penghargaan atas invensi sepenuhnya secara individualistis dinikmati hanya oleh inventor selama jangka waktu tersebut.

Dalam Pasal 10 berhubungan dengan pasal 11 dan Pasal 12 khususnya ayat (4) dan ayat (6), ternyata bahwa inventor baik sendiri maupun bersama-sama berhak atas invensinya dan berhak mendapatkan imbalan atas invensi yang dilakukannya. Selain itu secara sangat individualistis, hak moral akan selalu melekat terhadap inventor atas invensinya sampai kapanpun.

Pertegasan dalam hal moral juga diberikan dalam pasal 68, dimana pengalihan hak paten tidak menghapus hak inventor untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya dalam Paten yang bersangkutan.

Pasal 20: “Paten diberikan atas dasar permohonan.
Paten diberikan atas permohonan dari inventor atas invensinya. Hak ekonomis yang ekslusif diberikan oleh negara sebagai representasi dari rakyat kepada inventor. Setelah diuji invensinya maka inventor akan memiliki hak moral dan hak ekonomi atas invensinya. Tata cara permohonan paten oleh inventor atas invensinya merupakan cara inventor mempertahankan nilai individualitis dan materialisitis atas invensinya.


Pasal 133 menyatakan bahwa tindak pidana dalam paten merupakan delik aduan, hal ini menyiratkan bahwa, inventor yang memiliki hak individual melaporkan tindak pidana yang melanggar kepentingannya sebagai pemegang paten. Penyidikan dan pengadilan akan memutuskan tindak pidana hanya atas pengaduan yang dilakukan karena melanggar hak ekslusifnya.

Jumat, 13 September 2013

Rangkuman Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Pemerintah melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Nomor 5424, telah mengundang Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan Pemerintah ini sejak tanggal 01 Juli 2013 telah berlaku dan mengikat secara umum. Dari judul peraturan pemerintah tersebut, tersurat bahwa peraturan ini berhubungan dengan perpajakan. Dalam merangkum tentang perpajakan, terdapat 3 (tiga) aspek yang dapat merepresentasikan cakupan perpajakan tersebut yaitu Wajib Pajak, Objek Pajak dan Tarif Pajak.
1.   Wajib Pajak
Wajib Pajak yang menjadi subjek dalam peraturan pemerintah ini adalah wajib pajak perorangan maupun badan yang memiliki dari usaha yang diterima atau diperolehnya yang memiliki peredaran bruto dan menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta Rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak. Tidak semua perorangan dan badan menjadi subjek pajak dalam peraturan pemerintah ini, akan tetapi terdapat pengecualian atau yang tidak termasuk dalam wajib pajak yang dimaksud peraturan pemerintah ini yaitu:
a. Wajib pajak perorangan yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap seperti pedagang yang menggunakan gerobak sebagai tempat usahanya; dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan seperti pedagang makanan keliling, asongan dan warung tenda;
b. Wajib pajak yang memiliki pekerjaan bebas yaitu ditegaskan adalah pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, aktuaris; pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, dan penari; olahragawan, penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, moderator, pengarang, peneliti, penerjemah, agen iklan, pengawas atau pengelola proyek, perantara, petugas penjaja barang dagangan, agen asuransi, dan multilevel marketing atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
c.  Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta Rupiah).

2.   Objek Pajak
Seperti sudah tersurat dalam rangkuman Wajib Pajak, yang menjadi objek peraturan pemerintah ini adalah pendapatan Wajib Pajak yang tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta Rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak termasuk juga pendapatan cabang dari suatu badan. Yang tidak temasuk dalam Objek Pajak dalam peraturan pemerintah ini adalah:
a.   pendapatan yang telah dikenakan pajak penghasilan final
b.  penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
c.   penghasilan dari usaha dan kegiatan;
d.  penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
e.  penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Penghasilan bruto dalam dunia usaha adalah omzet sehingga yang menjadi objek pajak hanya pada omzet wajib pajak saja.

3.   Tarif Pajak
Besarnya tarif Pajak Penghasilan (PPh) dalam peraturan pemerintah ini adalah 1% (satu persen) dan bersifat final.  Dasar pengenaan pajak yang digunakan dalam peraturan pemerintah ini adalah dari jumlah peredaran bruto (omzet) setiap bulannya dikalikan dengan tarif pajak sebesar 1% (satu persen).
Misalnya “A” memiliki peredaran bruto sebesar Rp. 4.567.890.000,00 (empat milyar lima ratus enam puluh tujuh juta delapan ratus sembilan puluh ribu Rupiah). Pada bulan Agustus 2013, pendapatan “A” sebesar Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta Rupiah) termasuk pendapatan bunga sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) maka perhitungan PPh final adalah sebagai berikut:
PPh final = (Rp. 350.000.000,00 – Rp. 5.000.000,00) x 1%
              = Rp. 345.000.000,00 x Rp. 1%
              = Rp. 3.450.000,00
       Oleh karena peredaran bruto “A” tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah) maka mulai Januari 2014, terhadap “A” akan dikenakan tarif sebesar 1% (satu persen) atau diberlakukan peraturan pemerintah ini.
       Apabila “A” pada tahun 2014, peredaran brutonya melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah) pada bulan Oktober 2014 maka “A” tetap diberlakukan tarif Pajak Penghasilan sesuai peraturan pemerintah ini sampai dengan tahun pajak 2014 berakhir dan akan dikenakan Tarif Pajak sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan berikut seluruh perubahannya yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pada tahun pajak 2015.  
       Pajak terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dapat dikreditkn terhadap pajak penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut di atas berikut peraturan pelaksaannya.
Wajib
       Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian (lost carry forward) dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak, misalnya “A” mengalami kerugin pada tahun pajak 2015, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada tahun pajak 2016 sampai dengan tahun pajak 2020;
b.  Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas, misalnya : “A” pada tahun pajak 2015 dikenakan pajak penghasilan final berdasarkan peraturan pemerintah ini, maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap diperhitungkan sampai dengan tahun pajak 2016;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya, misalnya “A” pada tahun pajak 2015 dikenakan pajak penghasilan final berdasarkan peraturan pemerintah ini dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan tahun pajak berikutnya.

Rabu, 04 September 2013

(Lucunya) Surat Pemberitahuan Pajakku

Hari Selasa, tanggal 03 September 2013, saya mendapatkan sebuah amplop berwarna coklat dari Kantor Pelayanan Pajak Palembang Ilir Timur. Saya cukup was-was karena sepengetahuan saya telah melaksanakan pelaporan pajak setiap akhir Maret. Setelah dibukan surat tersebut tertanggal 15 Juli 2013 dengan perihal Surat Himbauan Pendaftaran. 



Tertulis bahwa berdasarkan data administrasi Kantor Pelayanan Pajak, saya telah memenuhi syarat objektif dan subjektif untuk mendapatkn Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dijelaskan juga bahwa dengan membayar pajak, kita telah berpartisipasi dalam pembangunan bangsa melalui sarana dan prasarana yang dibutuhkan sehingga dapat meningkatkan kegiatan ekonomi, kesempatan berusaha dan membuka lapangan pekerjaan, tersedianya sarana kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban. Saya pun pada bagian akhir "diancam" apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak surat diterima tidak memberikan respon akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku. Jika saya membutuhkan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi Kantor Pelayanan Pajak untuk konseling pada hari dan jam kerja.

Lucu surat ini buat saya. Pertama, mereka menggunakan "berdasarkan data administrasi". Saya telah memiliki NPWP sejak Juni 2004. Saya jadi bingung data administrasi mana yang mereka pergunakan. Sudah lebih dari satu windu saya melakukan kewajiban pajak saya melalui Kantor Pelayanan Pajak. Mungkin karena alamat saya berbeda maka mereka menganggap saya yang beralamat lama dengan saya yang beralamat baru adalah wajib pajak yang berbeda. Secara hukum, yang membedakan orang adalah nama dan khususnya kelahiran. Kombinasi mutlak ini tidak mungkin berubah khususnya kelahiran karena nama bisa saya berganti sesuai dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1961. 


Lucu kedua, digunakan untuk penyediaan sarana dan prasarana. Jika melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 di http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/APBN%202013.pdf, terlihat bahwa belanja Kementerian dan Lembaga (belanja K/L) sebesar Rp. 594,6 triliun sedangkan belanja non K/L sebesar Rp. 559,8 triliun. Artinya apa, pajak yang merupakan 70,9% (tujuh puluh sembilan persepuluh persen) penopang pendapatan negara, sebagian besarnya tidak digunakan untuk penyediaan sarana dan prasarana akan tetapi untuk membayar gaji serta pensiun abdi masyarkat. Seharusnya ditulis juga untuk membayar gaji kami agar lebih jujur dan akuntabel.

Terakhir saya dipersilahkan konseling ke kantor pada hari kerja dan jam kerja. Namanya pelayanan seharusnya tidak mengenal jam dan waktu. Bahkan jika memang pelayanan publik itu seharusnya tidak mengenal waktu dengan menggunakan jasa internet. Meski di kop surat tertulis situs (www.pajak.go.id) dan alamat pengaduan (pusat.pengaduan.pajak@pajak.go.id), saya tidak disarankan untuk mengunjungi situs dan alamat tersebut. Jadi apa gunanya mencantumkannya pada kop surat.

Ironis?  

Selasa, 03 September 2013

Suasana Pemilukada Ulang 2013


Hari Rabu, 04 September 2013, warga kota Palembag, diundang untuk melakukan pemilihan Gubernur Sumatera Selatan ulang. Saya pun mendapat undangan untuk hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Nomor 13 di kelurahan saya dari pukul 07.00 s/d 13.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Saya hadir di sana pukul sekitar pukul 07.10 WIB sebelum saya pergi bekerja. Setiba di sana saya menemukan semua panitia sudah hadir dan terdapat 5 (lima) warga yang hendak memberikan suaranya. Acara pemungutan suara belum dapat dilaksanakan karena salah satu saksi dari calon Gubernur incumbent belum hadir. Sekitar pukul 07.20 WIB, seorang laki-laki datang ke meja panitia mengatakan bahwa beliau adalah saksi dari calon Gubernur incumbent. Saksi-saksi dari calon lain telah hadir sebelum saya tiba di TPS, dan panitia baru dapat memulai membuka kotak suara dan menghitung surat suara yang didistribusikan oleh Komisi Pemilihan Umum. Setelah semua selesai dilakukan, maka pemungutan suara langsung dimulai, dan saya mendapat dipanggil setelah 3 (tiga) orang sebelumnya melakukan haknya. Tidak lebih dari semenit saya melakukan hak saya, akan tetapi menunggu seorang saksi dari Gubernur incumbent lebih dari belasan menit. 
  

Pulang dengan cari tertinta, saya mendapat informasi dari adik saya bahwa pada suatu acara di salah satu televisi swasta terdapat berita yang menyatakan tentang seorang wanita yang memiliki anak dari salah satu calon Gubernur yang saat ini menjabat sebagai salah satu bupati di Sumatera Selatan. Wanita itu di wawancarai oleh salah seorang artis yang baru bercerai dari suaminya. Berita tersebut pernah diceritakan oleh temen saya ditayangkan pada televisi swasta yang pemiliknya adalah orang yang sama dengan televisi swasta yang menayangkan berita tersebut hari ini. Berita yang sama ini telah ditayangkan minggu lalu dengan artis yang mewawancarinya adalah artis yang sama. Saya bukan simpatisan salah satu calon, akan tetapi saya miris dengan pemimpin yang tidak memiliki kesantunan. Pemimpin itu adalah orang yang bijak bukan tamak. Mau jadi apa bangsa ini jika selalu diajarkan untuk saling menjatuhkan dengan cara yang tidak santun