Jumat, 29 Juli 2011

Songong nih Pejabat

Kejadian ini saya alami ketika hendak membantu proses merger. Saya diminta membantu penerbitan surat keterangan dari lembaga yang mengurusi tentang tanah. Surat keterangan oleh lembaga yang kerjanya memungut pajak.

Saya mengikuti prosedur dengan mengajukan permohonan surat keterangan untuk kepentingan merger melalui loket yang tersedia. Setelah menunggu beberapa hari lalu permohonan saya ditolak secara lisan tanpa ada surat balasan atas surat permohonan saya. Keterangan kepala sub-seksi tidak didasarkan oleh landasan hukum yang jelas. Menurutnya, kepala seksi menyatakan bahwa surat keterangan dapat diterbitkan hanya untuk keperluan lelang bukan untuk merger.

Saya coba mencari tahu apa benar tidak bisa diterbitkan, sedang lembaga lain itu meminta surat keterangan tersebut. Ternyata berdasarkan peraturan menterinya tahun 1997, informasi dapat diberikan dalam bentuk surat keterangan. Memang ketentuan ini adanya di pasal 187. Mungkin kepala seksi itu bacanya tidak sampai tulisan "... Ir. Soni Harsono".

Dasar ini hendak saya diskusikan dengannya, tapi beliau selalu tidak ada di tempat. Jika sudah pukul 14, sudah pulang. Saya coba tanyakan kepada orang yang sering berhubungan dengan kepala kasi ini mengenai nomor teleponnya. Begitu saya hubungi via telepon, hanya sekali diangkat begitu saya katakan apa dasar beliau tidak menerbitkan surat keterangan tersebut.

Waktu semakin dekat, dan karena waktu saya dihabiskan dengan mencari kepala seksi ini. Dengan berat hati saya coba mencari seseorang yang biasa berhubungan dengan lembaga itu untuk menyelesaikan hal ini. Orang ini dapat menyelesaikan hal ini dalam waktu 2 hari dengan biaya kurang lebih seharga Blackberry Gemini.

Surat keterangan yang saya minta sebelumnya secara resmi tidak dapat terbit untuk kepentingan merger akhirnya terbit sesuai dengan permintaan saya. Penandatangan surat ini adalah kepala seksi itu.

Seperti dasar hukum yang dipergunakan oleh kepala seksi itu lebih kuat dibandingkan dengan dasar hukum yang saya punya. Gambar proklamator dan teks proklamasi yang bersejarah pada kertas merah telah mengenyamping tanda tangan menteri dan gambar garuda pancasila pada komputer jinjing saya.

Sungguh ironis, negara yang katanya berdasarkan hukum, dikelola oleh orang-orang yang tidak mengerti hukum. Orang-orang yang bergelar yang tidak dapat membaca dan mengartikan huruf per huruf. Yang ada dibenaknya hanya deretan angka nol dibelakang angka selain nol.

Etika Pelacur Jabatan

Politik dan Hukum. Kata yang sering kita dengar dan baca akhir-akhir ini. Maklum berbagai isu politik selalu mengaitkan hukum untuk menjadi jalan keluar. Selalu yang terucap dalam para politisi adalah penyerahan semua masalah kepada hukum. Padahal masalah politik tidak harus diselesaikan dengan hukum.

Anggota parlemen Amerika Serikat dari Oregon, David Wu, tanggal 26 Juli 2011 mengundurkan diri akibat mengadakan hubungan seks dengan seorang wanita berumur 18 tahun. Padahal wanita yang merupakan anak dari pendonor kampanye Wu, tidak cukup bukti untuk menyeret Wu ke meja hijau. Akan tetapi Wu mengundurkan diri demi kehormatan dan nama baik keluarga. Sebelumnya Anthony Weiner, anggota konggres dari Partai Republik mengundurkan diri karena skandal foto cabulnya di ratron.

Banyak juga kita dengar pejabat di luar sana yang mengundurkan diri karena terjadi sesuatu yang dianggap tidak baik. Padahal yang mereka lakukan belum tentu kriminal. Mengirim foto cabul kita bukan kejahatan hanya pelanggaran. Tapi dengan jiwa besar, mereka mengundurkan diri. Mereka merasa tidak pantas memakan uang rakyat hanya untuk melakukan perbuatan yang konyol.

Di Indonesia, pejabat yang dituduh melakukan kejahatan balik menuduh fitnah kepada orang yang menuduhnya. Bahkan menuntut balik orang yang menuduhnya. Menunggu waktunya menjadi tersangka bahkan terdakwa untuk melepaskan semua jabatan berikut fasilitasnya. Bahkan tetap memutuskan sesuatu dari dalam jeruji besi. Mengerahkan massa untuk mencipatakan opini publik bahwa sebenarnya pelacur jabatan yang tersandung kasus merupakan orang baik. Bahkan massa yang dikerahkan mengusung agama tertentu untuk melihat sisi ketuhanannya.

Hukum selalu dijadikan kambinghitam atas setiap permasalah politik. Tidak cukup bukti akhirnya semuanya harus dihentikan. Hukum selalu bermain dan tidak akan mungkin melakukan pelanggaran bahkan kejahatan minta disaksi oleh banyak saksi. Selalu dilakukan dengan meniadakan barang bukti.

Mungkin seharusnya dalam undang-undang pemilu dan partai politik sebaiknya ditambahkan pasal tentang ujian psikologi untuk seseorang sebelum dilakukan proses kaderisasi. Orang yang secara psikologisnya tidak memiliki rasa melayani tinggi, rasa kebangsaan yang tinggi, dan berjiwa besar tidak dapat diterima sebagai anggota parti politik.

Lebih baik turun dengan kepala tegak dibandingkan diturunkan dengan kepala tertunduk. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api. Tidak ada busuk tanpa ada bangkai.

Minggu, 10 Juli 2011

Pemikiran Jauh Singapura

Membaca bahwa beberapa jalan di Singapura dibuat tidak menggunakan pembatas jalan untuk dipergunakan sebagai landasan pesawat jika terjadi perang, saya jadi teringat fungsi lain dari pembangunan Mass Rapid Transit di Singapura.
Mass Rapid Transit atau MRT seyogyanya dipergunakan sebagai sarana transportasi massal yang sangat berguna mengurangi kemacetan dan polusi sebagai efek penggunaan kendaraan pribadi. Stasiun bawah tanah pun dibangun dengan begitu kokohnya sehingga kita pun tidak berasa aman dan nyaman meskipun berada di dalam tanah.


Keamanan dan kenyamanan ini ternyata ada maksud yang luar biasa. Pemikiran yang sangat antisipatif fan jauh ke depan. Ternyata platform dan stasiun bawah tanah ini dirancang sebagai bunker perlindungan bagi masyarakat Singapura jika terjadi perang. Tentunya jika membuat tempat berlindung harus kokoh dan kuat terhadap gempuran senjata.

Sungguh pemikiran yang jauh ke depan. Orang Indonesia hanya berpikir sampai 5 tahun ke depan untuk Pemilu tapi tetangga kita telah berpikir 50 tahun ke depan untuk melindungi warganya.

Rabu, 06 Juli 2011

Gaji XIII cair Juli 2011, (asyik)?

Bulan Juli 2011, Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2011, memberikan gaji ke-13. Bagi "pelayan" masyarakat hal ini sangat menggembirakan dan bahkan luar biasa. Di saat anak-anak mereka hendak masuk sekolah dan himpitan kebutuhan pokok yang mulai merangkak naik mendekati bulan puasa, tentunya Peraturan ini bagaikan segelas air di padang gurun.
Secara makro, hal ini membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja semakin tidak sehat. Jurang defisit yang sudah mengangah tambah borok. Daerah dengan belanja pegawai tertinggi tahun 2010 adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Rp. 7.586.350 juta), Jawa Barat (Rp. 1.628.777 juta), Jawa Timur (Rp. 1.483.755 juta), Jawa Tengah (Rp. 1.177.100 juta), dan Kota Bandung (Rp. 1.115.407 juta). Padahal 5 daerah tersebut anggaran pendapatan dan belanja telah defisit masing-masing Rp. 2.113.287 juta (DKI Jakarta), Rp. 1.803.008 juta (Jawa Barat), Rp. 429.296 juta (Jawa Timur), Rp. 154.000 juta (Jawa Tengah) dan Rp. 369.389 juta (Kota Bandung).


Sedikit lebih baik bagi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kota Bandung dibanding DKI Jakarta dan Jawa Barat, karena mereka juga merupakan daerah yang defisit anggarannya paling besar. Daerah-daerah yang semakin mengukuhkan diri sebagai daerah yang anggarannya terdefisit 2010 setelah DKI Jakarta dan JawaBarat adalah Nanggroe Aceh Darussalam (-Rp. 1.393.782 juta), Riau (-Rp. 1.088.750 juta) dan Kota Surabaya (-Rp. 940.780 juta).

Bagi Papua dan Ogan Komering Ulu Timur yang merupakan daerah mencetak keuntungan tertinggi 2010, hal ini tidak begitu merusak neraca anggaran mereka yang telah surplus masing-masing Rp. 160.000 juta dan Rp. 75.296 juta. Meskipun dilakukan pembayaran gaji ke-13, tetap saja daerah-daerah ini surplus masing-masing sekitar Rp. 110.881 juta dan Rp. 51.961 juta.

Dari 524 daerah (propinsi, kabupaten dan kota) di Indonesia, selama tahun 2010 sebanyak 462 daerah mengalami defisit/impas anggarannya atau sekitar 88% daerah di Indonesia. Hanya sekitar 12% daerah atau 62 daerah yang mengalami surplus anggaran.

Dari 524 daerah "hanya" sekitar 255 daerah mengalokasikan belanja pegawai di atas 50% dari pendapatannya atau sekitar 48% daerah di Indonesia yang lebih dari setengah dari pendapatannya hanya untuk belanja pegawainya. Sebanyak 269 daerah memberikan porsi belanja pegawai di bawah 50% dan dari 269 itu hanya 2 daerah yang mengalokasikan belanja pegawainya di bawah 10% dari pendapatannya yaitu Kabupaten Mamberamo Raya (di Propinsi Papua) dan Propinsi Papua Barat.

Ke depan hendaknya pemerintah lebih bijak dalam melakukan alokasi dana. Dana masyarakat yang dihimpun secara paksa melalui peraturan perundang-undangan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk hajat hidup orang banyak dengan memperhatikan prinsip keterbukaan yang logis. Mensejahterakan "abdi" masyarakat dengan menaikan gaji 10% tahun depan tentunya baik, akan tetapi lebih baik lagi jika mensejahterakan masyarakatnya lebih dari angka "abdi"nya.