Kamis, 12 Januari 2012

Salah Kaprah Suka-Sama-Suka


Sering kita dengar bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, tapi kenyataannya pernyatan ini hanya sebuah retorika. Bagaimana tidak saya katakan ini. Sering tersiar kabar bahwa aparat pemerintah bersama penegak hukum melakukan razia pekat, penyakit masyarakat. Menangkap sedang basah para pasangan yang tidak memiliki ikatan perkawinan sedang berbuat cabul. Anehnya setelah didata dan membuat surat pernyataan mereka dilepas atau dikembalikan kepada orang tuanya.

sumber gambar : www.forumbebas.com

Apakah ada sanksi pidana membuat surat pernyataan atas orang berbuat cabul atas dasar suka-sama-suka? Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dihukum adalah :
  1. berbuat cabul adalah yang dibarengi dengan kekerasan dan paksaan (pasal 289),
  2. berbuat cabul dengan orang tidak berdaya atau pingsan dan/atau masih berumur di bawah 15 tahun (pasal 290) dan/atau sampai luka berat bahkan membawa kematian (pasal 291)
  3. berbuat cabut dengan sesama jenis dan belum dewasa (pasal 292),
  4. berbuat cabul dengan seorang yang belum dewasa dengan bujuk raju sesat atau dengan member memberi uang atau barang (pasal 293),
  5. berbuat cabul dengan anak, atau anak tiri, atau anak angkat, atau anak didik atau, pembantu atau bawahannya yang belum dewasa, pejabat dengan bawahannya, pengurus atau dokter atau guru atau pegawai penjara berbuat cabul dengan orang yang dimasukkan di kantor Negara, tempat pendidikan, rumah sakit, rumah sakit jiwa, panti asuhan  (pasal 294).

Berbuat cabul atas dasar suka-sama-suka tidak dapat dihukum. Kalau memang mereka patut dianggap bersalah maka seharusnya para cabulers diproses secara hukum bukan “dipaksa” menandatangani surat pernyataan. Penegak hukum yang melaksanakan razia penyakit masyarakat bukan menegakkan hukum publik (pidana) tapi menegakkan norma dan nilai masyarakat yang bukan menjadi tugas dan wewenang mereka
.
Ada banyak penyakit masyarakat yang memang benar-benar tidak tidak dibenarkan secara hukum di Negara berdasarkan hukum ini seperti korupsi dan/atau pencucian uang yang memiliki dampak sistemik terhadap kehidupan masyarakat.

Pengujian Peraturan Daerah (Yang Benar)


Sering kita dengar bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, tapi kenyataannya pernyatan ini hanya sebuah retorika. Bagaimana tidak saya katakan ini. Begitu tersiar kabar bahwa Menteri Dalam Negeri mencabut Peraturan Daerah tentang minuman keras, semua pihak langsung mengecam. Dari Ulama (http://nasional.vivanews.com/news/read/279044-perda-miras-dicabut--mui-undang-ormas-islam) sampai dengan politisi yang menjadi wakil rakyat (http://politik.vivanews.com/news/read/279030-politisi-pks-kecam-pencabutan-9-perda-miras).

sumber gambar : republika.co.id

Kalau kita tidak mau dikatakan bangsa yang tidak cerdas hendaknya perlu ditelaah lebih dahulu apakah benar peraturan daerah itu dapat dicabut oleh seorang Menteri?

Pengujian terhadap Peraturan Daerah dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah. Pengujian oleh pihak yudikatif sering disebut judicial review dengan dasar hukum pasal 24A Undang-undang Dasar 1945 berhubungan dengan pasal 11 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004. Sedangkan pengujian oleh pemerintah disering disebut sebagai executive review dengan dasar hukumnya yaitu pasal 114 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 berhubungan dengan pasal 136, pasal 145 dan pasal 218 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Judicial Review dapat dilakukan atas keberatan pihak-pihak tertentu dengan kata lain, mahkamah agung menunggu datangnya permohonan dari pihak yang keberatan. Jika ada yang memohon maka prinsip dari judicial review ini adalah menyelesaikan konflik yang timbul oleh karena diterbitkannya peraturan di bawah undang-undang. Setelah pengujian selesai maka akan terbit putusan yang memutuskan tentang peraturan tersebut dibatalkan atau tidak. Putusan Mahkamah tentang pembatalan peraturan akan dieksekusi oleh DPRD bersama Kepala Daerah setempat. Putusan Mahkamah ini tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.

Execuitve Review dilakukan dalam rangka pengawasan preventif dan represif pemerintah pusat terhadap daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya. Yang ditunjuk sebagai lembaga pelaksana review ini adalah Departemen Dalam Negeri dibantu oleh departemen-departemen terkait seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan/atau Departemen Keuangan. Karena sifatnya mengawasi maka review yang dilakukan tidak bersifat pasif seperti Judicial Review yang menunggu keberatan dari pihak tertentu. Pengawasan yang dilakukan adalah dengan menguji sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika bertentangan maka peraturan daerah akan dibatalkan dengan peraturan presiden. Peraturan Presiden ini menjadi dasar hukum DPRD bersama kepala daerah setempat untuk mencabut peraturan daerah tersebut.  Jika ada pihak yang keberatan dengan peraturan presiden tersebut maka para pihak dapat mengajukan judicial review atas pembatalan tersebut demi kepentingan umum.

Jadi menurut Negara Hukum yang sangat kita cintai ini, pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah melalui executive review dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah setempat. Meskipun telah diterbitkan peraturan presiden jika DPRD dan kepala daerah setempat tidak melaksanakan peraturan presidennya maka peraturan daerah tersebut tetap berlaku.

Sayangnya masyarakat tidak percaya dengan pemerintah yang dulu dipercaya mereka sebanyak 62%. Anarki adalah jalan hukum karena anarki tidak pernah dihukum. Padahal pengrusakan atas nama apapun tidak dibenarkan oleh hukum Negara kita (lihat pasal 201 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)  

Setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah selalu salah menurut rakyat meskipun itu benar secara hukum. Saya kasihan sekali dengan para pendiri bangsa ini karena Negara hukum yang mereka hendak capai dari dulu dengan mengdepankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan telah sangat melenceng dan bahkan menjadi “kerakyatan” yang dipimpin oleh kebrutalan anarki dalam pemaksaan kehendak tertentu.