Senin, 22 April 2013

Perjanjian Tertutup dan Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Dalam Praktek Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

A.     Pendahuluan
            Prinsip ekonomi yang telah menjadi rahasia umum adalah dengan modal yang seminimal mungkin akan mendapatkan untung semaksimal mungkin. Pelaku usaha akan berusaha untuk mengeluarkan modal seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
Setiap pelaku usaha tentunya akan saling bersaing untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari modal yang seminimal mungkin dikeluarkan oleh para pelaku usaha. Era globalisasi sekarang ini tambah menyeret para pelaku pasar untuk bersaing mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar mendapatkan keuntungan yang maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan tindakan yang kurang bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain dalam melaksanakan prinsip ekonominya.
Pelaku usaha dapat menggunakan kekuatannya sendiri atau ada juga yang melakukannya dengan berkolaborasi dengan orang lain guna mencapai keuntungan semaksimal mungkin. Pelaku usaha yang berkolaborasi dengan pelaku usaha lain untuk membentuk rekayasa pasar sesuai dengan keuntungan yang diharapkan.
            Agar para pelaku pasar tidak saling menjadi serigala antarpelaku pasar maka dibentuklah suatu aturan yang membatasi tindak tanduk pelaku pasar dalam meraup keuntungannya. Pembatasan itu diundangkan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
            Tujuan pembentuk undang-undang mengundangkan undang-undang ini dinyatakan dalam pasal 3, yaitu:
a.   Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.   Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil;
c.   Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Untuk mencapai tujuan tersebut, negara yang mengumumkan undang-undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817, mengatur berbagai perjanjian dan perbuatan yang dilarang. Perjanjian yang dilarang menurut undang-undang ini adalah:
1.      Oligopoli (pasal 4)
2.      Penetapan Harga (pasal 5 – pasal 8)
3.      Pembagian Wilayah (pasal 9)
4.      Pemboikotan (pasal 10)
5.      Kartel (pasal 11)
6.      Trust (pasal 12)
7.      Oligopsoni (pasal 13)
8.      Integrasi Vertikal (pasal 14)
9.      Perjanjian Tertutup (pasal 15)
10.   Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (pasal 16)
Perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 29, yaitu:
1.      Monopoli
2.      Monopsoni
3.      Penguasaan Pasar
4.      Persekongkolan
5.      Posisi Dominan
6.      Jabatan Rangkap
7.      Pemilikan Saham
8.      Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
Dalam perjanjian yang dilarang, terdapat perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang sedikit terpublikasikan, padahal perjanjian ini memiliki dampak yang signifikan dalam persaingan usaha. Pertanyaan yang timbul, apa dan bagaimana perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dimaksudkan dalam pasal 15 dan pasal 16 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

B.     Pembahasan
            Secara yuridis formil, Perjanjian yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehatadalah suatu perbuatan satu atau lebih dari pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis (pasal 1 angka 7). Perjanjian yang dimaksud undang-undang ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[1].
         Pelaku usaha sebagai subjek hukum dalam undang-undang ini adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggara-kan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
            Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, melarang pelaku usaha membuat perjanjian tertutup atau secara umum dikenal sebaga Dealing Agreement, dengan:
1.  pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu (ayat 1).
2.  pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (ayat 2).
3.  pihak lain mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok (ayat 3).
            Ayat 1 secara umum dikenal sebagai exclusive distribution agreement, dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk hanya atau tidak memasok kembali produksi kepada pihak tertentu atau pada tempat tentu. Exclusive distribution agreement biasanya dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang menghasilkan suatu produk dari hasil industri yang memiliki beberapa pelaku usaha lain yang menjadi distributor atau penyalur atas hasil produksi industrinya. Pelaku usaha tidak menghendaki terjadinya persaingan usaha yang sehat di tingkat distributor atau penyalur hasil produksi. Jika tidak terjadi persaingan usaha dalam tingkat distributor maka harga atas hasil produksi akan menjadi mahal dan akan memberikan keuntungan dari hasil rekayasa kepada pelaku usaha yang memproduksi. Pembatasan di tingkat distributor dan wilayah pemasarannya menimbulkan kedudukan istimewa atau ekslusif bagi pihak distributor untuk meningkatkan harga dan akan memberikan keuntungan dari hasil rekayasa kepada pihak distributor dan pelaku usaha yang memproduksi.
          Contoh exclusive distribution agreement adalah suatu industri yang memproduksi mobil mewah membuat perjanjian dengan distributornya untuk menjual hasil produksi berupa mobil mewah hanya di ibukota negara saja. Oleh karena hanya dijual di ibukota negara saja maka membuat harga untuk pembelian di daerah menjadi lebih mahal dan tidak memberikan kesempatan kepada distributor di daerah untuk menjadi distributor.
             Ayat 2 dikenal secara umum sebagai tying agreement, dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang mensyaratkan pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha yang memproduksi. Pelaku usaha melakukan perluasan usahanya secara monopoli pada hasil produksi yang pertama kali dijual dan hasil produksi yang dipaksakan harus dibeli juga oleh konsumen. Kekuatan monopoli yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memproduksi secara sekaligus atas hasil produksi yang dijual dan wajib dibeli dapat mengganggu kesempatan pelaku usaha pesaing untuk bersaing secara sehat. Di sisi konsumen, typing agreement membuat konsumen tidak bebas memilih hasil produksi yang dibutukannya dengan harus membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh konsumen.
          Contoh kasus untuk typing agreement adalah kasus perjanjian penjualan tiket PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (Garuda) pada biro perjalanan. Dalam proses reservasi tiket Garuda dapat dilakukan secara manual melalui telepon atau melalui sistem online. Garuda mengembangkan teknologi penjualan tiket secara online pada tahun 2000 dan mulai mensyaratkan kepada para biro perjalanan untuk melakukan reservasi tiketnya melalui suatu sistem aplikasi bernama AGRA. Untuk dapat mengakses AGRA, semua biro perjalanan yang hendak menjual tiket harus menyewa sistem jaringan hasil produksi dari Abacus Connection. Penyewaan yang sifatnya wajib ini mengakibatkan biro perjalanan harus mengeluarkan biaya persewaan sistem jaringan Abacus Connection, dan biaya persewaan ini menjadi biaya produksi yang memberatkan biro perjalanan dan konsumen.
            Ayat 3 dikenal sebagai secara umum sebagai vertical agreement on discount, dimana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memberikan potongan harga atas hasil produksi yang dibeli pelaku usaha lain. Pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok atau tidak akan membeli produk sejenis dari pelaku usaha pesaing dari pelaku usaha pemasok. Vertical agreement on discount dapat menghilangkan kesempatan pelaku usaha pesaing dari pelaku usaha pemasok untuk membeli bersaing secara sehat.
            Contoh dari vertical agreement on discount ini adalah perjanjian ABC dengan pemilik toko atau grosir di Jawa dan Bali. Perjanjian itu diadakan untuk menyukseskan Program Geser Kompetitor selama Maret 2004 hingga Juni 2004 yang digalakkan oleh ABC. Dalam perjanjian itu, ABC akan memberikan potongan harga sebesar 2% (dua persen) jika toko atau grosir memajang baterai ABC dan tambahan potongan 2% jika tidak menjual baterai Panasonic. Hal ini secara jelas dan nyata mengganggu pelaku usaha lain (Panasonic) untuk bersaingan di pasar Jawa dan Bali selama Maret 2004 hingga Juni 2004.
            Perjanjian dengan pihak luar negari yang dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah perjanjian pelaku usaha dalam negeri dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Setiap subjek hukum diperkenankan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun tanpa dibatasi, akan tetapi apabila perjanjian tersebut menjadi bertentangan dengan undang-undang jika pihak luar negeri tersebut membuat perjanjian yang pada prinsipnya terkategorikan sebagai Oligopoli, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, Monopoli, Monopsoni, Penguasaan Pasar, Persekongkolan, Posisi Dominan, Jabatan Rangkap, Pemilikan Saham, Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan.
            Perbuatan yang merugikan pihak lain akan mengganggu keseimbangan dari kehidupan sosial masyarakat. Kerugian di pihak lain tentunya membawa konsekuensi logis adanya keuntungan di pihak lain. Kerugian dapat dialami oleh masyarakat umum dan/atau pelaku usaha pesaing sedangkan keuntungan dalam hal ini dinikmati oleh pelaku usaha yang melakukan rekayasa pasar. Keadaan yang seimbang bertentangan dengan asas kesimbangan yang menjadi asas dasar yang difundamentalkan oleh negara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Contoh kasus dalam perjanjian dengan pihak luar adalah kasus perjanjian antara Astro All Asia Network dan PT. Direct Vision dengan ESPN Star Sport dalam halhak siar ekslusif Barcalys Premier League. Astro All Network dan EPN Star Sport telah membuat perjanjian untuk penunjukan operator televise di Indonesia yang mendapatkan hak siar ekslusif Barcalys Premier League. Pihak Astro All Network membuat perjanjian penunjukan langsung kepada PT.Direct Vision yang mendapatkan satu-satunya hak siar atas Barcalys Premier League di Indonesia. Atas penunjukan langsung kepada satu-satunya pelaku usaha maka akan mengganggu atau menghambat operator televisi di Indonesia lainnya untuk bersaing.
Perjanjian Tertutup dan Perjanjian dengan Pihak Luar tidak semua dilarang dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pembentuk undang-undang memberikan batasan atau pengecualian pada pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terhadap[2]:
1.    Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.      Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti paten, merek, hak cipta, desain industri, tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas tanaman. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
3.  Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar undang-undang;
4.      Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan usaha;
5.      Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang tela diperjanjikan sebelumnya;
6.  Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
7.      Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;
8. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri;
9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota-anggotanya;
10.   Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini ditafsirkan terbatas oleh karena pelaku usaha kecil pun tidak dapat melanggar peraturan-peraturan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pengecualian ini merupakan dasar atau alasan pembenar atas suatu praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dilakukan dalam bentuk perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar. Pembentuk undang-undang juga menyadari kedudukan pelaku usaha yang diistimewakan tetap harus dilindungi. Monopoli dan persaingan usaha tidak hanya mengikat tata perekonomian dalam negeri saja, akan tetapi juga tata pergaulan ekonomi dunia. Pengecualian ini dapat menjadi penyelundupan hukum para pelaku usaha dalam praktek monopoli dan persaingan usaha pada perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar. Pelaku usaha dapat memanfaatkan celah pengecualian ini agar dapat memberikan keuntungan yang semaksimal mungkin pelaku usaha, yang dapat mencederai asas keseimbangan yang menjadi prinsip dasar pencapaian kesejahteraan rakyat.

C.     Kesimpulan
            Perjanjian Tertutup atau Dealing Agreement diatur secara tegas dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelarangan ini meliputi exclusive distribution agreement (ayat 1), typing agreement (ayat 2), dan vertical agreement on discount (ayat 3)
            Perjanjian dengan pihak luar yang dilarang dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah perjanjian pelaku usaha dengan pihak lain dari luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
            Perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar tidak sepenuhnya dilarang karena mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi terdapat pengecualian yang dibenarkan dalam pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengecualian ini pada prinsipnya tetap menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan yang hendak dicapai meskipun sedikit atau bahkan menghilangkan asas keseimbangan dalam larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
 
D.     Daftar Pustaka

Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817


[1]     Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
[2]     Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, hal. 230-231

Wasiat Wajibah Dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia




A.     Pendahuluan
Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris. Pewaris yang meninggal dunia tidak secara langsung menghapuskan seluruh kewajiban yang ditinggalkannya. Dalam sistem kewarisan Islam, terdapat utang dan zakat yang wajib dilaksanakan oleh ahli waris setelah meninggalnya pewaris. Setelah pelaksanaan kewajiban semasa hidupnya, pewaris secara Islam juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian dan/atau peralihan harta peninggalannya kepada ahli waris.
Dalam sistem kewarisan Islam diatur tentang pembagian dan/atau peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan dalam hukum Islam tidak hanya dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta peninggalan pewaris tapi juga perihal yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris.
Selain pembagian harta peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat. Perihal wasiat dalam Al-Quran antara lain diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang menyatakan bahwa kalau kamu meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik. Dilanjutkan masih dalam ayat tersebut bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang bertakwa kepada-Nya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga dinyatakan bahwa orang yang meninggalkan isteri/isteri-isteri hendaklah berwasiat  bagi isteri/isteri-isterinya berupa nafkah selama setahun dan tidak boleh dikeluarkan dari rumah tempat tinggalnya selama ini[1].
Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan dalam surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat An-Nisaa ayat 11 dan ayat 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan perwaris kepada anak/anak-anak, duda, janda/janda-janda dan saudara/saudara-saudara pewaris. Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya. 
Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wasiat hanya diatur Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut wasiat wajibah.
Dari latar belakang ini, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yaitu:
1.     Apa yang dimaksud dengan wasiat wajibah?
2.     Bagaimana pengaturan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia?

B.    Pembahasan
Dalam kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang dianut dalam pelaksanaan kewarisan yaitu[2]:
1       Asas Ijbari, yang menyatakan bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan yang dibuat Allah tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena asas ini maka secara langsung tiap ahli waris diwajibkan menerima peralihan harta peninggalan pewaris sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditetapkan
2        Asas bilateral, yang menyatakan bahwa ahli waris yang menerima harta peninggalan pewaris adalah keturunan laki-laki maupun perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki bagian masing-masing dari harta peninggalan pewaris
3       Asas individual, yaitu harta peninggalan pewaris dibagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing bagian ahli waris adalah kepunyaannya secara perorangan.
4       Asas keadilan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban antarahli waris serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan yang diperoleh dari harta peninggalan pewaris
Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1.     Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat
2.     Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara
3.     Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris
Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat.
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka. Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin[3], bahwa apabila tidak dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat  yang tidak mendapatkan harta pusaka, maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam bentuk wasiat yang wajib.
Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash[4] sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.” Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik.”
Hadits ini menjadi acuan bagi Mesir yang pertama mengundangkan tentang wasiat wajibah dalam Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946. Sejak 01 Agustus 1946, orang Mesir yang tidak membuat wasiat sebelum meninggalnya, maka kepada keturunannya dari anak pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu daripada pewaris diberikan wasiat wajib tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.  Hal ini diadopsi oleh Indonesia dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Hakim yang dimaksud Ibnu Hazmin dalam kewarisan Islam di Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup pengadilan agama dalam tingkat pertama sesuai dengan kompetensi absolut sebagaimana diperintahkan undang-undang.
Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.  Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat[5].
Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengn rasa keadian.
Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif. Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur (ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen van Wetgeving Voor [AB])
Terdapat beberapa rechtsvinding atau ijtihad mengenai wasiat wajibah dalam yurisprudensi yang telah berkekuatan hukum tetap. Misalnya dalam putusan No. 368 K/AG/1995 dan putusan 51K/AG/1999.
Dalam perkara yang diputus dengan putusan 368 K/AG/1995, Mahkamah Agung memutuskan sengketa waris dari pasangan suami isteri yang memiliki 6 (enam) orang anak. Salah satu anak perempuan mereka telah berpindah agama ketika orang tuanya meninggal dunia. Sengketa ahli waris dimintakan salah satu anak laki-laki dari pewaris atas harta yang dimiliki oleh pewaris.  Dalam tingkat pertama, salah satu anak perempuan tersebut terhijab untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris. Tingkat Banding mementahkan putusan tingkat pertama dengan memberikan wasiat wajibah sebesar 1/3 (sepertiga) bagian anak perempuan kepada anak perempuan yang berpindah agama. Tingkat Kasasi menambahkan hak anak yang berpindah agama dengan wasiat wajibah sebesar anak perempuan lainnya atau kedudukan anak yang berpindah agama tersebut sama dengan anak perempuan lainnya.
Dalam putusan Mahkamah Agung No. 51K/AG/1999 tertanggal 29 September 1999 menyatakan bahwa ahli waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewaris dari harta peninggalan pewaris yang beragama Islam. Pewarisan dilakukan menggunakan lembaga wasiat wajibah, dimana bagian anak perempuan yang bukan beragama Islam mendapat bagian yang sama dengan bagian anak perempuan sebagai ahli waris[6].
Selain itu terdapat juga putusan Mahkamah Agung No. 16 K/AG/2010 memberikan kedudukan isteri yang bukan beragama Islam dalam harta peninggalan pewaris yang beragama Islam. Isteri yang bukan beragama Islam mendapatkan warisan dari pewaris melalui lembaga wasiat wajibah yang besarnya sama dengan kedudukan yang sama dengan isteri yang beragama Islam ditambah dengan harta bersama[7].
Putusan-putusan tersebut dterbitkan oleh karena terjadi pergesekan kepentingan antarahli waris.  Ahli waris akan menikmati bagian secara kualitatif yang lebih sedikit dengan adanya lembaga wasiat wajibah. Bagian para ahli waris yang sudah ditentukan, dialihkan kepada penerima wasiat wajibah oleh karena ijtihad hakim yang berwenang. Tuntutan-tuntutan para ahli waris adalah menyampingkan lembaga wasiat wajibah.
Sekilas putusan-putusan tersebut di atas tidak didasarkan pada hukum Islam murni yang berasal dari Al-Quran dan Hadits-hadits. Putusan-putusan tersebut terlihat seperti melakukan penyimpangan dari Al-quran dan Hadits-hadits. Putusan-putusan tersebut diterbitkan untuk memenuhi asas keadilan bagi para ahli waris yang memiliki hubungan emosional nyata dengan pewaris. Hakim menjamin keadilan bagi orang-orang yang memiliki hubungan emosional dengan pewaris tersebut melalui lembaga wasiat wajibah. Seorang anak ataupun anak yang berbeda agama dan telah hidup berdampingan dengan tentram dan damai serta tingkat toleransi yang tinggi dengan pewaris yang beragama Islam tidak boleh dirusak oleh karena pewarisan. Penyimpangan yang dilakukan akan memberikan lebih banyak kemaslahatan daripada mudarat.  
Meskipun pertimbangan setiap hakim dapat berbeda-beda mengenai besaran wasiat wajibah dalam setiap kasus, namun terdapat suatu asas yang menjadi dasar dalam menjatuhkan besaran wasiat wajibah, yaitu asas keseimbangan. Wasiat wajibah diberikan tidak mengganggu kedudukan ahli waris lainnya. Bagian harta peninggalan yang diperuntukan untuk wasiat wajibah diberikan dari derajat yang sama. Anak perempuan tidak beragama Islam mendapat bagian yang sama sebesar bagiannya dengan kedudukannya sebagai anak perempuan. Begitu juga dengan kedudukan isteri yang tidak beragama Islam, akan mendapatkan bagian yang sama besar bagianya dengan kedudukannya sebagai isteri.
Atas dasas asas keadilan dan keseimbangan juga kedudukan anak angkat dan orang tua angkat tidak selamanya maksimal mendapatkan 1/3 (satu pertiga) bagian dari harta peninggalan pewaris. Atas kewenangan hakim juga anak angkat dan orang tua angkat dapat mendapatkan lebih dari yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Sifat dari ijtihad yang dilakukan hakim tdak bersifat impertif akan tetapi fakultatif. Penggunaan putusan-putusan tersebut apabila terjadi sengketa dan sebaliknya apabila tidak terjadi sengketa maka tetap menerapkan hukum Islam.
C.    Kesimpulan
Wasiat wajibah pada prinsipnya merupakan wasiat yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaa tertentu oleh negara melalui jalur yudikatif. Pengaturan wasiat wajibah secara sempit diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat dan hakim memiliki kewenangan ijtihad untuk memperluas wasiat wajibah. Ijtihad hakim pada umumnya diperluas dengan bersandar pada asas keadilan dan keseimbangan. Putusan-putusan tentang wasiat wajibah sekiranya dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan seluruh masyarakat.

D.    Daftar Pustaka
Destri Budi Nugraheni dkk, Pengaturan dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, Juni 2010

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, PT. Raja Grafindo Persada

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, PT. Bina Aksara

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/ab.htm




[1] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, halaman 97 - 99
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, hal. 281 - 289
[3]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982, halaman 78
[4] Sajuti Thalib, Op. Cit., halaman 102
[5]Destri Budi Nugraheni dkk, Pengaturan dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, Juni 2010, halaman 312